Halaman

Jumat, 19 Desember 2025

🕵️‍♀️ANCAMAN TERHADAP KEBENARAN ABSOLUT😱

 

KEBENARAN TERANCAM KEKUASAAN


Sebuah peribahasa Rusia berbunyi "satu kata yang benar mengalahkan bobot seluruh dunia."  Demi kebenaran yang didasarkan pada peribahasa ini, penulis Rusia Aleksander Solzhenitsyn melancarkan kampanye yang penuh dengan penderitaan selama beberapa dekade, dengan keyakinan bahwa rezim komunis takkan bisa selamanya menolak, menekan, atau menyangkali realitas-realitas yang bersaksi menentangnya. Setelah menemukan Allah saat berada di dalam tahanan Gulag, dan melawan semua tantangan yang ada, Solzhenitsyn mempertaruhkan hidupnya dengan harapan kebenaran akan menang dan bahwa panggilan dirinya akan dibuktikan – bahkan di hadapan ideologi komunis yang terlindung kuat, propaganda yang gencar, Penindasan yang sistematik, dan teror. Meskipun buku sejarah ditulis ulang, orang-orang yang berkeyakinan lain dibungkam, dan orang banyak bisa dsesatkan, kebenaran itu sendiri akan tetap berdiri kukuh dan tegak. Kebenaran tak bisa ditundukkan pada kesalahan. Dan Solzhenitsyn, di bawah pimpinan Allah, merupakan nabi bagi kebenaran.

Pada tanggal 4 Juli 1776, para penulis Deklarasi Kemerdekaan menyuarakan "Deklarasi Bersama Tiga Belas Negara Bagian Amerika Serikat," yang memproklamasikan, "Kami percaya kebenaran-kebenaran berikut ini benar pada dirinya sendiri; bahwa manusia diciptakan setara; bahwa mereka diberkahi oleh Penciptanya dengan hak-hak tertentu yang tak bisa dihilangkan; bahwa di antara hak-hak tersebut terdapat hak untuk hidup, merdeka, dan mengejar kebahagiaan."

Thomas Jefferson, penulis utama Deklarasi tersebut bersama John Hancock dan penandatangan lainnya, menandaskan hal ini dengan berpegang pada presuposisi bahwa kebenaran bersifat objektif dan bisa diketahui, bahwa kebenaran didasarkan pada "hukum alam dan Allah yang empunya alam," dan bahwa hal ini mendukung posisi mereka melawan Inggris Raya.  Bagi para pendiri [Amerika Serikat], kebenaran bukanlah hal yang bisa dimanipulasi demi mendapatkan kemenangan politik. Kebenaran-kebenaranyang benar pada dirinya sendiri" harus diakui, dihormati, dan ditaati; mereka tidak diciptakan dan tak bisa dibuyarkan oleh kekuatan politik atau militer mana pun. Kebenaran-kebenaran ini sajalah yang memberikan dasar yang kuat untuk menyatakan identitas dari bangsa yang merdeka.

Hampir dua ratus tahun setelah berdirinya Amerika Serikat, seorang reformator moral berseru kepada bangsany a agar setia pada ide-ide yang membangun negaranya itu. Pada tanggal 28 Agustus 1963, di hadapan lebih dari dua ratus ribu orang yang berkumpul di antara Washington Monument dan Lincoln Memorial, Martin Luther King, Jr. menjelaskan tujuan dari acara yang bersejarah itu :

Dalam satu pengertian kita datang ke ibu kota negara untuk mencairkan sebuah cek. Ketika para pendiri republik kita ini menuliskan Konstitusi dan Deklarasi Kemerdekaan yang luar biasa, mereka menandatangani surat perjanjian yang merupakan. warisan bagi setiap orang Amerika. Surat ini merupakan janji bahwa setiap orang akan dijamin hak-haknya yang tidak bisa dihilangkan atas kehidupan, kemerdekaan, dan pencapaian kebahagiaan.

Terapi, King meratapi, sudah Jelas pada hari ini bahwa sejauh menyangkut warna kulit para penduduknya, Amerika telah melanggar surat perjanjian ini." Meskipun demikian, pemimpin hak-hak sipil ini dengan bersemangat menuturkan, "Saya memiliki satu impian bahwa suatu hari nanti bangsa ini akan bangkit dan menghidupi makna sesungguhnya dari kredonya:kami berpegang pada kebenaran-kebenaran yang benar pada dirinya sendiri bahwa semua manusia diciptakan setara," dan bahwa suaru hari nanti "semua anak Allah, orang-orang kulit hitam dan kulit putih, Yahudi dan kafir, Protestan dan Katolik, akan sanggup bergandengan tangan dan menyanyikan kata-kata dari lagu rohani kaum negro yang sudah lama, 'akhirnya bebas! akhirnya bebas! puji syukur kepada Allah Mahakuasa, kita akhirnya bebas!"

Keterampilan pidato King seharusnya tidak mengaburkan asumsi-asumsi filosofis yang mendasari seruannya yang gigih dan jelas. Acuan moralnya berasal dari keyakinannya bahwa ide bangsa Amerika yang terdalam, meskipun diimplementasikan secara tidak sempurna, merupakan realitas moral yang benar dan lebih besar dari bangsa Amerika itu sendiri. Harapannya dihidupkan oleh keyakinan bahwa keadilan yang lebih besar bisa dicapai melalui perjuangan bagi mereka yang tertindas, pertobatan mereka yang menindas, dan pemeliharaan Allah Yang Mahakuasa. Kebenaran akan menang pada akhirnya - meskipun menghadapi geraman anjing polisi, semburan air dari mobil pemadam kebakaran, pengeboman terhadap gereja-gereja orang kulit hitam, dan keengganan politis untuk memberikan pengakuan terhadap hak dan kepribadian seutuhnya bagi warga Amerika berkulit hitam.

Selama ribuan tahun, kepercayaan yang teguh akan kebenaran telah memanggil para filsuf, nabi, reformator, dan bahkan sejumlah politisi untuk menantang konvensi dan menolak otoritas yang tidak sesuai dengan hukum, baik yang sekuler maupun gerejawi. Ketika di Diet of Worms pada tahun 1521, Profesor Martin Luther menegaskan doktrin pembenaran hanya oleh iman yang baru ditemukan kembali - kebenaran yang akan menghidupkan telah mendorong Reformasi - dia mengkonfrontasi pemegang kekuasaan negara dan gereja dengan mengatakan, "Di sinilah saya berdiri. Saya tidak bisa melakukan hal yang lain. Kiranya Allah menolong saya."

Frasa, "mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa," yang begitu sering diucapkan oleh kaum idealis dan aktivis dari berbagai golongan, didasarkan pada keyakinan bahwa kebenaran bukan milik seseorang, dan ia hanya bisa ditolak dengan taruhan kebinasaan mereka yang menolaknya, dan rnemiliki dinamika yang bahkan lebih hebat dari yang mungkin ditimbulkan oleh kesalahan lain apa pun. Apakah itu kita lihat di dalam Socrates yang memilih menanggung hukuman mati yang dijatuhkan negara daripada harus menarik kembali ajaran-ajarannya, atau melihat Gandhi yang berdiri bagi kemerdekaan bangsa lndia tanpa senjata apa pun dalam melawan angkatan bersenjata kerajaan Inggris, atau kita mengingat perjuangan kaum sufragis Amerika bagi hak-hak kaum perempuan dalam pemungutan suara di dalam masyarakat yang didominasi kaum pria, itulah para pahlawan yang sampai saat ini didefinisikan dan dihormati karena keyakinan mereka akan kebenaran dan kesediaan mereka untuk menanggung semua derita demi kebenaran

.

KEBENARAN DIREDUPKAN


Meskipun dikelilingi oleh begitu banyak saksi, filsuf Amerika Richard Rorty memberikan pendapat yang berbeda. Mengikuti pahlawannya, John Dewey, dia menyatakan bahwa kebenaran merupakan jalan bagi seseorang untuk meloloskan diri. Rorty dan serombongan besar akademisi di bidang filsafat, sejarah, psikologi, hukum, sosiologi, antropologi, dan bahkan teologi, telah meninggalkan pandangan klasik akan kebenaran yang merupakan jantung dari contoh-contoh, yang diberikan di atas. Sebagai gantinya, mereka menganut konsep kebenaran yang merendahkan setiap pengertian akan perikebenaran yang mutlak, obyektif dan universal. Menurut mereka, ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan semua sisa-sisa modernisme, yang dianggap sebagai upaya menyesatkan dari Abad Pencerahan, yang ingin mendapat kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah, dan moral. Bagi mereka, kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu di belakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana.

Bagi para pemikir postmodern ini, ide tentang kebenaran telah meredup dan terpecah-pecah. Kebenaran bukan lagi hal yang bisa diketahui oleh siapa pun yang melakukan studi dan penyelidikan. Kebenaran bukanlah hal yang berada diatas dan melampaui diri kita, sesuatu yang bisa disampaikan lintas budaya dan lintas waktu. Kebenaran tak terpisahkan dari pengkondisian budaya, psikologi, ras, dan gender kita. Pada akhirnya, kebenaran hanyalah apa yang kita buat, baik  sebagai individu maupun sebagai komunitas dan tidak lebih dari itu. Kebenaran telah terurai menjadi begitu banyak "kebenaran,yang setara satu sama lain tetapi tidak saling berkaitan; tak ada skema yang menyeluruh dan rasional.  

Peredupan kebenaran bukan hanya terjadi di lingkungan akademi, di mana para guru besar yang terisolasi dan eksentrik mengemukakan teori-teori yang aneh di hadapan para kolega dan siswa mereka. Peredupan ini terjadi di semua bagian budaya postmodern, lebih banyak dianut daripada diargumentasikan, lebih banyak diudarakan daripada disimpan dalam pikiran. Peredupan kebenaran mendominasi sebagian besar program televisi, film, buku-buku terlaris, dan lagu-lagu populer.

Peredupan kebenaran bahkan telah secara perlahan merembes ke dalam berbagai gereja, seminari, dan perguruan tinggi Kristen.  Philip Kenneson, profesor di sebuah perguruan tinggi Kristen, juga berkata bahwa "tak ada yang disebut kebenaran objektif, dan itu merupakan hal yang baik."  William Willimon, seorang penulis dan gembala, menulis di majalah Christianity Today bahwa "orang-orang Kristen yang menegaskan kebenaran an 'objektif' mengenai Yesus tengah membuat kesalahan yang taktis karena "Yesus tidak datang ke tengah-tengah kita untuk menyatakan serangkaian proposisi yang harus kita teguhkan."

Sejumlah pendukung pertumbuhan gereja menasihatkan agar gereja mengurangi penekanan mereka atas kebenaran objektif dari doktrin Kristen karena orang-orang postmodern memiliki perhatian yang kecil untuk itu dan hanya tertarik dengan berbagai kebutuhan yang tnereka rasakan. Banyak pihak memberi masukan bahwa orang-orang dari “Generasi X” hanya bisa dicapai dengan pendekatan relasional dan nonkognitif. Seorang penulis menasihatkan bahwa karena bagi Generasi X  "metode linear bukan lagi merupakan metode studi utama,” maka studi Alkitab harus meniadakan penekanan pada "metode induktif yang bergerak dari observasi menuju interpretasi dan aplikasi.” Meskipun penulis ini tidak menganut pandangan kebenaran postmodern, dia menerima sensibilitas postmodern akan ketidaksabaran intelektual dan pragmatisme, yang turut berperan bagi peredupan kebenaran di dalam gereja.

Peredupan seperti ini jelas terlihat dalam berbagai jajak pendapat yang telah menunjukkan bahwa sejumlah besar orang yang mengaku sebagai kaum Injili, ternyata tidak mempercayai kebenaran mutlak atau supremasi Kristus, dan tidak lagi rnemiliki orientasi Kerajaan di dalam kehidupan mereka. Studi baru-baru ini mengklaim bahwa lebih dari separuh kaum Injili setuju bahwa "Tujuan hidup adalah untuk menikmati dan mendapatkan pemenuhan diri."


💁‍♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏‍♂️




Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:

Posting Komentar