Ketika kita membuka Alkitab, kita segera menemukan bahwa manusia secara tersurat digambarkan sebagai terpisah dari hidup kekal karena dosa (Roma 3:23; 6:23). Ini berarti: kondisi manusia telah berada dalam keadaan yang sejatinya tidak layak diselamatkan sejak awal. Keselamatan tidak berbicara tentang peningkatan moral atau usaha manusia; melainkan tentang kembalinya manusia ke dalam hubungan hidup yang benar dengan Tuhan melalui tindakan penyelamatan yang telah dijalankan oleh Tuhan sendiri.
Dalam narasi Alkitab, keselamatan bukanlah sesuatu yang manusia raih dari titik “ketidaktahuan → kebaikan moral → rela percaya.” Itu adalah sebuah perjalanan yang justru dimulai dari tindakan Tuhan untuk membawa manusia keluar dari kegelapan menuju terang (Yohanes 1:9; Efesus 2:8–9). Tafsir yang sederhana namun mendalam dari ayat seperti:
“Karena oleh kasih karunia kamu diselamatkan melalui iman; dan itu bukan hasil usahamu sendiri, tetapi pemberian Tuhan.” Efesus 2:8–9
Menunjukkan dua hal esensial:
1. Keselamatan itu anugerah yang sepenuhnya berasal dari Tuhan.
2. Iman adalah cara atau medium di mana anugerah itu diterima — bukan “penyebab” dari keselamatan itu sendiri dalam pengertian usaha manusia.
Bayangkan seseorang yang mati lemas di laut. Anda datang, menyelam, dan menariknya ke permukaan. Orang yang diselamatkan itu kemudian membuka mata dan berkata, “Aku hidup karena aku memilih untuk berenang.” Kita semua tahu, dalam analogi itu, orang itu hidup bukan karena pilihannya, tetapi karena tindakan penyelamatan yang lebih dulu dilakukan oleh penyelamat. Dalam cara yang sama, Alkitab menggambarkan iman bukan sebagai kekuatan dalam diri manusia yang memproduksi keselamatan, tetapi sebagai respons terhadap tindakan menyelamatkan yang telah dilakukan oleh Tuhan (Yeremia 31:3; Yohanes 3:16).
Kalau kita melihat dengan tekun ke dalam tulisan rasul Paulus, khususnya dalam surat-suratnya, kita menemukan semacam paradoks yang menuntut pembacaan hati: ketika manusia mengaku “percaya,” yang sebenarnya terjadi adalah Tuhan telah terlebih dahulu memberikan kehidupan rohani kepada manusia — bahkan sebelum manusia menyadari atau merasakan iman itu sendiri. Ini bukan spekulasi; ini tercermin dalam cara Paulus berbicara tentang keselamatan sebagai sesuatu yang tidak berasal dari diri manusia:
“Bukan dari diri kita sendiri, supaya tidak ada orang yang boleh bermegah.” — 2 Korintus 3:5 (yang makna ritmisnya juga menguatkan prinsip bahwa tidak ada kontribusi diri manusia dalam keselamatan).
Dengan kata lain, ketika seseorang berkata, “Aku percaya sehingga aku diselamatkan,” Alkitab menantang kita untuk memikirkan ulang struktur sebab-akibat tersebut: sebenarnya keselamatan itu telah diberi (lebih dulu), dan iman adalah respon yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang menerima keselamatan itu. Ini bukan sekadar permainan kata; ini adalah pergeseran ontologis dari kondisi kematian rohani menuju hidup rohani (Efesus 2:1–5), bukan karena manusia melakukan sesuatu, tetapi karena Tuhan memberi hidup (Efesus 2:5).
Para penulis Perjanjian Baru terus menarik benang merah ini. Rasul Yohanes menulis bahwa segala sesuatu yang kita terima dari Tuhan adalah dari sumber kasih karunia yang tak terhingga, yang termasuk kemampuan untuk percaya kepada Yesus sebagai Mesias. Pilihan hati manusia untuk percaya bukanlah sesuatu yang lahir dari kekuatan moral atau kecerdasan internal manusia itu sendiri, melainkan buah dari karya penyelamatan yang sudah terjadi di dalam hati manusia. Pernyataan Yesus “tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, kecuali ditarik oleh Bapa” (Yohanes 6:44; jika dirujuk dari teks-teks Alkitab dalam Marvel Bible atau Blue Letter Bible) menggarisbawahi struktur ini: ada tindakan penyelamatan yang lebih dulu — yaitu penarikan atau pemberian kemampuan untuk datang, baru kemudian respon percaya itu terjadi.
Ini membawa kita pada sebuah pembacaan yang benar-benar hati-ke-hati terhadap narasi keselamatan di Alkitab: iman tidak pernah mendahului keselamatan; iman selalu mengikuti keselamatan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada bagian dalam teks Alkitab yang mengajarkan bahwa manusia pada titik awal berada dalam posisi moral atau rohani untuk “menghasilkan iman” tanpa terlebih dahulu dibangkitkan dari kematian dosa. Ini bukan hanya sebuah pandangan modern atau theological jargon, tetapi cara narasi Alkitab menghidupkan kisah keselamatan itu sendiri — tindakan Tuhan menjangkau manusia yang tak berdaya (Roma 5:6–8; Efesus 2:4–5) dan menjadikan iman sebagai sarana penerimaan terhadap karya yang sudah dilakukan.
Dengan demikian, pengakuan iman yang paling jujur bukanlah “Aku percaya sehingga aku diselamatkan,” melainkan “Aku percaya karena Tuhan telah terlebih dahulu menyelamatkanku.” Iman bukanlah titik awal; iman adalah pengakuan atas sebuah karya yang telah terjadi, sebuah transisi dari kematian ke kehidupan yang hanya dimungkinkan karena kasih karunia yang tak pantas kita terima — yang diwujudkan lewat pemberian iman itu sendiri.
Haleluyah, Bapa Yesus memberkati kita semua 🙏
Ps. Christian Moses

0 comments:
Posting Komentar