PEREDUPAN KEBENARAN ABSOLUT
Peredupan
kebenaran merupakan kondisi budaya dimana ide tentang kebenaran yang mutlak,
objektif, dan universal dipandang tidak bisa lagi dipercayai, dihina secara
terang-terangan, atau bahkan tidak lagi di anggap serius. Alasan bagi peredupan
kebenaran bersifat filosofis dan sosiologis, berakar baik di dalam dunia
intelektual maupun di dalam dunia budaya hidup sehari- hari (bahkan telah merembes kedalam dunia teologia Kristen). Kedua dunia ini
saling menguatkan. Budaya postmodern – dengan pluralisme, relativisme,
informasi yang berlebihan, tingginya mobilitas, kebingungan identitas,
konsumerisme, dan lain-lain yang terus meningkat – membuat filsafat postmodern
tampak lebih bisa dipercaya. Akan tetapi, sekadar hidup di dalam konteks budaya
postmodern tidak otomatis membuat seseorang menjadi seorang postmodernis dalam
hal kebenaran, bagaimanapun menggodanya hal tersebut.
Kebenaran absolut itu sendiri tidak meredup atau pun memudar. Di dalam kata-kata Nabi Yesaya, "rumput
menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk
selama-lamanya" [Yesaya 40:8]. Senada dengan itu, Yesus menegaskan, "Langit
dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu" [Matius
24:35]. Tetapi pemahaman manusia akan kebenaran di dalam dunia yang telah jatuh
ini bisa saja melonggar dan tergelincir. "Kebenaran tersandung di tempat
umum," ratap Yesaya [Yesaya 59:14]. Yeremia juga menyatakan, kepada bangsa
Israel yang murtad, "Ketulusan [truth] mereka sudah lenyap, sudah hapus
dari mulut mereka" [Yeremia 7:28]. Solzhenitsyn memperigatkan di dalam
pidato profetisnya pada pembukaan tahun ajaran 1978 di Universitas Havard,
"Kebenaran akan hilang dari kita segera setelah konsentrasi mulai melonggar,
sementara memberikan ilusi bahwa kita tetap mengejarnya. Atau seperti nasihat
Amsal, "Belilah kebenaran dan jangan menjualnya" [Amsal 23:23].
Ketika
Pontius Pilatus menginterogasi Yesus, Yesus menyatakan, "Setiap orang yang
berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku" [Yoh. 18:37]. Mendengar ini
Pilatus bertanya, "Apakah kebenaran itu?" dan segera meninggalkan
Yesus untuk berbicara kepada orang-orang Yahudi yang meninginkan Yesus disalib [ayat
38]. Seperti tulisan filsuf Francis Bacon, “Apakah kebenaran itu?” olok Pilatus;
dan ia tidak tinggal diam untuk menunggu jawabannya." Meskipun tak ada
catatan tentang jawaban Yesus, orang-orang Kristen menegaskan bahwa Pilatus
tengah menatap wajah Kebenaran itu sendiri, karena Yesus sebelumnya telah
menyatakan kepada Tomas, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup" [Yohanes
14:6].
Hal
ini memunculkan pertanyaan tentang natur kebenaran. Apa artinya saat kita
berkata bahwa suatu pernyataan, filsafat, atau agama adalah benar? Pertanyaan
ini telah menjadi topik yang banyak diperdebatkan dalam lingkungan kaum
postmodernis, dimana pandangan tradisional mengenai kebenaran sebagai hal yang
objektif dan yang bisa diketahui tak lagi diterima. Bahkan di luar diskusi
akademis, masyarakat masih sesinis Pilatus. "Apakah kebenaran itu?"
mereka berkata sambil tersenyum menyindir, tanpa menunggu jawabannya. Jika kita
tidak jelas mengenai apakah maksudnya bahwa sesuatu adalah benar, maka setiap
klaim religius atau moral akan kebenaran – baik itu Kristen atau yang lainnya –
akan membingungkan dan bukannya memberikan kejelasan. Sebelum mencoba
menentukan klaim-klaim mana saja yang benar, kita perlu memahami natur
kebenaran itu sendiri. Seperti yang dikatakan Francis Schaeffer, kita perlu
membedakan isi kebenaran [pernyataan apa yang benar] dari konsep kebenaran [apakah
kebenaran itu], karena pandangan kita mengenai kebenaran itu akan membentuk
segala hal tentang diri kita. Teolog Injili, Carl F.H. Henry berkata:
Di sepanjang sejarah sangat jarang
terjadi bahwa agama dipaksa untuk menghadapi berbagai problema yang serius
mengenai kebenaran dan perkataan. Di
masa silam, peran kata-kata dan hatur kebenaran tak pernah menjadi begitu
berkabut dan tak terdefinisikan seperti saat ini. Hanya jika kita mengakui
bahwa kebenaran mengenai kebenaran ... pada saat ini sedang diragukan, dan
bahwa ketidakpastian ini membuat kata-kata dianggap tak dapat menjadi pembawa
kebenaran Allah dan penilaian moral, barulah kita bisa mengukur kedalaman
krisis yang ada saat ini. Saat kebenaran dan perkataan merupakan sistem wacana
yang diterima, maka semua penyimpangan bisa ditantang atas nama kebenaran.
Tetapi, pada saat ini, natur kebenaran dan bahkan peran perkataan pun
dipersengketakan.
Problema
postmodern muncul karena mereka menerima pandangan kebenaran yang tidak benar
dan sangat berbahaya. Adalah satu hal jika kita mempercayai suatu
ketidakbenaran, yaitu kita percaya pada apa yang sebellarnya salah, tetapi
masih percaya bahwa kebenaran bereksistensi dan bisa diketahui. Jika seseorang
percaya, misalnya, bahwa Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya Allah yang
berinkarnasi, maka bukti historis bisa diberikan untuk menolak klaim ini.
Tetapi berbeda sekali jika kita percaya bahwa kebenaran itu sendiri hanya
merupakan perkara keyakinan pribadi dan kebiasaan sosial, sehingga kebenaran
mengenai Yesus tergantung pada apa pandangan kita tentang-Nya. Dalam kasus ini,
tidak ada bukti atau argumentasi yang dapat mengubah kepercayaan seseorang.
Dalam hal ini, argumentasi harus diarahkan pada natur kebenaran itu sendiri.
Meskipun
"kebutuhan akan kebenaran lebih sakral daripada kebutuhan akan hal yang
lain,” seperti ungkapan Simone, makanan bagi jiwa ini seringkali ditinggalkan
dan digantikan dengan hasrat terhadap ilah-ilah lain yang rendah rendah. C.S.
Lewis menangkap permasalahan ini di dalam bukunya Srewtape Letter, dimana
setan senior bernama Screwtape, mengajari setan yang lebih rendah kedudukannya
bernama Wormwood, dalam seni tipu-menipu. Pemahaman yang diberikan Lewis ini
merupakan peringatan terhadap apa yang akan datang. Daripada memakai berbagai
argumentasi logis untuk membuat orang
tidak mengikuti Yesus, Wormwood dinasihati untuk menjauhkan pikiran orang
Kristen dari penalaran yang benar, yang menghasilkan kesimpulan yang benar.
Karena, sebagaimana diperhatikan Screwtape,
Semenjak
kecil, mangsamu itu sudah terbiasa untuk memiliki lusinan filsafat yang tidak
selaras, yang menari-nari di dalam benaknya. Dia tidak memikirkan doktrin-doktrin
terutama sebagai hal yang "benar,” atau “salah,” melainkan sebagai hal
yang "akademis" atau “praktis,” “kuno,” atau “kontemporer,"
"sesuai adat" atau "kasar." Dialek, dan bukannya
argumentasi, merupakan sarana terbaikmu untuk menjauhkan orang itu dari gereja.
Argumentasi
menggeser pikiran manusia "ke wilayah Musuh kita,” dan dengan “melakukan
argumentasi, kamu membangkitkan penalaran mangsamu; dan sekali hal itu bangkit,
siapa yang bisa meramalkan hasilnya?” Wormwood harus memastikan agar mangsanya
menghindari “kebiasaan fatal memperhatikan isu-isu universal, yang dapat
membuatnya mengabaikan arus pengalaman inderawi yang Iangsung." Dari sudut
pandang setan, memperhatikan “isu-isu universal," yaitu perkara-perkara
kebenaran objektif dan kekal itu, terlalu berbahaya. Memperhatikan
"kehidupan yang riil," yaitu penceburan tanpa pikir panjang ke dalam
hal-hal yang langsung, jauh lebih aman, dan jauh lebih postmodern. Hanya saja
jangan terlalu banyak memikirkan apa makna dari kata "riil" itu.
Peredupan
kebenaran menjangkau ke semua klaim kebenaran religius, termasuk klaim-klaim
Kristen, karena suatu kepercayaan yang sakral mengklaim bahwa mereka merepresentasikan
realitas yang ultimat, baik itu Tao, Brahman, Nirwana, Allah atau Trinitas. Peredupan
kebenaran juga mempengaruhi setiap bidang kehidupan lain, mulai dari politik
sampai seni, hukum, dan sejarah. Jika ide tentang kebenaran objektif kehilangan
kehormatan, maka politik tidak lebih dari manipulasi citra dan perdagangan
kekuasaan. Seperti dikatakan Robert Bork, "Intelek kehilangan nilai
lebihnya ketika ia tak lagi mencari kebenaran dan berpaling pada pengejaran
tujuan-tujuan politis." Konsensus sosial dan gotong royong menjadi tidak
relevan dan mustahil jika masing-masing kelompok – yang terbagi dalam ras,
etnis, dan orientasi seksual – berjuang
mendapatkan kekuasaan dengan mengklaim otoritas yang tidak bisa ditantang, yang
didasarkan pada kekhususan budaya mereka: "Ini masalah orang kutit hitam,
kamu tidak akan mengerti" atau "Ini uruan wanita; pria tidak akan
paham." Jika hukum tidak didasarkan pada tatanan moral yang
bertransendensi terhadap setiap hukum kriminal atau konstitusi, maka hukum akan
menjadi satu set keputusan yang bisa diubah-ubah dan bersifat arbitrer. Jika
tidak ada fakta-fakta objektif yang bisa dipahami dari masa silam, maka sejarah
tidak bisa dibedakan dari novel, dan biografi juga tidak bisa dibedakan dari
mitos. Sejarah menjadi alat bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu,
yang menuliskan kembali masa lalu berdasarkan pilihan-pilihan mereka sendiri,
tanpa kelompok luar mungkin memberikan kritik yang rasional. Jika tak ada
keindahan di luar mata yang memandangnya, maka seni hanya menjadi alat pengaruh
sosial, kekuatan politik, dan ekspresi pribadi; kategori ketidaksenonohan hanya
akan seusang ide tentang keindahan itu sendiri.
Unsur-unsur dari peredupan kebenaran yang saling terkait ini menjadi sumber tenaga bagi perang-perang budaya yang mengepung era postmodern. Sebagaimana perang antar bangsa terjadi setelah runtuhnya diplomasi dan perang saudara terjadi setelah ambruknya pemahaman akan kebenaran yang selama ini diterima, yaitu kebenaran sebagai hal yang objektif dan bisa diketahui melalui penyelidikan dan kepercayaan yang rasional. Ketika perdebatan yang rasional tidak bisa mencapai pengetahuan akan kebenaran, maka semua hal yang ada hanyalah rancangan untuk mencapai kekuasaan – baik dasar tujuannya itu bersifat rasial, seksual atau religius.
Pepatah : “mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa” diubah menjadi “mobilisasi kekuatan kita untuk menumbangkan kekuatan pihak lain.”
💁♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏♂️
✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:
Posting Komentar