Halaman

Jumat, 19 Desember 2025

🕵️‍♀️PEREDUPAN KEBENARAN ABSOLUT DIPAHAMI & DIMAKLUMI😲

 

PEREDUPAN KEBENARAN ABSOLUT


Peredupan kebenaran merupakan kondisi budaya dimana ide tentang kebenaran yang mutlak, objektif, dan universal dipandang tidak bisa lagi dipercayai, dihina secara terang-terangan, atau bahkan tidak lagi di anggap serius. Alasan bagi peredupan kebenaran bersifat filosofis dan sosiologis, berakar baik di dalam dunia intelektual maupun di dalam dunia budaya hidup sehari- hari (bahkan telah merembes kedalam dunia teologia Kristen). Kedua dunia ini saling menguatkan. Budaya postmodern – dengan pluralisme, relativisme, informasi yang berlebihan, tingginya mobilitas, kebingungan identitas, konsumerisme, dan lain-lain yang terus meningkat – membuat filsafat postmodern tampak lebih bisa dipercaya. Akan tetapi, sekadar hidup di dalam konteks budaya postmodern tidak otomatis membuat seseorang menjadi seorang postmodernis dalam hal kebenaran, bagaimanapun menggodanya hal tersebut.

Kebenaran absolut itu sendiri tidak meredup atau pun memudar. Di dalam kata-kata Nabi Yesaya, "rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya" [Yesaya 40:8]. Senada dengan itu, Yesus menegaskan, "Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu" [Matius 24:35]. Tetapi pemahaman manusia akan kebenaran di dalam dunia yang telah jatuh ini bisa saja melonggar dan tergelincir. "Kebenaran tersandung di tempat umum," ratap Yesaya [Yesaya 59:14]. Yeremia juga menyatakan, kepada bangsa Israel yang murtad, "Ketulusan [truth] mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka" [Yeremia 7:28]. Solzhenitsyn memperigatkan di dalam pidato profetisnya pada pembukaan tahun ajaran 1978 di Universitas Havard, "Kebenaran akan hilang dari kita segera setelah konsentrasi mulai melonggar, sementara memberikan ilusi bahwa kita tetap mengejarnya. Atau seperti nasihat Amsal, "Belilah kebenaran dan jangan menjualnya" [Amsal 23:23].

Ketika Pontius Pilatus menginterogasi Yesus, Yesus menyatakan, "Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku" [Yoh. 18:37]. Mendengar ini Pilatus bertanya, "Apakah kebenaran itu?" dan segera meninggalkan Yesus untuk berbicara kepada orang-orang Yahudi yang meninginkan Yesus disalib [ayat 38]. Seperti tulisan filsuf Francis Bacon, “Apakah kebenaran itu?” olok Pilatus; dan ia tidak tinggal diam untuk menunggu jawabannya." Meskipun tak ada catatan tentang jawaban Yesus, orang-orang Kristen menegaskan bahwa Pilatus tengah menatap wajah Kebenaran itu sendiri, karena Yesus sebelumnya telah menyatakan kepada Tomas, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup" [Yohanes 14:6].

Hal ini memunculkan pertanyaan tentang natur kebenaran. Apa artinya saat kita berkata bahwa suatu pernyataan, filsafat, atau agama adalah benar? Pertanyaan ini telah menjadi topik yang banyak diperdebatkan dalam lingkungan kaum postmodernis, dimana pandangan tradisional mengenai kebenaran sebagai hal yang objektif dan yang bisa diketahui tak lagi diterima. Bahkan di luar diskusi akademis, masyarakat masih sesinis Pilatus. "Apakah kebenaran itu?" mereka berkata sambil tersenyum menyindir, tanpa menunggu jawabannya. Jika kita tidak jelas mengenai apakah maksudnya bahwa sesuatu adalah benar, maka setiap klaim religius atau moral akan kebenaran – baik itu Kristen atau yang lainnya – akan membingungkan dan bukannya memberikan kejelasan. Sebelum mencoba menentukan klaim-klaim mana saja yang benar, kita perlu memahami natur kebenaran itu sendiri. Seperti yang dikatakan Francis Schaeffer, kita perlu membedakan isi kebenaran [pernyataan apa yang benar] dari konsep kebenaran [apakah kebenaran itu], karena pandangan kita mengenai kebenaran itu akan membentuk segala hal tentang diri kita. Teolog Injili, Carl F.H. Henry berkata:

Di sepanjang sejarah sangat jarang terjadi bahwa agama dipaksa untuk menghadapi berbagai problema yang serius mengenai kebenaran dan perkataan.  Di masa silam, peran kata-kata dan hatur kebenaran tak pernah menjadi begitu berkabut dan tak terdefinisikan seperti saat ini. Hanya jika kita mengakui bahwa kebenaran mengenai kebenaran ... pada saat ini sedang diragukan, dan bahwa ketidakpastian ini membuat kata-kata dianggap tak dapat menjadi pembawa kebenaran Allah dan penilaian moral, barulah kita bisa mengukur kedalaman krisis yang ada saat ini. Saat kebenaran dan perkataan merupakan sistem wacana yang diterima, maka semua penyimpangan bisa ditantang atas nama kebenaran. Tetapi, pada saat ini, natur kebenaran dan bahkan peran perkataan pun dipersengketakan.

Problema postmodern muncul karena mereka menerima pandangan kebenaran yang tidak benar dan sangat berbahaya. Adalah satu hal jika kita mempercayai suatu ketidakbenaran, yaitu kita percaya pada apa yang sebellarnya salah, tetapi masih percaya bahwa kebenaran bereksistensi dan bisa diketahui. Jika seseorang percaya, misalnya, bahwa Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya Allah yang berinkarnasi, maka bukti historis bisa diberikan untuk menolak klaim ini. Tetapi berbeda sekali jika kita percaya bahwa kebenaran itu sendiri hanya merupakan perkara keyakinan pribadi dan kebiasaan sosial, sehingga kebenaran mengenai Yesus tergantung pada apa pandangan kita tentang-Nya. Dalam kasus ini, tidak ada bukti atau argumentasi yang dapat mengubah kepercayaan seseorang. Dalam hal ini, argumentasi harus diarahkan pada natur kebenaran itu sendiri.

Meskipun "kebutuhan akan kebenaran lebih sakral daripada kebutuhan akan hal yang lain,” seperti ungkapan Simone, makanan bagi jiwa ini seringkali ditinggalkan dan digantikan dengan hasrat terhadap ilah-ilah lain yang rendah rendah. C.S. Lewis menangkap permasalahan ini di dalam bukunya Srewtape Letter, dimana setan senior bernama Screwtape, mengajari setan yang lebih rendah kedudukannya bernama Wormwood, dalam seni tipu-menipu. Pemahaman yang diberikan Lewis ini merupakan peringatan terhadap apa yang akan datang. Daripada memakai berbagai argumentasi logis  untuk membuat orang tidak mengikuti Yesus, Wormwood dinasihati untuk menjauhkan pikiran orang Kristen dari penalaran yang benar, yang menghasilkan kesimpulan yang benar. Karena, sebagaimana diperhatikan Screwtape,

Semenjak kecil, mangsamu itu sudah terbiasa untuk memiliki lusinan filsafat yang tidak selaras, yang menari-nari di dalam benaknya. Dia tidak memikirkan doktrin-doktrin terutama sebagai hal yang "benar,” atau “salah,” melainkan sebagai hal yang "akademis" atau “praktis,” “kuno,” atau “kontemporer," "sesuai adat" atau "kasar." Dialek, dan bukannya argumentasi, merupakan sarana terbaikmu untuk menjauhkan orang itu dari gereja.

Argumentasi menggeser pikiran manusia "ke wilayah Musuh kita,” dan dengan “melakukan argumentasi, kamu membangkitkan penalaran mangsamu; dan sekali hal itu bangkit, siapa yang bisa meramalkan hasilnya?” Wormwood harus memastikan agar mangsanya menghindari “kebiasaan fatal memperhatikan isu-isu universal, yang dapat membuatnya mengabaikan arus pengalaman inderawi yang Iangsung." Dari sudut pandang setan, memperhatikan “isu-isu universal," yaitu perkara-perkara kebenaran objektif dan kekal itu, terlalu berbahaya. Memperhatikan "kehidupan yang riil," yaitu penceburan tanpa pikir panjang ke dalam hal-hal yang langsung, jauh lebih aman, dan jauh lebih postmodern. Hanya saja jangan terlalu banyak memikirkan apa makna dari kata "riil" itu.

Peredupan kebenaran menjangkau ke semua klaim kebenaran religius, termasuk klaim-klaim Kristen, karena suatu kepercayaan yang sakral mengklaim bahwa mereka merepresentasikan realitas yang ultimat, baik itu Tao, Brahman, Nirwana, Allah atau Trinitas. Peredupan kebenaran juga mempengaruhi setiap bidang kehidupan lain, mulai dari politik sampai seni, hukum, dan sejarah. Jika ide tentang kebenaran objektif kehilangan kehormatan, maka politik tidak lebih dari manipulasi citra dan perdagangan kekuasaan. Seperti dikatakan Robert Bork, "Intelek kehilangan nilai lebihnya ketika ia tak lagi mencari kebenaran dan berpaling pada pengejaran tujuan-tujuan politis." Konsensus sosial dan gotong royong menjadi tidak relevan dan mustahil jika masing-masing kelompok – yang terbagi dalam ras, etnis, dan orientasi seksual –  berjuang mendapatkan kekuasaan dengan mengklaim otoritas yang tidak bisa ditantang, yang didasarkan pada kekhususan budaya mereka: "Ini masalah orang kutit hitam, kamu tidak akan mengerti" atau "Ini uruan wanita; pria tidak akan paham." Jika hukum tidak didasarkan pada tatanan moral yang bertransendensi terhadap setiap hukum kriminal atau konstitusi, maka hukum akan menjadi satu set keputusan yang bisa diubah-ubah dan bersifat arbitrer. Jika tidak ada fakta-fakta objektif yang bisa dipahami dari masa silam, maka sejarah tidak bisa dibedakan dari novel, dan biografi juga tidak bisa dibedakan dari mitos. Sejarah menjadi alat bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, yang menuliskan kembali masa lalu berdasarkan pilihan-pilihan mereka sendiri, tanpa kelompok luar mungkin memberikan kritik yang rasional. Jika tak ada keindahan di luar mata yang memandangnya, maka seni hanya menjadi alat pengaruh sosial, kekuatan politik, dan ekspresi pribadi; kategori ketidaksenonohan hanya akan seusang ide tentang keindahan itu sendiri.

        Unsur-unsur dari peredupan kebenaran yang saling terkait ini menjadi sumber tenaga bagi perang-perang budaya yang mengepung era postmodern. Sebagaimana perang antar bangsa terjadi setelah runtuhnya diplomasi dan perang saudara terjadi setelah ambruknya pemahaman akan kebenaran yang selama ini diterima, yaitu kebenaran sebagai hal yang objektif dan bisa diketahui melalui penyelidikan dan kepercayaan yang rasional. Ketika perdebatan yang rasional tidak bisa mencapai pengetahuan akan kebenaran, maka semua hal yang ada hanyalah rancangan untuk mencapai kekuasaan – baik dasar tujuannya itu bersifat rasial, seksual atau religius. 

        Pepatah : “mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa” diubah menjadi “mobilisasi kekuatan kita untuk menumbangkan kekuatan pihak lain.”


💁‍♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏‍♂️




Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:

Posting Komentar