KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
A. Definisi Kepemimpinan
Para ahli telah banyak mendefinisikan kepemimpinan menurut
beragam perspektif dan aspek yang diteliti. Menurut Robbins (1996 : 39),
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah
pencapaian tujuan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Hersey et
al (1996 : 99) bahwa kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi
aktivitas individu atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus berorientasi pada tugas (tasks) dan hubungan antar manusia (human relationship).
Robbins
(1996 : 40) menyatakan bahwa terdapat tiga haluan besar dalam pengembangan
teori kepemimpinan, yaitu:
1. Teori kepemimpinan
berdasarkan sifat (traits theory)
2. Teori kepemimpinan
berdasarkan perilaku (behavior theory)
3. Teori kepemimpinan
berdasarkan situasi (situational theory)
Berikut
ini dijelaskan mengenai tiga haluan besar dalam teori kepemimpinan yang
diungkapkan oleh Robbins pada tahun 1996 tersebut:
1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits
theory)
Sejarah teori dan penelitian
kepemimpinan dimulai oleh Bernard yang pada tahun 1926 menyatakan bahwa
kepemimpinan bisa dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa
seseorang sejak lahir (Horner, 1997 : 270). Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti teori yaitu
seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa. Indikator
dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk
memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta
pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan
bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh terhadap kesuksesan seorang
pemimpin, yaitu kecerdasan, kedewasaan & keluasan hubungan sosial, motivasi
diri & dorongan berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan
dari penelitian ini, sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926,
mengarahkan pada premis bahwa pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner
(1997 : 270) menyebutkan bahwa setelah teori sifat terungkap, maka peneliti
lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini
(Stogdill, 1948; 1974; Ghiselli, 1963; 1971; Argyris, 1970; Lundin, 1973).
Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan
jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan
sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para
peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bahasan berikutnya adalah
mengenai efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh pemimpin agar
efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka
mengkomunikasikan ide dan memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai
target dalam menyelesaikan tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya
menjadi sukses (Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270)
menambahkan bahwa kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu
menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan bawahan serta situasi
pekerjaan.
2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa
pemimpin itu dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior
theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu dibentuk dan
diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya
teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun
1950 dalam Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan
penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan
dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini dinamakan teori perilaku
(behavior theory), dengan inti teori yaitu
seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari
perilaku yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan
organisasi. Halpin dan Winer pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang
dapat menjadi pemimpin yang sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan
mempelajari perilaku seorang pemimpin yang telah sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak
peneliti yang telah melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas
teori ini, di antaranyaMintzberg (1973), McCall, Morrison dan Hannan (1978),
McCall dan Segrist (1980), Kotter (1982), Kurke dan Aldrich (1983), Kanter
(1983), Gabarro (1985), dan Kaplan (1986).
Penelitian
lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan Michigan yang
menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu (Robbins,
1996 : 41):
1.
Consideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja,
yang menekankan pada rasa dan hubungan antar individu pekerja.
2.
Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas,
yang menekankan pada pekerjaan dalam mencapai tujuan.
Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja
diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang tinggi dan kepuasan kerja.
Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu
menjelaskan mengenai teori kepemimpinan, yaitu:
1. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas
dan selalu melibatkan karyawan
2. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi
perintah dan pendiktean
3. Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam
melakukan apapun atau pemimpin yang tidak terlalu peduli pada aktivitas
karyawan (no leadership)
Blake, shepard dan Mouton pada
tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil
penelitian dari universitas Ohio, Michigan dan Iowa (Horner, 1997 : 271).
Blake, Shepard dan Mouton merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan
penelitian Ohio dan Michigan yaitu concern for
people dan concern for output dan dikemudian hari mereka menambahkan dimensi yang ketiga, yakni
fleksibilitas.
Namun
seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis
perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat
menjelaskan mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor
situasi pekerjaan seharusnya tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi
pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi & Hadi dalam Rahyuda, 2008 : 12).
3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational
theory)
Berdasarkan
kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor situasi
pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghububungkan
sifat maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini
dinamakan pendekatan situasional yang mengemukakan bahwa efektivitas
kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan,
sikap dan persepsi. Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan paling ideal
dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan situasi (Horner, 1997 :
271). Menurut Horner (1997 : 271), inti dari teori situasional menggambarkan
bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor seperti
pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang
pemimpin harus mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat
sesuai dengan kebutuhan situasi.
Salah satu
teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori
kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967
(Luthans, 2005 :649). Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja
pegawai yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara
tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan bawahannya serta sejauh mana pemimpin
mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting yang muncul pada model
kepemimpinan kontingensi, yaitu:
1. Leader-member relations (hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin dengan
anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin.
2. Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur
operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.
3. Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi
seperti penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta
peningkatan upah.
Teori kepemimpinan situasional
lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner, 1997 : 271).
Teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini menjelaskan bagaimana
seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi. Model ini
menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif
diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan
dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya
House dan Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan
berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52).
Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk
membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan
tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pada intinya,
teoripath-goal menjelaskan empat perilaku
pemimpin, yaitu (Wahjono, 2010 : 284):
1. Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa
yang harus dilakukan dan bagaimana caranya, menjadwalkan pekerjaan,
mempertahankan standar kinerja, dan memperjelas peranan pemimpin dalam
kelompok.
2. Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha
agar pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil,
bersahabat, dan mudah bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
3. Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan,
meminta saran bawahan dan menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.
4. Pemimpin yang berorientasi pada kinerja,
menentukan tujuan-tujuan yang menantang, mengharap kinerja yang tinggi,
menekankan pentingnya kinerja yang berkelanjutan, optimistik dan memenuhi
standar-standar yang tinggi.
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin
harus fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe
kepemimpinan, maka pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat.
Namun Horner (1997 : 271) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang
meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional
sangat ambigu karena teori ini lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial,
dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu,
teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu
sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau
tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai
dengan perubahan situasi pekerjaan.
B.
Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional
Konsep awal mengenai
kepemimpinan transaksional dan transformasional dikemukakan oleh Burns pada
tahun 1978 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass pada tahun 1985 (Bass et al, 2003 : 441). Burns (1978)
mendefinisikan kepemimpinan transaktional sebagai kepemimpinan berdasarkan
transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pertukaran
ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan
kebutuhan, spesifikasi serta kondisi imbalan atau hadiah yang akan diberikan
kepada bawahan jika bawahan memenuhi atau mencapai syarat-syarat yang
ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan transaksional melihat kebutuhan bawahan
sebagai motivator potensial dan menyadarkan bawahan bahwa setiap tindakan yang
dilakukan oleh bawahan akan mendapat imbalan yang pantas (Schimmoeller, 2006
dalam Rahyuda, 2008 : 15). Bass pada tahun 1985 mendefinisikan kepemimpinan
transaksional berhubungan dengan kebutuhan bawahan yang difokuskan pada
perubahan, dimana pemimpin memenuhi kebutuhan bawahan dalam perubahan untuk
meningkatkan kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin transaksional
bertindak dengan menghindari resiko dan membangun kepercayaan diri bawahan agar
bawahan mampu mencapai tujuan.
Menurut
Robbins (1996 : 62) pola hubungan pemimpin dan bawahan dalam kepemimpinan
transaksional dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemimpin mengetahui keinginan bawahan dan
berusaha menjelaskan bahwa bawahan akan memperoleh apa yang diinginkan apabila
kinerja mereka memenuhi harapan.
2. Pemimpin memberikan atau menukar usaha-usaha
yang dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji untuk mendapat imbalan.
3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan
pribadi bawahan selama kepentingan pribadi tersebut sepadan dengan nilai
pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan.
Selanjutnya
Bass (1997 : 21) menyatakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional
ditunjukkan oleh tiga dimensi, yaitu:
1. Contingent reward (imbalan kontingen)
Kepemimpinan
ini merupakan perilaku yang menjelaskan harapan bawahan dan imbalan yang
didapat apabila bawahan mencapai tingkat kinerja yang diharapkan. Imbalan
kontingen yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku pemimpin yang memberitahukan
kepada anggota orgnisasi mengenai kegiatan yang harus dilakukan jika ingin
memperoleh imbalan tertentu, selalu berbicara mengenai rekomendasi dan promosi
untuk setiap pekerjaan yang dilakukan bawahan dengan baik, menjamin bahwa
bawahan akan mendapatkan keinginannya sebagai pengganti usaha-usaha yang telah
dilakukan, bawahan dapat menegosiasikan apa yang akan diperoleh dari usaha yang
telah dilakukan serta memberikan keinginan bawahan sebagai pengganti atas
dukungan yang diberikan bawahan kepada organisasi.
2.
Active management by
exception (manajemen eksepsi aktif)
Kepemimpinan
ini merupakan perilaku yang memantau pelaksanaan tugas dan masalah yang mungkin
muncul serta melakukan tindakan perbaikan untuk memelihara kinerja yang telah
ada. Dalam hal ini, pemimpin menunjukkan adanya aturan dan pengendalian agar
bawahan terhindar dari kesalahan dan kegagalan dalam melaksanakan tugas.
Pemimpin juga selalu memantau gejala penyimpangan, kesalahan anggota serta
melakukan tindakan perbaikan atau menunjukkan sikap korektif yang bersifat
aktif pada permasalahan dan kinerja anggota.
3.
Laissez-faire atau passive avoidant
Kepemimpinan ini merupakan
perilaku yang tidak mengupayakan adanya kepemimpinan (no leadership), bereaksi hanya setelah
terjadi kesalahan dan menghindari mengambil keputusan. Dalam kepemimpinan ini,
pemimpin memberikan kebebasan penuh pada bawahan untuk bertindak, menyediakan
materi serta tidak mau berpartisipasi kecuali menjawab pertanyaan dan tidak
membuat evaluasi atau penilaian. Pemimpin cenderung membiarkan bawahan
melakukan pekerjaan dengan cara yang sama setiap waktu. Kepemimpinan ini
merupakan gabungan dari perilaku kepemimpinan laissez-fairedengan kepemimpinan eksepsi pasif serta merupakan dimensi yang
paling ekstrim dan tidak efektif
Penelitian-penelitian
mengenai tipe kepemimpinan transaksional menyimpulkan bahwa segala aktifitas
pekerjaan yang dilakukan bawahan harus memiliki harga atau mendapatkan imbalan.
Namun hal tersebut justru menjadi kelemahan tipe kepemimpinan transaksional
karena komitmen bawahan terhadap organisasi biasanya berjangka pendek (Avolio,
Bass and Jung, 1999 : 460). Mereka menambahkan bahwa aktivitas pekerjaan
bawahan hanya terfokus pada negosiasi upah serta mengabaikan pemecahan masalah
atau visi bersama. Komitmen bawahan terhadap organisasi akan tergantung pada
sejauh mana kemampuan organisasi dalam memenuhi keinginan bawahan. Hal inilah
nampaknya yang mendorong Bass pada tahun 1990 untuk mengembangkan konsep
kepemimpinan transformasional untuk melengkapi teori kepemimpinan transaksional
yang masih memiliki kelemahan (Rahyuda, 2008 : 16). Awalnya, konsep
kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 (Jabnoun
and al-Ghasyah, 2005 : 23) yang menyatakan bahwa pemimpin yang transformasional
meningkatkan kebutuhan dan motivasi bawahan dan mempromosikan perubahan
dramatis dalam individual, grup, dan organisasi. Bass, 1985 dalam Jabnoun and
al-Ghasyah (2005 : 23) mendefinisikan bahwa pemimpin transformasional adalah
seseorang yang meningkatkan kepercayaan diri individual maupun grup,
membangkitkan kesadaran dan ketertarikan dalam grup dan organisasi, dan mencoba
untuk menggerakkan perhatian bawahan untuk pencapaian dan pengembangan
eksistensi.
Menurut Avolio, Bass and Jung
(1999 : 442), pada awalnya kepemimpinan transformasional ditunjukkan melalui
tiga perilaku, yaitu karisma, konsiderasi individual, dan stimulasi
intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian dibagi menjadi
dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi inspirasional. Memang
pada dasarnya karismatik dan motivasi inspirasional tidak dapat dibedakan
secara empiris tetapi perbedaan konsep antara kedua perilaku tersebut membuat
kedua faktor di atas dapat dipandang sebagai dua hal yang berbeda (Bass, 1999 :
19). Oleh karena itu, pada perkembangan berikutnya, kepemimpinan
transformasional diuraikan dalam empat ciri utama, yaitu: idealisasi pengaruh,
motivasi inspirasional, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual (Bass
and Avolio, 1993:112; Bass, 1997:21; Bass et
al, 2003 : 208).
Adapun
definisi rincian masing-masing ciri utama tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Idealisasi Pengaruh (Idealized Influence)
Idealisasi
pengaruh adalah perilaku yang menghasilkan standar perilaku yang tinggi,
memberikan wawasan dan kesadaran akan visi, menunjukkan keyakinan, menimbulkan
rasa hormat, bangga dan percaya, menumbuhkan komitmen dan unjuk kerja melebihi
ekspektasi, dan menegakkan perilaku moral yang etis.
Pemimpin
yang memiliki idealisasi pengaruh akan menunjukkan perilaku antara lain:
mengembangkan kepercayaan bawahan kepada atasan, membuat bawahan berusaha
meniru perilaku dan mengidentifikasi diri dengan pemimpinnya, menginspirasikan
bawahan untuk menerima nilai-nilai, norma-norma, dan prinsip-prinsip bersama,
mengembangkan visi bersama, menginspirasikan bawahan untuk mewujudkan standar
perilaku secara konsisten, mengembangkan budaya dan ideology organisasi yang
sejalan dengan masyarakat pada umumnya, dan menunjukkan rasa tanggung jawab
social dan jiwa melayani yang sejati.
2.
Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation)
Motivasi
inspirasional adalah sikap yang senantiasa menumbuhkan tantangan, mampu
mencapai ekspektasi yang tinggi, mampu membangkitkan antusiasme dan motivasi
orang lain, serta mendorong intuisi dan kebaikan pada diri orang lain. Pemimpin
mampu membangkitkan semangat anggota tim melalui antusiasme dan optimisme.
Pemimpin juga memanfaatkan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan
mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana. Pemimpin
yang memiliki motivasi inspirasional mampu meningkatkan motivasi dan antusiasme
bawahan, membangun kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk menyelesaikan
tugas dan mencapai sasaran kelompok.
Bass
(1985) menyatakan bahwa pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional akan
menunjukkan perilaku membangkitkan gairah bawahan untuk mencapai prestasi
terbaik dalam performasi dan dalam pengembangan dirinya, menginspirasikan
bawahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan untuk
mencapai masa depan yang lebih baik, membimbing bawahan mencapai sasaran
melalui usaha, pengembangan diri, dan unjuk kerja maksimal, menginspirasikan
bawahan untuk mengerahkan potensinya secara total, dan mendorong bawahan untuk
bekerja lebih dari biasanya.
3.
Konsiderasi Individual (Individualized Consideration)
Konsiderasi
individual adalah perilaku yang selalu mendengarkan dengan penuh kepedulian dan
memberikan perhatian khusus, dukungan, semangat, dan usaha pada kebutuhan
prestasi dan pertumbuhan anggotanya. Pemimpin transformasional memiliki
perhatian khusus terhadap kebutuhan individu dalam pencapaiannya dan
pertumbuhan yang mereka harapkan dengan berperilaku sebagai pelatih atau
mentor. Bawahan dan rekan kerja dikembangkan secara suksesif dalam meningkatkan
potensi yang mereka miliki. Konsiderasi ini sangat mempengaruhi kepuasan
bawahan terhadap atasannya dan dapat meningkatkan produktivitas bawahan.
Konsiderasi ini memunculkan antara lain dalam bentuk memperlakukan bawahan
secara individu dan mengekspresikan penghargaan untuk setiap pekerjaan yang
baik.
4.
Stimulasi Intelektual (Intelectual Stimulation)
Stimulasi
intelektual adalah proses meningkatkan pemahaman dan merangsang timbulnya cara
pandang baru dalam melihat permasalahan, berpikir, dan berimajinasi, serta
dalam menetapkan nilai-nilai kepercayaan. Dalam melakukan kontribusi
intelektual melalui logika, analisa, dan rasionalitas, pemimpin menggunakan
simbol sebagai media sederhana yang dapat diterima oleh pengikutnya. Melalui
stimulasi intelektual pemimpin dapat merangsang tumbuhnya inovasi dan cara-cara
baru dalam menyelesaikan suatu masalah. Melalui proses stimulasi ini akan
terjadi peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan memecahkan masalah,
berpikir, dan berimajinasi, juga perubahan dalam nilai-nilai dan kepercayaan
mereka. Perubahan ini bukan saja dapat dilihat secara langsung, tetapi juga
perubahan jangka panjang yang merupakan lompatan kemampuan konseptual,
pemahaman dan ketajaman dalam menilai dan memecahkan masalah.
Kemudian, pada era berikutnya,
Sarros and Santora (2001) dan Pounder (2001; 2003) me-refine aspek transformational leadership yang dinyatakan secara implisit
pada aspek aslinya menjadi: inspirational motivation, integrity,
innovation, impression management, individual consideration,
dan intellectual stimulation. Pounder (2001 :
282-283; 2003 : 7) memperluas dimensi idealized influence dengan menambahkan tiga dimensi lainnya, yaitu:
1.
Integrity. Pemimpin walk the talk, mereka menyelaraskan perbuatan dengan perkataannya. Dimensi ini
mengukur sejauh mana para pengikutnya mempersepsikan derajat kesesuaian antara
perkataan pemimpin dan yang dipersepsikan dengan perbuatannya.
2.
Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan yang ada
dan proses dengan mengambil resiko dan mengeksperimenkannya. Para pemimpin
mendorong para bawahannya untuk mengambil resiko dan bereksperimen serta
memperlakukan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar daripada diperlakukan
sebagai celaan. Dimensi ini fokus pada sejauh mana pemimpin dapat menumbuhkan
komitmen inovasi dalam organisasi.
3.
Impression management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi kebutuhan personal dan
berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah orang yang memberi selamat
kepada keberhasilan bawahannya dan juga orang yang selalu hangat serta
perhatian terhadap bawahannya, tidak sebatas pada kehidupan kerja mereka.
Dimensi ini mengukur sejauh mana anggota organisasi mempersepsikan bahwa
pemimpin mereka secara tulus memperhatikan mereka sebagai pribadi dibandingkan
sekedar instrumen pemimpin atau penyokong misi organisasi semata.
Setelah itu, Spreitzer,
Perttula and Xin (2005 : 209) dengan mengadopsi Podsakof et al(1990 : 112) mengembangkan
dimensi kepemimpinan transformasional menjadi 6 dimensi, yakni articulating
a vision, providing an appropriate model, fostering the acceptance of group
goal, setting high performance expectation, providing individualized support, dan intellectual stimulation.
Sejarah panjang penelitian yang
dipaparkan di atas menandakan bahwa teori ini mampu diterima oleh seluruh
lapisan yang ada dalam organisasi. Bass (1999 : 9) menyatakan bahwa
dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional
lebih efektif diterapkan di banyak bidang seperti bisnis, militer, industri,
rumah sakit dan lingkungan pendidikan. Bahkan Metcalfe and Metcalfe pada tahun
2006 dalam Rahyuda (2008 : 19) menambahkan bahwa seringnya teori kepemimpinan
transformasional digunakan pada penelitian di sektor publik juga disebabkan
oleh banyaknya kelemahan yang terdapat pada tiga haluan besar teori
kepemimpinan dan teori kepemimpinan transaksional sebelumnya sehingga
teori-teori tersebut sudah dianggap sebagai paradigm usang (old paradigm) dalam penelitian pada sektor
publik.
Kark, Chen dan Shamir pada
tahun 2003 menyatakan bahwa pemimpin yang menerapkan kepemimpinan
transformasional mampu mempengaruhi kinerja bawahannya. Bukti yang mendukung
keunggulan kepemimpinan transformasional terhadap kepemimpinan transaksional
luar biasa mengesankan (Robbins, 1996 : 62). Misalnya, sejumlah telaah atas
perwira militer Amerika Serikat, Kanada dan Jerman menemukan fakta pada semua
tingkat bahwa pemimpin transformasional dinilai sebagai pemimpin yang lebih
efektif daripada pemimpin transaksional (Bass and Avolio, 1990 dalam Robbins,
1996 : 62). Para manajer pada Federal Express yang memperlihatkan kepemimpinan
yang lebih transformasional dinilai oleh penyelia langsung mereka sebagai
manajer yang berprestasi lebih tinggi dan lebih dapat dipromosikan (Hater and
Bass, 1988 dalam Robbins, 1996 : 63). Dubinsky et
al (1995 : 25) menemukan fakta bahwa Sales manager yang menerapkan
kepemimpinan transformasional cenderung memiliki pengikut yang lebih
berkomitmen, memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi, dan tidak mudah stres.
Ringkasnya, bukti keseluruhan menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional
lebih baik dibandingkan kepemimpinan transaktional dalam hal menekan turn-overkaryawan, meningkatkan produktivitas dan menjadikan kepuasan
pegawai lebih besar.
Dari berbagai pemaparan
mengenai berbagai macam tipe kepemimpinan berikut definisi-definisinya, dapat
disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transformasional merupakan tipe yang tepat
dan sesuai bagi sebuah organisasi pada saat ini. Sarros dan Butchatsky pada
tahun 1996 menyatakan bahwa banyak peneliti dan praktisi manajemen sepakat bahwa model kepemimpinan
transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan
karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan
ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan sifat (traits), gaya (style) dan kontingensi. Daryanto dan
Daryanto (1999 : 12) menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional juga
menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh
ahli-ahli sosiologi seperti Weber (1947) dan ahli-ahli politik yang diwakili
Burns (1978). Sarros and Butchatsky (1996) juga menyebut pemimpin
transformasional sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai pemimpin penerobos karena pemimpin dengan
karakter ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat
besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki
kembali (reinvent) karakter diri individu dalam
organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi,
meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik
dan lebih relevan dengan cara menarik dan menantang bagi semua pihak yang
terlibat dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama
ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan (Daryanto dan Daryanto, 1999 : 12-13). Oshagbeni (2000) dalam Rahyuda (2008 : 19) menyatakan bahwa tipe
kepemimpinan ini tidak hanya sekedar menggunakan kekuatan dan kekuasaan dalam
mencapai tujuan, namun juga mampu mempengaruhi anggota organisasi dengan
cara-cara yang sesuai. Cara-cara yang sesuai tersebut menyebabkan pegawai
senang dalam menerima tugas dari pemimpin sehingga pegawai puas dalam bekerja
dan tidak menganggap tugas tersebut sebagai beban dalam bekerja. Tichy dan
Devanna (dalam Luthans, 2006 : 653) menyatakan bahwa pemimpin transformasional
memiliki karakter sebagai berikut:
1.
Mereka
mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan
2.
Mereka
berani
3.
Mereka
mempercayai orang lain
4.
Mereka
motor penggerak nilai
5.
Mereka
pembelajar sepanjang masa
6.
Mereka
memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian
7.
Mereka
visioner
Menurut
Hartanto pada tahun 1991 (Hunen, 2006 : 16), konsep perilaku kepemimpinan
transformasional adalah sebagai berikut:
1.
Inisiasi
struktur yang menjelaskan dan situasional, yakni merupakan perilaku atasan yang
memberikan penjelasan kepada bawahan mengenai tugas, wewenang dan tanggung
jawabnya. Inisiasi seperti ini akan mengurangi rasa takut, malu dan sungkan
bawahan yang timbul akibat kecenderungan orang untuk menghindari
ketidakpastian. Dengan berkurangnya rasa takut/ malu, diharapkan bawahan akan
lebih banyak berpartisipasi.
2.
Konsiderasi
yang memantapkan kelompok, yakni perilaku atasan yang memberikan perhatian dan
timbang rasa yang tulus sehingga akan memberikan keterikatan psikologis dan
saling percaya antara pemimpin dan bawahan serta menciptakan hubungan yang
akrab, harmonis dan penuh keterbukaan.
3.
Kompetensi
yang berwawasan luas, yakni perilaku atasan yang mencerminkan sikap kompeten
dan berwawasan luas sehingga akan memberikan keyakinan bahwa misi perusahaan
dapat dicapai. Selain itu akan menimbulkan inspirasi, menumbuhkan rasa hormat,
menjadi tempat bertanya serta membangkitkan kebanggaan pada organisasi.
4.
Pertanggungjawaban
ke bawah, yakni bahwa pemimpin akan menunjukkan perhatian pada kepentingan
bawahan dan membangkitkan rasa kebersamaan melalui pemahaman yang lebih baik
tentang kebutuhan bawahan, menumbuhkan kesetiakawanan dan mencegah
kesewenang-wenangan sehingga memungkinkan tumbuhnya kepemimpinan yang berakar
pada kelompok.
Jadi,
kepemimpinan transformasional akan memberikan pengaruh positif pada hubungan
antara atasan dan bawahan. Dengan konsep kepemimpinan transformasional, bawahan
akan merasa percaya, kagum, bangga, loyal, dan hormat kepada atasannya serta
termotivasi untuk mengerjakan pekerjaan dengan hasil yang melebihi target yang
telah ditentukan bersama. Tipe kepemimpinan ini mendorong para pengikutnya
(individu-individu dalam satu organisasi) untuk menghabiskan upaya ekstra dan
mencapai apa yang mereka anggap mungkin.
Kepemimpinan transformasional
meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan
nilai-nilai seperti keadilan (justice), kedamaian (peace) dan persamaan (equality) (Sarros and Santora, 2001 : 385). Sementara itu, Humphreys (2005 : 1413) menyatakan bahwa
pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional dengan
karakteristik yang diungkapkan oleh Bass (1985) akan menyebabkan terjadinya
perubahan yang konstan menuju ke arah perbaikan bagi organisasinya. Dengan
perubahan-perubahan positif tersebut, pegawai siap untuk menerima tugas yang
diberikan pemimpin tanpa beban, senang dan puas dalam melakukan pekerjaannya
serta akan meningkatkan produktivitas dan kinerja pegawai yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
§ Avolio, B.J., B.M. Bass, D.I. Jung. (1999). Re-Examining the Components of Transformational and
Transactional Leadership Using the Multifactor Leadership Questionnaire. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 72,
441-462
§ Bass, B.M. (1997). Personal Selling
and Transactional/Transformational Leadership. Journal of Personal Selling
& Sales Management, Vol. XVII, No. 3 (Summer 1997, Pages 19-28)
§ —–. (1999). Two Decades of
Research and Development in Transformational Leadership. European Journal of Work and Organizational Psychology, 8 (1),
9-32
§ —– and B.J. Avolio. (1993). Transformational
Leadership and Organizational Culture. Public Administration
Quarterly, Vol. 17, No. 1, pp. 112-121
§ Daryanto, A. dan H.K.S. Daryanto. (1999). Model
Kepemimpinan dan Profil Pemimpin Agribisnis di Masa depan. AGRIMEDIA, Vol. 5, No. 1, pp. 6-17
§ Dubinsky, A.J., F.J. Yammarino, M.A. Jolson, and W.D. Spangler.
(1995).Transformational Leadership: An Initial
Investigation in Sales Management. The
Journal of Personal Selling & Sales Management, Vol. 15, No. 2, pp. 17-31
§ Hersey, P., K.H. Blanchard and D. Johnson. (1996). Management of Organizational Behavior: Utilizing Human
Resources, 7th Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, Int’l
§ Horner M. (1997). Leadership Theory:
Past, Present and Future. Team Performance Management,
Vol. 3, No. 4, pp. 270-287
§ Humphreys, J.H. (2005). Contextual
Implications for Transformational and Servant Leadership: A Historical
Investigation. Management Decision, Vol. 43, No. 10, pp. 1410-1431
§ Hunen, A. (2006). Pengembangan Model
Pengaruh Kepemimpinan Transformasional, Iklim Organisasi dan Karakteristik
Pekerjaan terhadap Perilaku Kreatif-Inovatif (Studi Kasus di PT Telkom Bandung). Tesis Program Pasca Sarjana Teknik dan Manajemen Industri,
Institut Teknologi Bandung, Bandung
§ Jabnoun, N. and H.A. Al-Ghasyah. (2005). Leadership
Styles Supporting ISO 9000:2000. The Quality Management
Journal, 12, 1, pp. 21-29
§ Koontz, O.W. (1980). Management. Seventh Edition, Kogakusha: McGraw-Hill
§ Luthans, F. (2006). Perilaku
Organisasi. Terjemahan Vivin Andika, dkk. Yogyakarta :
Penerbit Andi
§ Podsakoff, P.M., S.B. MacKenzie, R.H. Moorman, and R. Fetter.
(1990).Transformational Leader Behaviors and their
Effects on Followers’ Trust in Leader, Satisfaction, and Organizational
Citizenship Behaviors. Leadership Quarterly, Vol. 1,
No. 2, pp. 107-142
§ Pounder, J.S. (2001). “New Leadership”
and University Organizational Effectiveness: Exploring the Relationship. Leadership & Organization Development Journal, Vol. 22, No.
6, pp. 281-290
§ —–. (2003). Employing
Transformational Leadership to Enhance the Quality of management Development
Instruction. The Journal of Management Development, Vol. 22, No. 1, pp. 6-13
§ Rahyuda, A.G. (2008). Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional dan Sistem Kompensasi terhadap Kinerja Dosen. Tesis Program Studi Teknik dan Manajemen Industri Institut
Teknologi Bandung
§ Robbins, S.P. (1996). Perilaku
Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Terjemahan Hadyana
Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo
§ Sarros, J.C. and J.C. Santora. (2001). The
Transformational-transactional Leadership model in Practice. Leadership & Organizational Development Journal, 22, 2/8,
pp. 383-393
§ Spreitzer, G.M., K.H. Perttula, and K. Xin. (2005). Traditionally Matters: An Examination of the
Effectiveness of Transformational Leadership in the United States and Taiwan. Journal of Organizational Behavior, 26, 205-227
§ Wahjono, S.I. (2010). Perilaku
Organisasi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu
§ Yukl, G. (1989). Managerial
Leadership: A Review of Theory and Research. Journal of Management, Vol. 15,
No. 2, pp. 251-289
Moga-moga bermanfaat....
🤝Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus...💝
0 comments:
Posting Komentar