KEBENARAN TERANCAM KEKUASAAN
Sebuah peribahasa Rusia berbunyi
"satu kata yang benar mengalahkan bobot seluruh dunia." Demi kebenaran yang didasarkan pada peribahasa ini, penulis Rusia Aleksander Solzhenitsyn melancarkan kampanye yang penuh dengan penderitaan selama
beberapa dekade, dengan keyakinan bahwa
rezim komunis takkan bisa selamanya menolak, menekan, atau menyangkali realitas-realitas yang bersaksi
menentangnya. Setelah menemukan Allah
saat berada di dalam tahanan Gulag, dan melawan semua tantangan yang ada, Solzhenitsyn mempertaruhkan
hidupnya dengan harapan kebenaran akan
menang dan bahwa panggilan dirinya akan dibuktikan – bahkan di hadapan ideologi komunis yang
terlindung kuat, propaganda yang gencar, Penindasan yang sistematik, dan teror.
Meskipun buku sejarah ditulis ulang, orang-orang yang berkeyakinan lain
dibungkam, dan orang banyak bisa dsesatkan, kebenaran itu sendiri akan tetap
berdiri kukuh
dan tegak. Kebenaran tak
bisa ditundukkan pada kesalahan. Dan Solzhenitsyn, di bawah pimpinan Allah, merupakan nabi bagi kebenaran.
Pada
tanggal 4 Juli 1776, para penulis Deklarasi Kemerdekaan menyuarakan "Deklarasi Bersama Tiga Belas Negara Bagian
Amerika Serikat," yang
memproklamasikan, "Kami percaya kebenaran-kebenaran berikut ini benar pada dirinya sendiri; bahwa manusia diciptakan setara; bahwa mereka diberkahi oleh Penciptanya dengan hak-hak tertentu yang tak bisa dihilangkan; bahwa di antara hak-hak tersebut terdapat hak untuk hidup, merdeka, dan mengejar kebahagiaan."
Thomas
Jefferson, penulis utama Deklarasi tersebut bersama John Hancock dan penandatangan lainnya,
menandaskan hal ini dengan berpegang pada presuposisi bahwa kebenaran bersifat
objektif dan bisa diketahui, bahwa
kebenaran didasarkan pada "hukum alam dan Allah yang empunya alam," dan bahwa hal ini mendukung
posisi mereka melawan Inggris Raya. Bagi para pendiri
[Amerika Serikat], kebenaran bukanlah hal yang bisa dimanipulasi demi mendapatkan kemenangan politik. Kebenaran-kebenaran “yang benar pada dirinya sendiri"
harus diakui, dihormati, dan ditaati; mereka tidak diciptakan dan tak bisa
dibuyarkan oleh kekuatan politik atau militer mana pun. Kebenaran-kebenaran
ini sajalah yang memberikan dasar yang kuat untuk menyatakan identitas
dari bangsa yang merdeka.
Hampir
dua ratus tahun setelah berdirinya Amerika Serikat, seorang reformator moral berseru kepada bangsany a agar setia
pada ide-ide yang membangun
negaranya itu. Pada tanggal 28 Agustus 1963, di hadapan lebih dari dua ratus ribu orang yang berkumpul di
antara Washington Monument dan Lincoln Memorial, Martin Luther
King, Jr.
menjelaskan tujuan
dari acara
yang bersejarah itu :
Dalam
satu pengertian kita datang ke ibu
kota negara untuk mencairkan sebuah cek. Ketika para pendiri republik kita ini
menuliskan Konstitusi dan Deklarasi
Kemerdekaan yang luar biasa, mereka menandatangani surat perjanjian yang merupakan. warisan bagi setiap orang Amerika. Surat ini
merupakan janji
bahwa setiap orang akan
dijamin hak-haknya yang tidak bisa
dihilangkan atas kehidupan, kemerdekaan, dan pencapaian
kebahagiaan.
Terapi,
King meratapi, sudah “Jelas
pada hari ini bahwa sejauh menyangkut warna kulit para penduduknya, Amerika
telah melanggar surat perjanjian
ini." Meskipun demikian, pemimpin hak-hak sipil ini dengan bersemangat menuturkan, "Saya memiliki satu
impian bahwa suatu hari nanti bangsa
ini akan bangkit dan menghidupi makna sesungguhnya dari kredonya: “kami berpegang pada kebenaran-kebenaran
yang benar pada dirinya sendiri
bahwa semua manusia diciptakan setara," dan bahwa suaru hari nanti "semua anak Allah, orang-orang
kulit hitam dan kulit putih,
Yahudi dan
kafir, Protestan dan Katolik, akan sanggup bergandengan tangan dan menyanyikan kata-kata dari lagu rohani kaum negro yang sudah lama, 'akhirnya bebas! akhirnya bebas! puji
syukur kepada Allah Mahakuasa, kita akhirnya bebas!"
Keterampilan
pidato King seharusnya tidak mengaburkan asumsi-asumsi filosofis yang mendasari seruannya yang
gigih dan jelas. Acuan moralnya berasal
dari keyakinannya bahwa ide bangsa Amerika yang terdalam, meskipun diimplementasikan secara tidak
sempurna, merupakan realitas moral
yang benar dan lebih besar dari bangsa Amerika itu sendiri. Harapannya dihidupkan oleh keyakinan bahwa
keadilan yang lebih besar bisa dicapai melalui perjuangan bagi mereka yang
tertindas, pertobatan mereka yang
menindas, dan pemeliharaan Allah Yang Mahakuasa. Kebenaran akan menang pada akhirnya - meskipun
menghadapi geraman anjing polisi, semburan air dari mobil pemadam kebakaran,
pengeboman terhadap gereja-gereja orang kulit hitam, dan keengganan
politis untuk memberikan pengakuan terhadap hak dan kepribadian seutuhnya
bagi warga Amerika berkulit hitam.
Selama
ribuan tahun, kepercayaan yang teguh akan kebenaran telah memanggil para filsuf, nabi, reformator,
dan bahkan sejumlah politisi untuk menantang
konvensi dan menolak otoritas yang tidak sesuai dengan hukum, baik yang sekuler maupun gerejawi.
Ketika di Diet of Worms pada tahun 1521, Profesor Martin Luther menegaskan
doktrin pembenaran hanya oleh iman
yang baru ditemukan kembali - kebenaran yang akan menghidupkan telah mendorong Reformasi - dia mengkonfrontasi pemegang kekuasaan negara dan gereja dengan mengatakan, "Di
sinilah saya berdiri.
Saya tidak bisa melakukan
hal yang lain. Kiranya Allah menolong saya."
Frasa, "mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa," yang begitu sering diucapkan oleh kaum idealis dan aktivis dari berbagai golongan, didasarkan pada keyakinan bahwa kebenaran bukan milik seseorang, dan ia hanya bisa ditolak dengan taruhan kebinasaan mereka yang menolaknya, dan rnemiliki dinamika yang bahkan lebih hebat dari yang mungkin ditimbulkan oleh kesalahan lain apa pun. Apakah itu kita lihat di dalam Socrates yang memilih menanggung hukuman mati yang dijatuhkan negara daripada harus menarik kembali ajaran-ajarannya, atau melihat Gandhi yang berdiri bagi kemerdekaan bangsa lndia tanpa senjata apa pun dalam melawan angkatan bersenjata kerajaan Inggris, atau kita mengingat perjuangan kaum sufragis Amerika bagi hak-hak kaum perempuan dalam pemungutan suara di dalam masyarakat yang didominasi kaum pria, itulah para pahlawan yang sampai saat ini didefinisikan dan dihormati karena keyakinan mereka akan kebenaran dan kesediaan mereka untuk menanggung semua derita demi kebenaran
.
KEBENARAN DIREDUPKAN
Meskipun
dikelilingi oleh begitu banyak saksi, filsuf Amerika Richard Rorty memberikan pendapat yang berbeda. Mengikuti pahlawannya, John Dewey, dia menyatakan bahwa kebenaran
merupakan jalan bagi seseorang untuk
meloloskan
diri.
Rorty dan serombongan besar akademisi di bidang filsafat, sejarah, psikologi, hukum, sosiologi, antropologi, dan bahkan teologi, telah meninggalkan pandangan klasik akan
kebenaran yang merupakan jantung
dari contoh-contoh, yang diberikan di atas. Sebagai gantinya,
mereka menganut
konsep kebenaran
yang merendahkan setiap pengertian akan perikebenaran yang mutlak, obyektif dan universal. Menurut mereka, ide tentang kebenaran objektif harus
ditinggalkan bersama dengan semua sisa-sisa modernisme, yang dianggap sebagai upaya
menyesatkan dari Abad Pencerahan,
yang ingin mendapat
kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah, dan moral. Bagi mereka, kita saat ini berada
dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu di belakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan
yang lebih sederhana.
Bagi para pemikir postmodern ini, ide tentang kebenaran telah meredup dan terpecah-pecah. Kebenaran bukan
lagi hal yang bisa diketahui oleh siapa pun yang melakukan studi dan penyelidikan. Kebenaran bukanlah hal yang berada diatas dan melampaui diri
kita,
sesuatu yang bisa disampaikan lintas
budaya dan lintas waktu. Kebenaran tak terpisahkan dari pengkondisian budaya, psikologi, ras, dan gender kita. Pada akhirnya, kebenaran hanyalah apa yang kita buat, baik sebagai
individu maupun sebagai komunitas dan tidak lebih dari itu. Kebenaran
telah terurai menjadi begitu banyak "kebenaran,” yang setara satu sama lain tetapi tidak saling berkaitan;
tak ada skema
yang menyeluruh dan rasional.
Peredupan
kebenaran bukan hanya terjadi di lingkungan akademi, di mana para guru besar
yang terisolasi dan eksentrik mengemukakan teori-teori yang aneh di hadapan
para kolega dan siswa mereka. Peredupan ini terjadi di semua bagian budaya
postmodern, lebih banyak dianut daripada diargumentasikan, lebih banyak
diudarakan daripada disimpan dalam pikiran. Peredupan kebenaran mendominasi
sebagian besar program televisi, film, buku-buku terlaris, dan lagu-lagu
populer.
Peredupan
kebenaran bahkan telah secara perlahan merembes ke dalam berbagai gereja,
seminari, dan perguruan tinggi Kristen.
Philip Kenneson, profesor di sebuah perguruan tinggi Kristen, juga
berkata bahwa "tak ada yang disebut kebenaran objektif, dan itu merupakan
hal yang baik." William Willimon,
seorang penulis dan gembala, menulis di majalah Christianity Today bahwa
"orang-orang Kristen yang menegaskan kebenaran an 'objektif' mengenai Yesus
tengah membuat kesalahan yang taktis karena "Yesus tidak datang ke
tengah-tengah kita untuk menyatakan serangkaian proposisi yang harus kita
teguhkan."
Sejumlah
pendukung pertumbuhan gereja menasihatkan agar gereja mengurangi penekanan
mereka atas kebenaran objektif dari doktrin Kristen karena orang-orang
postmodern memiliki perhatian yang kecil untuk itu dan hanya tertarik dengan
berbagai kebutuhan yang tnereka rasakan. Banyak pihak memberi masukan bahwa
orang-orang dari “Generasi X” hanya bisa dicapai dengan pendekatan relasional
dan nonkognitif. Seorang penulis menasihatkan bahwa karena bagi Generasi X "metode linear bukan lagi merupakan metode
studi utama,” maka studi Alkitab harus meniadakan penekanan pada "metode
induktif yang bergerak dari observasi menuju interpretasi dan aplikasi.” Meskipun
penulis ini tidak menganut pandangan kebenaran postmodern, dia menerima sensibilitas
postmodern akan ketidaksabaran intelektual dan pragmatisme, yang turut berperan
bagi peredupan kebenaran di dalam gereja.
Peredupan
seperti ini jelas terlihat dalam berbagai jajak pendapat yang telah menunjukkan
bahwa sejumlah besar orang yang mengaku sebagai kaum Injili, ternyata tidak
mempercayai kebenaran mutlak atau supremasi Kristus, dan tidak lagi rnemiliki
orientasi Kerajaan di dalam kehidupan mereka. Studi baru-baru ini mengklaim
bahwa lebih dari separuh kaum Injili setuju bahwa "Tujuan hidup adalah
untuk menikmati dan mendapatkan pemenuhan diri."
💁♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏♂️
✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:
Posting Komentar