Halaman

Senin, 22 Desember 2025

👊BONGKAR TOPENG PELAYANAN GEREJA🛕

 

💁‍♂️IBADAH LAHIRIAH🤷‍♂️

 

Dengan kehilangan kita akan perasaan kaagungan, terjadi kehilangan lebih lanjut akan kekaguman religius dan kesadaran akan hadirat Ilahi. Kita telah kehilangan roh ibadah kita dan kamampuan kita untuk menarik diri ke dalam untuk bertemu dengan Tuhan dalam kesunyian penyembahahan. Kekristenan modern sama sekali tidak menghasilkan jenis orang Kristen yang dapat menghargai atau mengalami kehidupan dalam Roh.

– A. W. Tozer, The Knowledge of the Holy.

 

Lingkup pengertian kata ibadah dalam Alkitab sangat luas, tapi konsep asasinya baik dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru adalah pelayanan. Ibadah adalah pemberian hormat kepada Allah [Kejadian 20:1-6] yang bukan saja dinyatakan dalam gerak, isyarat dan perkataan tepat, pantas, tetapi juga dituntut dalam sikap perbuatan dan dalam kehidupan sehari-hari [Amos 5:21-24]. Disamping artinya yang biasa, dalam Kisah Para Rasul, beribadah berarti menyembah Tuhan Allah serta mentaati hukum-hukum Perjanjian Lama, tanpa harus menjadi seorang penganut agama Yahudi yang sepenuhnya [KPR. 16:14; 18:7]. Orang-orang yang beribadah itu biasanya juga disebut sebagai orang-orang yang takut akan Allah [KPR. 10:1-4; 17:4]. Arti kata ibadah dalam bahasa Ibrani `abodah,  [baca, ab-o-daw'] dan Yunaninya, latreia  [baca, lat-ri'-ah] pada mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba upahan. Dan dalam rangka melaksanakan ibadah ini kepada Allah, maka para hamba-Nya harus “meniarap” [tersungkur hingga wajah menyentuh tanah] – Ibrani, shachah,  [baca, shaw-khaw'], atau Yunani, proskuneo  [baca, pros-koo-neh'-o] – dan dengan demikian mengungkapkan rasa takut penuh hormat, kekaguman dan ketakjuban penuh puja-puji.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi [Kejadian 24:26; Keluaran 33:-34:8], tetapi tekanannya adalah pada ibadah dalam jemaat [Mazmur 24:4; 1 Tawarikh 29:20]. Dalam Kemah Pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari korban-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara-upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat, dan lain sebagainya, cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya. Tetapi banyak orang di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum [Mazmur 93; 95-100], doa-doa bersama [Mazmur 60; 7; 80] dan memanfaatkannya untuk mengungkapkan kasih dan syukur kepada Allah [Ulangan 11:13] dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh.

 

🕍GEREJA DAN POLA IBADAH AWAL

Gereja atau biasa disebut juga jemaat, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ἐκκλησία, ekklesia, [baca ek-klay-see'-ah]; dari kata καλέω, kaleo [baca,kal-eh'-o], artinya "yang dipanggil". Secara umum ekklesia diartikan sebagai perkumpulan orang-orang atau suatu kumpulan orang yang berkumpul atas panggilan pembawa berita; juga digunakan untuk perkumpulan sekuler [KPR. 19:32]. Sedangkan kata gereja yang digunakan saat ini diadopsi dari bahasa Portugis igreja yang juga merupakan terjemahan dari kata Yunani kuriakos; artinya, persekutuan orang-orang yang menjadi milik Yesus Kristus.  Tetapi dalam konteks Perjanjian Baru kata ini mengandung arti khusus, yaitu pertemuan orang-orang Kristen sebagai jemaat untuk menyembah kepada Kristus.  Dalam pengertian seperti ini, gereja tidak pernah digunakan untuk bangunan seperti sekarang ini, atau untuk suatu denominasi. Dalam Kisah Para Rasul kata ini kadang-kadang digunakan dalam bentuk tunggal untuk persekutuan kristen lokal namun dalam KPR. 9:31 kata ini menunjuk kepada seluruh jemaat yang kemudian begitu jauh meluas. Dalam KPR. 20:28, Paulus meminta para tua-tua jemaat di Efesus untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah anak-Nya sendiri yang mestinya benar-benar berarti lembaga yang lebih luas ketimbang persekutuan di Efesus.

 Gereja dimulai 50 hari sesudah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi). Yesus sudah berjanji bahwa Dia akan mendirikan gereja-Nya (Matius 16:18), dan dengan datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta [KPR. 2:1-4], gereja [kumpulan orang yang dipanggil keluar] secara resmi dimulai. Tiga ribu orang yang menerima khotbah Simon Petrus pada hari itu dan memilih untuk mengikuti Kristus dengan cara dibaptiskan.

Petobat-petobat pertama dalam kekristenan adalah orang-orang Yahudi atau penganut-penganut Yudaisme, dan gereja, yaitu persekutuan orang-orang yang mengaku ketuhanan Yesus itu, berpusat di Yerusalem. Karena itu kekristenan pada mulanya dipandang sebagai sekte Yahudi, sama seperti orang-orang Farisi, Saduki, atau Eseni. Namun demikian, apa yang dikhotbahkan para rasul berbeda secara radikal dari apa yang diajarkan oleh kelompok-kelompok Yahudi lainnya. Yesus diberitakan sebagai "Mesias" atau Juruselamat orang Yahudi, yaitu Raja yang Diurapi, yang telah dinubuatkan kedatangannya untuk menggenapi Hukum Taurat dan mendirikan Perjanjian Baru yang berdasarkan pada kematianNya. Berita ini, dan tuduhan bahwa mereka telah membunuh Mesias mereka sendiri, membuat banyak pemuka Yahudi menjadi marah, dan beberapa orang, seperti Saul, yang kemudian dikenal sebagai Paulus, dari Tarsus, mengambil tindakan untuk memusnahkan “Jalan” itu; sebelum ia sendiri akhirnya menjadi penganut Kristus yang sangat gigih.

Periode gereja mula-mula terhitung sejak dimulainya pelayanan rasul Petrus, Paulus dan lain-lainnya dalam memberitakan kisah Yesus hingga bertobatnya Kaisar Konstantinus I, kurang lebih tahun 33 hingga 325. Pada periode ini gereja dan orang-orang Kristen mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan fisik karena mereka beribadah kepada Yesus Kristus yang mereka akui dan yakini sebagai Tuhan, namun bapak-bapak gereja mulai menulis tulisan-tulisan Kristen yang pertama dan ajaran-ajaran yang menyeleweng yang bermunculan diatasi.

Perlu diingat bahwa ibadah Kristen lahir dari ibadah Yahudi. Pola ibadah Yahudi dibagi atas dua bagian zaman. Yang pertama adalah pola ibadah Yahudi di zaman Raja Daud. Zaman itu menjadi zaman keemasan Yahudi. Ibadah itu dirasakan sebagai persekutuan dengan Allah dan penuh kenikmatan.

Daud mengutamakan doa, pujian, dan penyembahan kepada Tuhan Allah. Dia tahu bahwa Tuhan bertahta di atas pujian Israel [Mazmur 22:4]. Maka itu memuji dan menyembah Tuhan adalah langkah ril agar Tuhan menikmati ibadah persekutuan yang dinaikan umatNya. Kalau Tuhan menikmati, maka umatNya pasti diberkatiNya. Tuhan memang hadir dan berkenan menikmati doa, pujian dan penyembahan umat Israel yang dipimpin Raja Daud.



Pola ibadah zaman Raja Daud adalah ibadah pesta, [perayaan, atau selebrasi]. Ibadah itu dipenuhi musik [instrumental dan vocal] serta rasa riang gembira, sangat ekspresif didalam pemuliaan akan Tuhan. Suasana kasih Allah sangat dirasakan seluruh jemaat/rakyat. Perkenanan Tuhan akan Daud dinyatakan dalam kitab 2 Samuel 7:16, “keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya dihadapanKu, tahtamu akan kokoh untuk selama-lamanya.” Keadaan ini masih ada pada zaman Salomo dan mencapai klimaksnya pada pentahbisan Bait Suci. Kemudian pola ibadah yang menyenangkan ini surut dan akhirnya hilang seiring dengan berbaliknya bangsa Israel dari hadapan Tuhan, bahkan lenyap pada saat bangsa mulia ini masuk dalam masa pembuangan (± 700 SM).

Zaman kedua adalah ibadah Yahudi pada zaman pembuangan. Di masa pembuangan, umat Israel mengalami depresi yang amat berat. Selama ini umat Yahudi beranggapan bahwa Tuhan Allah berdiam di Bait Suci kota Yerusalem. Saat Rumah Allah mereka dihancurkan musuh dan mereka diserakkan kedalam pelarian dan pembuangan, mereka merasa menderita dan putus asa. Secara fisik mereka ditawan, secara psikis jauh dari sumber kemenangannya. Mereka kalah total. Maka itu mereka berkabung. Dalam perkabungan itu mereka tidak mau menyanyikan pujian seperti dulu. Dalam perkabungan itu mereka merasa bahwa perayaan hanya ada jika mereka berada di kota sucinya, Yerusalem. Dalam perkabungan, perayaan adalah hal yang tabu. Mereka hanya mengharapkan pelarian dan perkabungannya segera berakhir dan mereka kembali ke Yerusalem. Maka pola ibadah selebrasi berakhir sudah, berganti pola ibadah ratapan dan penantian. Ingatlah, umat di jaman Daud dulu sudah tiada, hampir 400 tahun sudah berlalu, tentu generasi ini tidak pernah merasakan indahnya ibadah di zaman Daud.Zaman penjajahan dan pembuangan terjadi pada masa kejayaan bangsa Siria, Babilonia (Nebukadnezar menghancurkan Bait Suci yang dibangun Salomo dan menawan Daniel dan kawan-kawan) dan Persia. Memang pada zaman Persia berkuasa umat Yehuda sudah pulang ke Yerusalem di bawah pimpinan Zerubabel dan Nehemia. Pada zaman Kerajaan Persia kaum Yehuda membangun kembali tembok Yerusalem dan Bait Allah; tetapi pola ibadah sukacita belum dipulihkan.

Dalam Perjanjian Baru muncul lagi ibadah di Bait Suci dan di Sinagoge. Yesus sering mengambil bagian dalam kedua tempat ibadah tersebut, tetapi Dia selalu menekankan bahwa ibadah adalah sungguh-sungguh merupakan kasih yang timbul dari hati nurani kepada Bapa sorgawi. Dalam ajaran-Nya, mendekati Allah melalui perantaraan ritual dan imamat bukan saja tidak penting lagi, bahkan sekarang tidak perlu. Pada akhirnya, `abodah,  [baca, ab-o-daw'] dan latreia  [baca, lat-ri'-ah] yang sebenarnya, suatu pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah tidak hanya dalam arti ibadah di Bait Suci, tapi juga dalam arti pelayanan terhadap sesama [Lukas 10:25-37; Matius 5:23-24; Yohanes 4:20-24; Yakobus 1:27]. Pada permulaannya gereja tidak meninggalkan kebakitan di Bait Suci; dan mungkin orang Kristen terus mengikuti kebaktian di sinagoge juga.

Beberapa tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan dalam artikelnya, “Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama” :

Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi

 

Dalam perkembangannya, akibat suasana Anti Semit yang berkembang kuat di luar Yerusalem, Gereja [Qahal Mesias] dari kalangan non Yahudi [Christianos, Kis 11:26] mulai melepaskan diri dari lingkungan Yudaisme dan Gereja dari kalangan Yahudi [Netsarim, Notsrim, Nazoraios, Kis 24:5,11]. Ketika Gereja non Yahudi berkembang di luar Yerusalem, khususnya di Roma dan seluruh wilayah jajahannya dan berkembang sampai Eropa, maka Gereja mulai mengembangkan liturginya yang melepaskan banyak unsur-unsur dalam Yudaisme dan Keyahudian.

Nelly Van Doorn-Harder, MA., dalam artikel berjudul “Akar-Akar Keyahudian Dalam Liturgi Kristen” mengatakan: 

Bila Liturgi Protestan dilihat sebagaimana yang ada sekarang, sulit dibayangkan bahwa akar dari semua kehidupan liturgis Kristen, dapat ditemukan dalam Liturgi Yahudi. Karena memang [Yahshua] adalah seorang Yahudi. Ia selalu mengutip dan menggunakan cerita-cerita, tema-tema dan simbol-simbol dari Perjanjian Lama. Perayaan-perayaan perjamuan kudus dan rumusan doa sehari-hari gereja purba diambil dari cara Yudaisme…Proses melupakan warisan keyahudian ini, berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen di luar tanaah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani”.

Fakta penting pertama dari penjelasan Nelly Van Doorn-Harder adalah bahwasanya berbagai liturgi Kekristenan merupakan warisan yang berakar dari Yudaisme, dimana Yesus, Sang Mesias pun menggunakannya dalam ibadah harian [tefilah] maupun sabat di sinagoge-sinagoge Yahudi di Yerusalem.

 

🛕GEREJA MEMISAHKAN DIRI DARI IBADAH YUDAISME

 

Faktor penunjang yang besar dalam hal pemisahan kekristenan dari sabat Yahudi, Bait Suci, upacara Yahudi dan sebagainya ialah rasa permusuhan Yahudi terhadap gereja yang semakin tak terkontrol lagi. Akhirnya, pada tahun 70 Masehi, ketika Yerusalem berhasil dikepung, tentara Roma merubuhkan tembok-tembok Kota Suci itu dan menghancurkan bait sucinya serta membunuh hampir semua penduduk kota. Kebanyakan orang Kristen telah melarikan diri dan penduduk kota yang masih hidup telah tercerai berai. Hal ini dipandang sebagai suatu tindakan pengkhianatan oleh orang-orang Yahudi dan yang menjadi puncak alasan perpecahan antara Kekristenan dan Yudaisme. Tapi sejauh terkait dengan Perjanjian Baru, pengertian kita tentang ibadah sangat samar-samar. Jelas bahwa ibadah utama adalah pada “hari Tuhan” atau yang lebih dikenal sebagai Sabat [KPR. 13:14, 42-44; 17:2; 18:4], walaupun ada acuan mengenai kebaktian-kebaktian harian pada awalnya [KPR. 2:46]. Tidak disebut kebaktian-kebaktian [ibadah] untuk memperingati kebangkitan Tuhan Yesus dan turunnya Roh Kudus para perayaan hari Pentakosta. Ibadah-ibadah dilaksanakan di rumah-rumah orang percaya. Dalam keadaan demikian pelayan-pelayan resmi tidaklah perlu. Kesederhanaan merupakan ciri khas pelayanan-pelayanan ibadah rumah tangga jemaat ini, yang bagian terbesar acaranya terdiri dari puji-pujian [Efesus 5:19; Kolose 3:16], doa, pembacaan kitab suci dan penjelasannya. Tentang kegiatan ibadah jemaat di Korintus dilaporkan adanya manifestasi karunia bahasa Roh [1 Korintus 14], perjamuan kasih, diikuti perjamuan Tuhan [1 Korintus 11:23-28]. Itu semua merupakan mata acara penting yang lazim dalam kegiatan ibadah Kristen pada masa gereja mula-mula.

Peribadahan Kristen mula-mula [pada masa gereja awal telah memisahkan diri dari Yudaisme] banyak mengambil alih cara-cara peribadahan Yahudi di Sinagoge, termasuk penataan dan perabotannya. Menurut catatan Kisah Para Rasul, para pengikut Yesus pada awalnya ikut serta dalam peribadahan Bait Allah [KPR. 3:1]. Tetapi ritual awal segera diberi arti yang baru sama sekali. Korban persembahan tidak lagi penuh darah – seluruh ritual ibadah di Bait Allah menjadi usang [Ibrani 9:13-14].

Di zaman gereja mula-mula – bermula dari perayaan Pentakosta sebagaimana dinubuatkan Nabi Yoel dan yang dicatat kembali dalam Kisah Para Rasul – jemaat   beribadah dengan pola doa, pujian, dan penyembahan. Bentuk fisik memang tidak sama dengan jaman Daud, tetapi semangat dan rohnya sama. Mereka bernyanyi dengan lantang, mereka berdoa sampai tempat dimana mereka berdoa bergoyang. Memang alat musik belum digunakan tetapi ibadah rohani ini terjadi dan membuahkan mujizat; kuasa doa, pujian dan penyembahan terjadi. Petrus di dalam penjara bisa keluar, Paulus dan Silas menyanyi dan berdoa dengan nyaring di penjara Filipi mengakibatkan gempa bumi – yang kemudian menjadi alasan pembebasan mereka [KPR. 15:5-35]. Inilah pola ibadah zaman rasuli. Jauh dari bentuk-bentuk formal yang kaku, jauh dari seremonial tetapi kuasa ibadah dan kehadiran Roh Allah sangat nyata. Kalau dulu hanya bangsa Israel, pondok pujian Daud dipulihkan Tuhan menjadi pondok pujian gereja-Nya yang esa di seluruh jagad. Sekarang bukan lagi Taurat Musa dan kitab para nabi yang diberitakan, tetapi Injil Yesus Kristus yang diwartakan. Injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan siapa saja yang percaya. Bangsa Yahudi tetap dengan ibadah ratapannya, gereja bertumbuh pesat dengan pola ibadah rasuli itu.

 

🛕GEREJA DI BAWAH KEKAISARAN ROMAWI

 

            Semenjak dihancurkannya bait Allah [bulan Agustus] dan kota suci Yerusalem oleh Panglima Romawi Titus pada tahun 70 Masehi maka orang Kristen asal Yahudi maupun yang beragama Yahudi banyak yang meninggalkan kota itu. Walau hanya memerintah dua tahun, dua bulan lebih dan meninggal pada umur 42 tahun tetapi Titus telah menimbulkan aniaya dan penderitaan yang diluar batas kemanusiaan atas gereja Tuhan.  Titus memerintahkan tentara Romawi untuk menyalibkan mereka yang tertangkap di luar kota Yerusalem. Akibatnya ada 500 [lima ratus] orang disalibkan setiap hari, menurut catatan Eusebius, ahli sejarah gereja yang mula-mula [tahun 260-340] dalam bukunya The History of the Church. Kejadian mengerikan tersebut mengakibatkan kegiatan kerohanian atau ibadah di Yerusalem dihentikan.  Pada saat itu dunia dikuasai oleh Kerajaan Romawi, termasuk tanah Palestina; sedangkan orang Yahudi yang tinggal di kota Roma cukup banyak [sepertiga dari penduduk kota Roma adalah orang-orang Yahudi]. Walau demikian perkembangan penyebaran agama Kristen di kota Roma pada waktu itu sangat pesat.  Penyebaran agama Kristen berpusat di kota Roma namun dengan matinya para Rasul mula-mula maka tidak ada lagi rasul penerus saat itu.

Gereja rasuli kemudian berselancar di atas gelombang aniaya dan penderitaan, hingga memasuki awal abad ke 3 Masehi. Konstantinus Agung [Gaius Flavius Valerius Aurelius Constantinus] adalah kaisar Romawi yang telah masuk Kristen pada tahun 312  Masehi meskipun dia baru dibaptiskan menjelang ajalnya pada tahun 337 Masehi. Sejarah mencatat bahwa jaman kaisar Konstantinus merupakan masa baik bagi pertumbuhan gereja karena agama Kristen secara resmi diterima menjadi Gereja Negara dan ditetapkannya hari Minggu menjadi hari suci bagi orang Kristen dalam undang-undang negara. Semuanya tertuang dalam “maklumat Milan” atau yang disebut Edik Milano sebagai hasil pertemuan antara Konstantin Agung dengan Licinius, penguasa di Timur dilaksanakan di kota Milan, Itali pada tahun 313. Namun jaman Konstantinus ini juga merupakan bukti sejarah adanya pandangan yang keliru mengenai makna sakramen baptisan air sehingga sejak itu cara melakukan pembaptisanpun sudah tidak sesuai dengan cara yang diajarkan sesuai Firman Tuhan [mereka umumnya mengabaikan cara pembaptisan, namun memberi penekanan penyebutan nama dalam sakramen Baptisan, karena Baptisan mendekati ajal kematian sangat sulit untuk diselamkan, begitu halnya juga dengan pembaptisan kanak-kanak].

Jadi, berita baiknya adalah Kekaisaran Romawi menerima Injil sebagai agama baru dari Timur yang tidak lagi melakukan aniaya fisik terhadap para pengikut Kristus. Disinilah titik perubahan  terjadi. Tapi berita buruknya, Injil direndahkan sejajar dengan agama dan filsafat yang bertaburan saat itu. Materi dan kemampuan rasio menggantikan penyerahan diri pada kehendak Roh. Pola ibadah Gereja menjadi pola ibadah bagaikan di zaman pembuangan lagi. Sebagai agama, lebih-lebih agama negara, Kristen mulai membangun tatacara, tata birokrasi dan hirarki agama. Uskup sebagai kepala agama berdampingan dengan Kaisar sebagai kepala pemerintahan. Agama diintervensi politik. Kekakuan ibadah mulai terjadi. Rakyat mengikuti pola ibadah “ketakutan”. Semua gerak dan lagu dikontrol penguasa gereja dan politik. Jadilah liturgi ibadah yang kaku. Nuansa Injil sebagai kabar sukacita dan kehadiran Roh Allah yang menimbulkan gairah dan mujizat tidak ada lagi. Pola ibadah Gereja Mula-mula lenyap, digantikan oleh ibadah yang kaku dan mati. Sekarang Gereja menggunakan pola ibadah agamawi. Ibadah Kristen yang menitikberatkan keanggunan dan kekudusan Allah secara lahiriah menjadi syariat agama. Ibadah yang disertai rasa gembira dan ekspresif berubah menjadi ibadah yang disertai rasa hormat, takut, dan kaku, tidak lagi ekspresif. Segala gerak-gerik ibadah ditulis didalam liturgi.

Celakanya, hal yang seperti ini justru diperkuat tokoh-tokoh Gereja dan Injil ditelaah berdasarkan  keilmuan umum [sekularistis] sehingga muncul berbagai doktrin agama Kristen, bermacam teologi, bahkan sekte dan bidat. Pola ibadah semakin carut-marut dan menegangkan. Gereja memasuki zaman kelam.Dalam keadaan seperti ini, agama Kristen menguat di Eropa. Dari sinilah muncul Misi dan Zending di seluruh dunia termasuk di Indonesia melalui Belanda dan VOC, yang didahului Portugis. Gereja menjadi ikon agama Kristen. Tentu yang mereka ajarkan adalah tatacara ibadah Gereja Barat. Di Indonesia, Kristen terkenal sebagai agama Barat bahkan agama penjajah [Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun]. Pola ibadahnya adalah pola ibadah bernuansa Barat, bahkan hampir semua nyanyian adalah terjemahan lagu-lagu Barat. Injil yang menyukacitakan berubah menjadi ajaran agama dengan tatacara protokoler yang menegangkan dan menakutkan. Nyanyian Gereja yang berasal dari komposisi Barat di masa lalu dianggap sebagai nyanyian yang anggun dan sakral. Nyanyian yang menyentuh hati dan hasil luapan hati masa kini, dianggap kurang sakral apalagi jika diiringi alat musik “populer” [baca, band]. Jika menyanyi dengan perasaan, dikatakan emosional, jika dengan tarian dan gerakan-gerakan tubuh, dianggap meniru penyembah berhala. Yang kudus hanyalah suara orgel dan piano. Gitar dan drum itu duniawi.

Pada waktu jemaat Kristen mula-mula beribadah bersama, mereka membentuk pola-pola ibadah yang agak berbeda dengan ibadah di rumah sembahyang. Kita tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai ibadah dalam jemaat Kristen mula-mula sampai tahun 150 Masehi, ketika Yustinus Martir menjelaskan pola yang khas mengenai pelayanan ibadah yang khas dalam tulisan-tulisannya.  Orang-orang Kristen yang mula-mula itu bertemu setiap hari Sabat [Sabtu] di Bait Allah di Yerusalem, di sinagoge atau rumah sembahyang, atau di rumah-rumah pribadi [KPR. 2:46; 13:14-16; 20:7-8]. Beberapa pakar beranggapan bahwa Paulus mengajar di ruang kuliah "Tiranus" [KPR. 19:9]. Hal ini menunjukkan bahwa jemaat Kristen mula-mula itu kadang-kadang menyewa gedung-gedung sekolah atau sarana-sarana lainnya.98 Kita tidak mempunyai bukti bahwa orang-orang Kristen membangun sarana-sarana khusus untuk ibadah mereka untuk lebih dari satu abad setelah Kristus. Ketika terjadi penganiayaan terhadap orang Kristen, mereka harus beribadah di tempat-tempat rahasia seperti katakomba-katakomba (kuburan-kuburan bawah tanah) di Roma.

Para pakar percaya bahwa jemaat Kristen pertama melakukan ibadah pada setiap hari Minggu sore, dan bahwa ibadah mereka berpusat pada Perjamuan Tuhan. Tetapi pada suatu saat, mereka mulai melakukan ibadah dua kali pada hari Minggu seperti yang diungkapkan oleh Yustinus Martir - sekali pada waktu subuh dan sekali pada waktu sore hari. Jam-jam kebaktian dipilih demi kerahasiaan dan disesuaikan dengan orang-orang yang bekerja, yang tidak bisa mengikuti kebaktian pada siang hari.

Yustinus Martir dalam bukunya, First Apology, ditulis sekitar tahun 155 Masehi, [merupakan karya kesarjanaan besar pertama] yang ditujukan kepada penguasa Antoninus Pius dan putera-puteranya, menggambarkan struktur dasar dari liturgi ibadah Kristen. Yustinus menggambarkan, orang Kristen berkumpul untuk ibadah bersama pada hari Minggu, yaitu hari Yesus bangkit dari kubur. Pembacaan Firman Tuhan diambil dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tapi terutama dari Injil. Pada akhir dari liturgi ibadah, diadakan Perjamuan Kudus, untuk memperingati pengorbanan Yesus.

Namun gereja pada saat ini, juga ada yang mengadakan ibadah selain hari Minggu. Gereja Advent Hari Ketujuh berkumpul pada hari Sabtu. Gereja Pentakosta atau Karismatik mengikuti "tuntunan Roh Kudus" dan tidak memiliki liturgi yang tertulis, walaupun ada tata cara urutan umum kebiasaan ibadah yang biasanya dari minggu ke minggu mirip. Gereja Evangelical menggabungkan Pop dan Rock ke dalam ibadahnya, sementara beberapa Gereja yang lain melarang sama sekali penggunaan alat musik dalam ibadah, seperti Gereja Ortodoks.

Ibadah dapat divariasikan untuk acara-acara khusus, seperti baptisan, pernikahan, atau hari raya Kristen seperti Natal dan Paskah. Ada pula ibadah untuk anak-anak, yang biasanya disebut Sekolah Minggu atau Ibadah Anak.

Liturgi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, leitourgia, yang berarti kerja bersama. Kerja bersama ini mengandung makna peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan kasih, dan pada umumnya istilah liturgi lebih banyak digunakan dalam tradisi Kristen, antara lain umat Katolik. Kurang lebih dapat dibandingkan dengan rukun salat secara berjamaah baik pada hari-hari raya maupun hari Jumat dan salat lima-waktu setiap hari pada umat Islam [lihat: Oxford Dictionary of World Religions, hal.582-3].

Liturgi adalah kegiatan dari Kristus Paripurna, dalam bahasa Latin Christus totus, atau Kristus seluruhnya, yaitu Kristus di sorga sebagai kepala dan seluruh jemaatNya yang masih ada di dunia, yaitu gereja yang merupakan Tubuh Kristus, dalam korban pujian dan syukur kepada Allah.

Liturgi dirayakan dengan menggunakan pelbagai tanda dan lambang, baik yang berasal dari pengalaman manusia, tanda-tanda "perjanjian" antara Allah dan umatNya, tanda-tanda yang diangkat oleh Kristus, dan tanda-tanda sakramental, yang semuanya merujuk pada keselamatan yang berasal dari Kristus, menggambarkan dan mencicipi di masa sekarang kemuliaan surga. Juga dengan menggunakan perkataan [terutama dalam Liturgi Sabda di mana Kitab Suci dibacakan dan direnungkan] dan tindakan [terkait dengan masing-masing sakramen: misalnya pembaptisan, pengurapan minyak, liturgi ekaristi, penumpangan tangan]. Dengan nyanyian dan musik, dan gambar-gambar kudus, sebagai ikon.

Hari Minggu adalah hari dimana umat berkumpul merayakan liturgi, "untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan ekaristi, mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah.

Ibadah harian [horarium] merupakan doa seluruh Gereja. Setiap orang ambil bagian di dalamnya sesuai dengan tempatnya di Gereja dan menurut status hidupnya: para imam, biarawan dan biarawati, dan awam menurut kemungkinan yang ada pada mereka. Ibadat Harian dapat dilakukan bersama atau secara perorangan. Ibadat Harian seakan-akan merupakan kelanjutan dari perayaan Ekaristi.

Tata upacara atau ritus dalam perayaan liturgi yang berbeda-beda menunjukkan kekayaan misteri Kristus yang khas ditampilkan dalam tradisi liturgi yang beraneka ragam menurut wilayah geografis dan kebudayaan. Namun pada dasarnya ritus-ritus menunjukkan misteri keselamatann Kristus yang satu dan sama. Dengan demikian misteri Kristus disampaikan kepada semua bangsa dengan budaya dan bahasa mereka masing-masing.

Ritus atau tradisi liturgi yang sekarang digunakan adalah ritus Latin [terutama ritus Roma, ritus Ambrosius dan ritus ordo tertentu], ritus Bizantin, ritus Aleksandria atau Koptis, ritus Siria, ritus Armenia, ritus Maronit dan ritus Kaldea.

Sakramen adalah ritus agama Kristen yang menjadi perantara [menyalurkan] rahmat ilahi. Kata 'sakramen' berasal dari bahasa Latin sacramentum yang secara harfiah berarti "menjadikan suci". Salah satu contoh penggunaan kata sacramentum adalah sebagai sebutan untuk sumpah bakti yang diikrarkan para prajurit Romawi; istilah ini kemudian digunakan oleh Gereja dalam pengertian harfiahnya dan bukan dalam pengertian sumpah tadi.

Bagi Gereja Protestan, kata "menjadi perantara" atau "menyalurkan" digunakan hanya dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu simbol atau peringatan yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat. Gereja-gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Karena alasan ini, kebanyakan dari mereka lebih suka menggunakan istilah “fungsi imamat” atau “ordinansi.” Keyakinan ini menjadikan ordinansi efektif dalam hal ketaatan dan partisipasi orang-orang percaya serta kesaksian pimpinan dan anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber dari pengembangan konsep "imamat setiap orang percaya." Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat dari pada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, dari pada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.

Dalam tradisi kekristenan Barat, sakramen kerap diartikan sebagai tanda yang terlihat, yakni kulit luar yang membungkus isinya, yaitu rahmat rohaniah [walaupun tidak semua sakramen diterima semua gereja]. Ketujuh sakramen adalah Pembaptisan, Krisma [atau Penguatan], Ekaristi [Komuni], Imamat [Pentahbisan], Rekonsiliasi [atau Pengakuan Dosa], Pengurapan orang sakit [Minyak Suci], dan Pernikahan. Kebanyakan dari sakramen-sakramen ini digunakan sejak masa apostolik dalam Gereja, tetapi perkawinan, misalnya, baru diakui sebagai suatu sakramen pada abad pertengahan. Beberapa gereja tidak menganggap beberapa dari sakramen di atas sebagai sakramen. Beberapa gereja yang lain, misalnya gereja Anglikan dan kaum Katolik-Lama [bukan Gereja Katolik], menganggap dua sakramen ketuhanan dalam Injil, yaitu Pembaptisan dan Ekaristi, sebagai "sakramen-sakramen yang diperintahkan, yang mendasar, dan yang utama, yang dianugerahkan bagi keselamatan kita," serta menganggap kelima ritus sakramental lainnya sebagai "sakramen rendah" yang merupakan turunan dari kedua sakramen utama tadi.

Sudah jelas bahwa gereja-gereja, denominasi-denominasi, dan sekte-sekte Kristen tidak sepaham dalam hal jumlah dan pelaksanaan sakramen, namun umumnya sakramen-sakramen diyakini telah dilembagakan oleh Yesus. Pihak yang tidak percaya pada teologi sakramental menyebut ritus-ritus tersebut — atau setidak-tidaknya ritus-ritus yang mereka gunakan — terutama pembaptisan dan komuni, sebagai "ordinansi.

Beberapa gereja Protestan menganggap misteri-misteri “injili,” atau “dominikal,” yakni pembaptisan dan ekaristi sajalah yang merupakan sakramen, karena hanya keduanya yang langsung dilembagakan oleh Yesus sendiri, seperti tertulis dalam Injil. Kelima ritus lainnya dianggap bukan sakramen berdasarkan kitab Perjanjian Baru. Jadi, meskipun hampir semua gereja Protestan menyelenggarakan upacara akad nikah, dan banyak pula yang menahbiskan pejabat-pejabat gerejanya dalam upacara Pentahbisan, gereja-gereja Kristen ini menganggap ritus-ritus tersebut sebagai ordinansi [upacara/ibadah khusus] atau sarana-sarana rahmat, bukannya sakramen.

Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain.

Umat Kristiani umumnya percaya bahwa sakramen secara langsung mempengaruhi keadaan jiwa di alam baka. Sinode Missouri dari Gereja Lutheran menitikberatkan sakramen Pembaptisan. Mereka kerap sependapat dengan Santo Agustinus dari Hippo bahwa semua orang yang tidak dibaptis akan masuk ke neraka bila meninggal dunia, bahkan juga bayi. Di lain pihak, umat Katolik diizinkan percaya bahwa bayi-bayi yang meninggal tanpa dibaptis masuk ke limbo. Jika Gereja Protestan menitikberatkan Pembaptisan, umat Katolik justru percaya bahwa sakramen-sakramen lainnya juga diperlukan untuk mencegah agar umat beriman jangan sampai masuk ke neraka. Rekonsilisasi, misalnya, diperlukan bila seseorang telah berbuat dosa yang membawa maut [zina, membunuh, cabul, tidak menghadiri Misa pada hari minggu karena keinginan sendiri, memberikan kesaksian palsu, tidak beriman, penggunaan alat kontrasepsi] seperti melewatkan Ekaristi tanpa alasan yang benar. Dalam Gereja Katolik, sakramen-sakramen dapat pula mengurangi penderitaan seseorang di purgatorium [api penyucian].

 


🕍GEREJA DIREFORMASI

Reformasi” adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dalam kekristenan Barat yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17. Sebenarnya, reformasi merupakan gerakan yang hendak mengembalikan kekristenan kepada otoritas Alkitab dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip wahyu Allah. Reformasi meletus di abad ke-16 dan letusannya terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Gerakan ini berawal di Jerman dengan Martin Luther sebagai pelopornya lalu diikuti oleh Zwingli, yang memimpin reformasi di Swiss, kemudian Johanes Calvin mempelopori reformasi di Perancis, serta di Jenewa, Swiss hingga menjakau Inggris .

Gerakan ini boleh dikatakan dimulai oleh munculnya golongan Lollard, Waldens, dan Hussit pada masa sebelum abad ke-16. Pada awal abad ke-16 tampak jelas bahwa gereja di Eropa Barat berada dalam keadaan yang sangat memerlukan pembaharuan secara menyeluruh. Darah kehidupan gereja telah berhenti mengalir melalui pembuluh- pembuluhnya. Tata gereja yang resmi benar-benar membutuhkan pembongkaran yang menyeluruh. Birokrasi gereja menjadi tidak efisien dan penuh korupsi. Moral para rohaniwan sering tampak lemah dan menjadi sumber skandal bagi jemaat. Sedangkan jabatan gereja yang tinggi di peroleh melalui cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Umumnya jabatan itu diperoleh dengan dasar hubungan keluarga, status politik, atau status keuangan, bukannya atas kualitas kerohanian mereka.

Bagi banyak orang, jeritan pembaharuan itu merupakan permohonan untuk melakukan reformasi gereja dalam bidang administratif, moral dan hukum. Penyalahgunaan dan imoralitas harus disingkirkan, Paus harus mengurangi perhatiannya terhadap masalah- masalah duniawi, administrasi gereja disederhanakan dan dibersihkan dari korupsi. Selain itu, ada beberapa orang yang menambahkan tuntutan lain, yakni tuntutan akan perlunya reformasi atas ajaran, teologi, dan paham-paham keagamaan Kristen. Bagi Martin Luther dan Johanes Calvin, gereja telah kehilangan visi. Sebuah penyelewengan dari paham- paham utama dan khas dalam iman Kristen, serta kegagalan dalam menangkap makna sebenarnya dari kekristenan. Sudah saatnya bagi gereja untuk memutar haluan, meninggalkan karya abad pertengahan dan kembali kepada kekristenan yang murni dan segar. Kekristenan tidak dapat diperbarui tanpa suatu pemahaman akan arti sebenarnya dari kekristenan itu. Reformasi menekankan untuk kembali kepada gereja mula-mula.

Dalam perjuangannya, Martin Luther mengecam keburukan-keburukan yang ada di dalam gereja, terutama penyelewengan surat penghapusan siksa dan sistem kepausan. Luther menyerang ajaran substansiasi (pemahaman tentang hakekat Perjamuan Kudus yang dianut oleh Gereja Katolik Roma), kehidupan selibat para klerus (klerus adalah istilah bagi para pejabat gereja), dan menuntut penghapusan kuasa Paus atas Jerman. Raja-raja Jerman banyak berpihak kepada Luther, seperti Raja Saxony, Hessen, Brandenburg, Brunswick, serta raja-raja diluar Jerman, seperti Raja Denmark dan Swedia. Daerah-daerah tersebut menjadi daerah Lutheran (istilah yang diberikan kepada para pengikut Luther) dan Luther menyerahkan wewenang untuk mengatur gereja dalam wilayah tersebut kepada rajanya masing-masing.


    Reformasi juga terjadi di luar Jerman. Di kota Zurich, Ulrich Zwingli juga mengadakan reformasi gereja pada tahun 1523 dengan dukungan dari dewan kota. Pembaruan yang dilakukan Zwingli lebih radikal bila dibandingkan dengan pembaharuan Luther. Pembaruan di Zurich menyebabkan kota tersebut menjadi anti Paus, anti monastik dan anti hierarki. Ajaran Zwingli segera menyebar di kota-kota lainnya seperti Swiss dan Jerman Selatan. Sedangkan di Jenewa, pembaruan pertama-tama dilakukan oleh William Farel dan kemudian dilanjutkan oleh Johanes Calvin. Calvin berhasil mengadakan pembaharuan di kota ini, bahkan pada tahun 1536 Calvin berhasil menerbitkan buku Institutio (Institutes of Christian Religion). Calvinisme segera berkembang ke seluruh Eropa dan menimbulkan pergolakan politik, seperti perang agama di Perancis, revolusi Belanda yang membebaskan penjajahan Spanyol, kemerdekaan Skotlandia dari pengawasan Perancis, dll.

     Gerakan reformasi gereja juga muncul di Inggris. Gerakan ini ditandai oleh tindakan Raja Henry VIII mendirikan gereja Anglikan dan penolakannya terhadap supremasi Paus atas gereja-gereja Inggris.

 

🛕AKAR DAN  PENDAHULU ABAD KE-14 DAN ABAD KE-15

 

        Gerakan Anti-hirarki: Katharisme, Waldensianisme, dan lainnya. Kepausan Avignon ("Pembuangan Gereja di Babel"),  Avignon, Skisma Besar Jan Hus, John Wycliffe,  William TyndaleRenaisans Utara

  Kemelut di Gereja Barat dan Kekaisaran Romawi Suci memuncak dengaKepausan Avignon (1308 - 1378), dan skisma kepausan (1378-1416), membangkitkan peperangan antara para pangeran, pemberontakan di antara petani, dan keprihatinan yang meluas terhadap rusaknya sistem kebiaraan. Suatu  nasionalisme baru juga menantang dunia abad pertengahan yang relatif internasionalis.

    Salah satu perspektif yang paling menghancurkan dan radikal pertama-tama muncul dari John Wyclif di Universitas Oxford, kemudian dari  Jan Hus di Universitas Praha. Gereja Katolik Roma secara resmi menyimpulkan perdebatan ini di  Konsili Konstanz (1414-1418). Konklaf mengutuk Jan Hus yang dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan. Sementara Wyclif secara anumerta dihukum bakar sebagai seorang penyesat.

Konstans mengukuhkan dan memperkuat konsepsi abad pertengahan yang tradisional tentang gereja dan kekaisaran. Konsili ini tidak membahas ketegangan nasional, ataupun ketegangan teologis yang muncul pada abad sebelumnya. Konsili tidak dapat mencegah skisma dan Perang Hus di  Bohemia.

      Gejolak historis biasanya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya Reformasi Protestan.

    Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan  skolastisisme di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh  Pembuangan ke Babel dari Kepausan Avignon, Skisma Besar, dan kegagalan pembaruan oleh  Gerakan Konsiliar, pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para ahli sejarah pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi (terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi pembarua), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi, karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan  Gerakan Konsiliar melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan reformis yang frustrasi ini merentang dari nominalisme, ibadah modern, hingga  humanisme yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap kekayaan dan kekuasaan kaum  agamawan elit, membuat masyarakat semakin peka terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja Renaisans yang sekular.

    Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh  wabah pes mendorong penataan ulang secara radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.

 

📚REFERENSI BACAAN :

    Belloc, Hilaire (1928), How the Reformation Happened, Tan Books & Publishing.

ISBN 0-89555-465-8 (a Roman Catholic Perspective)

    Braaten, Carl E. and Robert W. Jenson. The Catholicity of the Reformation. Grand

Rapids: Eerdmans, 1996.  ISBN 0-8028-4220-8

    Estep, William R. Renaissance & Reformaton. Grand Rapids: Eerdmans, 1986.

ISBN 0-8028-0050-5

    Gonzales, Justo. The Story of Christianity, Vol. 2: The Reformation to the Present

Day. San Francisco: Harper, 1985.  ISBN 0-06-063316-6

    Kolb, Robert. Confessing the Faith: Reformers Define the Church, 1530-1580. St.

Louis: Concordia Publishing House, 1991.  ISBN 0-570-04556-8

    Spitz, Lewis W. The Protestant Reformation: Major Documents. St. Louis: Concordia Publishing House, 1997.  ISBN 0-570-04993-8

    Spitz, Lewis W. The Renaissance and Reformation Movements: Volume I, The Renaissance. Revised Edition. St. Louis: Concordia Publishing House, 1987. ISBN 0-570-03818-9

    Spitz, Lewis W. The Renaissance and Reformation Movements: Volume II, The Reformation. Revised Edition. St. Louis: Concordia Publishing House, 1987. ISBN 0-570-03819-7


💁‍♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏‍♂️




Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus




0 comments:

Posting Komentar