💁♂️IBADAH
LAHIRIAH🤷♂️
Dengan kehilangan kita akan perasaan
kaagungan, terjadi kehilangan lebih lanjut akan kekaguman religius dan
kesadaran akan hadirat Ilahi. Kita telah kehilangan roh ibadah kita dan
kamampuan kita untuk menarik diri ke dalam untuk bertemu dengan Tuhan dalam
kesunyian penyembahahan. Kekristenan modern sama sekali tidak menghasilkan
jenis orang Kristen yang dapat menghargai atau mengalami kehidupan dalam Roh.
– A. W. Tozer, The Knowledge of the
Holy.
Lingkup pengertian kata ibadah dalam Alkitab sangat luas, tapi konsep asasinya baik dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru adalah pelayanan. Ibadah adalah pemberian hormat kepada Allah [Kejadian 20:1-6] yang bukan saja dinyatakan dalam gerak, isyarat dan perkataan tepat, pantas, tetapi juga dituntut dalam sikap perbuatan dan dalam kehidupan sehari-hari [Amos 5:21-24]. Disamping artinya yang biasa, dalam Kisah Para Rasul, beribadah berarti menyembah Tuhan Allah serta mentaati hukum-hukum Perjanjian Lama, tanpa harus menjadi seorang penganut agama Yahudi yang sepenuhnya [KPR. 16:14; 18:7]. Orang-orang yang beribadah itu biasanya juga disebut sebagai orang-orang yang takut akan Allah [KPR. 10:1-4; 17:4]. Arti kata ibadah dalam bahasa Ibrani `abodah, [baca, ab-o-daw'] dan Yunaninya, latreia [baca, lat-ri'-ah] pada mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba upahan. Dan dalam rangka melaksanakan ibadah ini kepada Allah, maka para hamba-Nya harus “meniarap” [tersungkur hingga wajah menyentuh tanah] – Ibrani, shachah, [baca, shaw-khaw'], atau Yunani, proskuneo [baca, pros-koo-neh'-o] – dan dengan demikian mengungkapkan rasa takut penuh hormat, kekaguman dan ketakjuban penuh puja-puji.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah
pribadi [Kejadian 24:26; Keluaran 33:-34:8], tetapi tekanannya adalah pada
ibadah dalam jemaat [Mazmur 24:4; 1 Tawarikh 29:20]. Dalam Kemah Pertemuan dan
dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari
korban-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan
Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi.
Upacara-upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan,
penyampaian berkat imamat, dan lain sebagainya, cenderung menekankan segi
upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya. Tetapi banyak orang di
Israel yang dapat mengikuti ibadah umum [Mazmur 93; 95-100], doa-doa bersama
[Mazmur 60; 7; 80] dan memanfaatkannya untuk mengungkapkan kasih dan syukur
kepada Allah [Ulangan 11:13] dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang
sungguh-sungguh.
🕍GEREJA DAN POLA
IBADAH AWAL
Gereja
atau biasa disebut juga jemaat, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ἐκκλησία, ekklesia, [baca
ek-klay-see'-ah]; dari kata καλέω, kaleo [baca,kal-eh'-o], artinya "yang dipanggil".
Secara umum ekklesia diartikan sebagai perkumpulan orang-orang atau suatu
kumpulan orang yang berkumpul atas panggilan pembawa berita; juga digunakan
untuk perkumpulan sekuler [KPR. 19:32]. Sedangkan kata gereja yang digunakan saat ini diadopsi dari bahasa Portugis igreja yang juga merupakan terjemahan
dari kata Yunani kuriakos; artinya,
persekutuan orang-orang yang menjadi milik Yesus Kristus. Tetapi dalam konteks
Perjanjian Baru kata ini mengandung arti khusus, yaitu pertemuan orang-orang
Kristen sebagai jemaat untuk menyembah kepada Kristus. Dalam pengertian seperti ini, gereja tidak
pernah digunakan untuk bangunan seperti sekarang ini, atau untuk suatu
denominasi. Dalam Kisah Para Rasul kata ini kadang-kadang digunakan dalam
bentuk tunggal untuk persekutuan kristen lokal namun dalam KPR. 9:31 kata ini
menunjuk kepada seluruh jemaat yang kemudian begitu jauh meluas. Dalam KPR.
20:28, Paulus meminta para tua-tua jemaat di Efesus untuk menggembalakan jemaat
Allah yang diperoleh-Nya dengan darah anak-Nya sendiri yang mestinya
benar-benar berarti lembaga yang lebih luas ketimbang persekutuan di Efesus.
Gereja dimulai 50 hari sesudah kebangkitan Yesus (sekitar
tahun 30-34 Masehi). Yesus sudah berjanji bahwa Dia akan mendirikan gereja-Nya
(Matius 16:18), dan dengan
datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta [KPR. 2:1-4], gereja [kumpulan
orang yang dipanggil keluar] secara resmi dimulai. Tiga ribu orang yang
menerima khotbah Simon Petrus pada hari itu dan memilih untuk
mengikuti Kristus dengan cara dibaptiskan.
Petobat-petobat
pertama dalam kekristenan adalah orang-orang Yahudi atau penganut-penganut Yudaisme,
dan gereja,
yaitu persekutuan orang-orang yang mengaku ketuhanan Yesus itu, berpusat di
Yerusalem. Karena itu kekristenan pada mulanya dipandang sebagai sekte Yahudi,
sama seperti orang-orang Farisi, Saduki, atau Eseni. Namun demikian, apa yang dikhotbahkan para rasul
berbeda secara radikal dari apa yang diajarkan oleh kelompok-kelompok Yahudi
lainnya. Yesus diberitakan sebagai "Mesias"
atau Juruselamat
orang Yahudi, yaitu Raja yang Diurapi, yang telah dinubuatkan kedatangannya
untuk menggenapi Hukum Taurat dan mendirikan Perjanjian
Baru yang berdasarkan pada kematianNya. Berita ini, dan tuduhan
bahwa mereka telah membunuh Mesias mereka sendiri, membuat banyak pemuka Yahudi
menjadi marah, dan beberapa orang, seperti Saul, yang kemudian dikenal sebagai Paulus,
dari Tarsus,
mengambil tindakan untuk memusnahkan “Jalan” itu; sebelum ia sendiri akhirnya
menjadi penganut Kristus yang sangat gigih.
Periode gereja mula-mula terhitung
sejak dimulainya pelayanan rasul Petrus,
Paulus dan lain-lainnya dalam memberitakan
kisah Yesus hingga bertobatnya Kaisar Konstantinus
I, kurang lebih tahun 33 hingga 325. Pada periode ini gereja dan
orang-orang Kristen
mengalami penganiayaan, terutama
penganiayaan fisik karena mereka beribadah kepada Yesus Kristus yang mereka
akui dan yakini sebagai Tuhan, namun bapak-bapak gereja mulai menulis
tulisan-tulisan Kristen yang pertama dan ajaran-ajaran yang menyeleweng yang
bermunculan diatasi.
Perlu diingat bahwa ibadah Kristen
lahir dari ibadah Yahudi. Pola ibadah Yahudi dibagi atas dua bagian zaman. Yang
pertama adalah pola ibadah Yahudi di zaman Raja Daud. Zaman itu menjadi zaman
keemasan Yahudi. Ibadah itu dirasakan
sebagai persekutuan dengan Allah dan penuh kenikmatan.
Daud mengutamakan doa, pujian, dan
penyembahan kepada Tuhan Allah. Dia tahu bahwa Tuhan bertahta di atas pujian
Israel [Mazmur 22:4]. Maka itu memuji dan menyembah Tuhan adalah langkah ril
agar Tuhan menikmati ibadah persekutuan yang dinaikan umatNya. Kalau Tuhan
menikmati, maka umatNya pasti diberkatiNya. Tuhan memang hadir dan berkenan
menikmati doa, pujian dan penyembahan umat Israel yang dipimpin Raja Daud.
Pola ibadah zaman Raja Daud adalah ibadah pesta, [perayaan, atau selebrasi].
Ibadah itu dipenuhi musik [instrumental dan vocal] serta rasa riang gembira,
sangat ekspresif didalam pemuliaan akan Tuhan. Suasana kasih Allah
sangat dirasakan seluruh jemaat/rakyat. Perkenanan Tuhan akan Daud dinyatakan
dalam kitab 2 Samuel 7:16, “keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk
selama-lamanya dihadapanKu, tahtamu akan kokoh untuk selama-lamanya.” Keadaan
ini masih ada pada zaman Salomo dan mencapai klimaksnya pada pentahbisan Bait Suci.
Kemudian pola ibadah yang menyenangkan ini surut dan akhirnya hilang seiring
dengan berbaliknya bangsa Israel dari hadapan Tuhan, bahkan lenyap pada saat
bangsa mulia ini masuk dalam masa pembuangan (± 700 SM).
Zaman kedua adalah ibadah Yahudi
pada zaman pembuangan. Di masa pembuangan, umat Israel mengalami depresi yang
amat berat. Selama ini umat Yahudi beranggapan bahwa Tuhan Allah berdiam di
Bait Suci kota Yerusalem. Saat Rumah Allah mereka dihancurkan musuh dan mereka
diserakkan kedalam pelarian dan pembuangan, mereka merasa menderita dan putus
asa. Secara fisik mereka ditawan, secara psikis jauh dari sumber kemenangannya.
Mereka kalah total. Maka itu mereka berkabung. Dalam perkabungan itu mereka
tidak mau menyanyikan pujian seperti dulu. Dalam perkabungan itu mereka merasa
bahwa perayaan hanya ada jika mereka berada di kota sucinya, Yerusalem. Dalam
perkabungan, perayaan adalah hal yang tabu. Mereka hanya mengharapkan pelarian
dan perkabungannya segera berakhir dan mereka kembali ke Yerusalem. Maka pola
ibadah selebrasi berakhir sudah, berganti pola ibadah ratapan dan penantian.
Ingatlah, umat di jaman Daud dulu sudah tiada, hampir 400 tahun sudah berlalu,
tentu generasi ini tidak pernah merasakan indahnya ibadah di zaman Daud.
Zaman penjajahan dan pembuangan terjadi
pada masa kejayaan bangsa Siria, Babilonia (Nebukadnezar menghancurkan Bait
Suci yang dibangun Salomo dan menawan Daniel dan kawan-kawan) dan Persia.
Memang pada zaman Persia berkuasa umat Yehuda sudah pulang ke Yerusalem di bawah
pimpinan Zerubabel dan Nehemia. Pada zaman Kerajaan Persia kaum Yehuda
membangun kembali tembok Yerusalem dan Bait Allah; tetapi pola ibadah sukacita
belum dipulihkan.
Dalam Perjanjian Baru muncul lagi ibadah di Bait Suci dan di Sinagoge. Yesus sering mengambil bagian dalam kedua tempat ibadah tersebut,
tetapi Dia selalu menekankan bahwa ibadah adalah sungguh-sungguh merupakan
kasih yang timbul dari hati nurani kepada Bapa sorgawi. Dalam ajaran-Nya,
mendekati Allah melalui perantaraan ritual dan imamat bukan saja tidak penting
lagi, bahkan sekarang tidak perlu. Pada akhirnya, `abodah, [baca, ab-o-daw']
dan latreia [baca, lat-ri'-ah]
yang sebenarnya, suatu pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah tidak hanya
dalam arti ibadah di Bait Suci, tapi juga dalam arti pelayanan terhadap sesama [Lukas
10:25-37; Matius 5:23-24; Yohanes 4:20-24; Yakobus 1:27]. Pada permulaannya
gereja tidak meninggalkan kebakitan di Bait Suci; dan mungkin orang Kristen
terus mengikuti kebaktian di sinagoge juga.
Beberapa tradisi liturgis dalam
gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt.
Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan dalam artikelnya, “Mazmur-Mazmur
Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama” :
“Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu,
kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal,
kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari
agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi”
Dalam perkembangannya, akibat suasana Anti Semit yang
berkembang kuat di luar Yerusalem, Gereja [Qahal Mesias] dari kalangan non
Yahudi [Christianos, Kis 11:26] mulai melepaskan diri dari lingkungan Yudaisme
dan Gereja dari kalangan Yahudi [Netsarim, Notsrim, Nazoraios, Kis 24:5,11].
Ketika Gereja non Yahudi berkembang di luar Yerusalem, khususnya di Roma dan
seluruh wilayah jajahannya dan berkembang sampai Eropa, maka Gereja mulai
mengembangkan liturginya yang melepaskan banyak unsur-unsur dalam Yudaisme dan
Keyahudian.
Nelly Van Doorn-Harder, MA., dalam
artikel berjudul “Akar-Akar Keyahudian
Dalam Liturgi Kristen” mengatakan:
“Bila Liturgi Protestan dilihat
sebagaimana yang ada sekarang, sulit dibayangkan bahwa akar dari semua
kehidupan liturgis Kristen, dapat ditemukan dalam Liturgi Yahudi. Karena
memang [Yahshua] adalah seorang Yahudi. Ia selalu mengutip dan menggunakan
cerita-cerita, tema-tema dan simbol-simbol dari Perjanjian Lama.
Perayaan-perayaan perjamuan kudus dan rumusan doa sehari-hari gereja purba
diambil dari cara Yudaisme…Proses melupakan warisan keyahudian ini, berawal
dari pengajaran mengenai amanat Kristen di luar tanaah asalnya sendiri, tanah
Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara
menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani”.
Fakta penting pertama dari penjelasan Nelly Van Doorn-Harder adalah bahwasanya berbagai liturgi Kekristenan merupakan warisan yang berakar dari Yudaisme, dimana Yesus, Sang Mesias pun menggunakannya dalam ibadah harian [tefilah] maupun sabat di sinagoge-sinagoge Yahudi di Yerusalem.
🛕GEREJA
MEMISAHKAN DIRI DARI IBADAH YUDAISME
Faktor
penunjang yang besar dalam hal pemisahan kekristenan dari sabat Yahudi, Bait
Suci, upacara Yahudi dan sebagainya ialah rasa permusuhan Yahudi terhadap
gereja yang semakin tak terkontrol lagi. Akhirnya, pada tahun 70 Masehi, ketika
Yerusalem berhasil dikepung, tentara Roma merubuhkan tembok-tembok Kota Suci
itu dan menghancurkan bait sucinya serta membunuh hampir semua penduduk kota.
Kebanyakan orang Kristen telah melarikan diri dan penduduk kota yang masih
hidup telah tercerai berai. Hal ini dipandang sebagai suatu tindakan
pengkhianatan oleh orang-orang Yahudi dan yang menjadi puncak alasan perpecahan
antara Kekristenan dan Yudaisme. Tapi sejauh terkait dengan Perjanjian Baru,
pengertian kita tentang ibadah sangat samar-samar. Jelas bahwa ibadah utama adalah
pada “hari Tuhan” atau yang lebih dikenal sebagai Sabat [KPR. 13:14, 42-44;
17:2; 18:4], walaupun ada acuan mengenai kebaktian-kebaktian harian pada
awalnya [KPR. 2:46]. Tidak disebut kebaktian-kebaktian [ibadah] untuk
memperingati kebangkitan Tuhan Yesus dan turunnya Roh Kudus para perayaan hari
Pentakosta. Ibadah-ibadah dilaksanakan di rumah-rumah orang percaya. Dalam
keadaan demikian pelayan-pelayan resmi tidaklah perlu. Kesederhanaan merupakan
ciri khas pelayanan-pelayanan ibadah rumah tangga jemaat ini, yang bagian
terbesar acaranya terdiri dari puji-pujian [Efesus 5:19; Kolose 3:16], doa,
pembacaan kitab suci dan penjelasannya. Tentang kegiatan ibadah jemaat di
Korintus dilaporkan adanya manifestasi karunia bahasa Roh [1 Korintus 14],
perjamuan kasih, diikuti perjamuan Tuhan [1 Korintus 11:23-28]. Itu semua
merupakan mata acara penting yang lazim dalam kegiatan ibadah Kristen pada masa
gereja mula-mula.
Peribadahan
Kristen mula-mula [pada masa gereja awal telah memisahkan diri dari Yudaisme]
banyak mengambil alih cara-cara peribadahan Yahudi di Sinagoge, termasuk penataan dan perabotannya.
Menurut catatan Kisah Para Rasul, para pengikut Yesus pada awalnya ikut serta
dalam peribadahan Bait Allah [KPR. 3:1]. Tetapi ritual awal segera diberi arti
yang baru sama sekali. Korban persembahan tidak lagi penuh darah – seluruh
ritual ibadah di Bait Allah menjadi usang [Ibrani 9:13-14].
Di zaman gereja mula-mula – bermula dari perayaan Pentakosta
sebagaimana dinubuatkan Nabi Yoel dan yang dicatat kembali dalam Kisah Para
Rasul – jemaat beribadah dengan pola doa, pujian, dan
penyembahan. Bentuk fisik memang
tidak sama dengan jaman Daud, tetapi semangat dan rohnya sama. Mereka
bernyanyi dengan lantang, mereka berdoa sampai tempat dimana mereka berdoa
bergoyang. Memang alat musik belum digunakan tetapi ibadah rohani ini terjadi
dan membuahkan mujizat; kuasa doa, pujian dan penyembahan terjadi. Petrus di dalam
penjara bisa keluar, Paulus dan Silas menyanyi dan berdoa dengan nyaring di
penjara Filipi mengakibatkan gempa bumi – yang kemudian menjadi alasan
pembebasan mereka [KPR. 15:5-35]. Inilah pola ibadah zaman rasuli. Jauh dari bentuk-bentuk
formal yang kaku, jauh dari seremonial tetapi kuasa ibadah dan kehadiran Roh
Allah sangat nyata. Kalau dulu hanya bangsa Israel, pondok pujian Daud
dipulihkan Tuhan menjadi pondok pujian gereja-Nya yang esa di seluruh jagad.
Sekarang bukan lagi Taurat Musa dan kitab para nabi yang diberitakan, tetapi
Injil Yesus Kristus yang diwartakan. Injil adalah kuasa Allah yang
menyelamatkan siapa saja yang percaya. Bangsa Yahudi tetap dengan ibadah
ratapannya, gereja bertumbuh pesat dengan pola ibadah rasuli itu.
🛕GEREJA DI BAWAH KEKAISARAN
ROMAWI
Semenjak
dihancurkannya bait Allah [bulan Agustus] dan kota suci Yerusalem oleh Panglima
Romawi Titus pada tahun 70 Masehi maka orang Kristen asal Yahudi maupun yang
beragama Yahudi banyak yang meninggalkan kota itu. Walau hanya memerintah dua
tahun, dua bulan lebih dan meninggal pada umur 42 tahun tetapi Titus telah
menimbulkan aniaya dan penderitaan yang diluar batas kemanusiaan atas gereja
Tuhan. Titus memerintahkan tentara
Romawi untuk menyalibkan mereka yang tertangkap di luar kota Yerusalem.
Akibatnya ada 500 [lima ratus] orang disalibkan setiap hari, menurut catatan
Eusebius, ahli sejarah gereja yang mula-mula [tahun 260-340] dalam bukunya The
History of the Church. Kejadian mengerikan tersebut mengakibatkan kegiatan
kerohanian atau ibadah di Yerusalem dihentikan. Pada saat itu dunia
dikuasai oleh Kerajaan Romawi, termasuk tanah Palestina; sedangkan orang Yahudi
yang tinggal di kota Roma cukup banyak [sepertiga dari penduduk kota Roma
adalah orang-orang Yahudi]. Walau demikian perkembangan penyebaran agama
Kristen di kota Roma pada waktu itu sangat pesat. Penyebaran agama
Kristen berpusat di kota Roma namun dengan matinya para Rasul mula-mula maka
tidak ada lagi rasul penerus saat itu.
Gereja rasuli kemudian berselancar
di atas gelombang aniaya dan penderitaan, hingga memasuki awal abad ke 3 Masehi.
Konstantinus Agung [Gaius Flavius Valerius Aurelius Constantinus] adalah kaisar Romawi yang telah masuk Kristen pada tahun
312 Masehi meskipun dia baru dibaptiskan
menjelang ajalnya pada tahun 337 Masehi. Sejarah mencatat bahwa jaman kaisar Konstantinus
merupakan masa baik bagi pertumbuhan gereja karena agama Kristen secara resmi
diterima menjadi Gereja Negara dan ditetapkannya hari Minggu menjadi hari suci
bagi orang Kristen dalam undang-undang negara. Semuanya tertuang dalam
“maklumat Milan” atau yang disebut Edik Milano sebagai hasil pertemuan antara
Konstantin Agung dengan Licinius, penguasa di Timur dilaksanakan di kota Milan,
Itali pada tahun 313. Namun jaman Konstantinus ini juga merupakan bukti sejarah
adanya pandangan yang keliru mengenai makna sakramen baptisan air sehingga
sejak itu cara melakukan pembaptisanpun sudah tidak sesuai dengan cara yang
diajarkan sesuai Firman Tuhan [mereka umumnya mengabaikan cara pembaptisan,
namun memberi penekanan penyebutan nama dalam sakramen Baptisan, karena
Baptisan mendekati ajal kematian sangat sulit untuk diselamkan, begitu halnya
juga dengan pembaptisan kanak-kanak].
Jadi, berita baiknya adalah Kekaisaran
Romawi menerima Injil sebagai agama baru dari Timur yang tidak lagi melakukan
aniaya fisik terhadap para pengikut Kristus. Disinilah titik perubahan
terjadi. Tapi berita buruknya, Injil
direndahkan sejajar dengan agama dan filsafat yang bertaburan saat itu.
Materi dan kemampuan rasio menggantikan penyerahan diri pada kehendak Roh. Pola
ibadah Gereja menjadi pola ibadah bagaikan di zaman pembuangan lagi. Sebagai
agama, lebih-lebih agama negara, Kristen mulai membangun tatacara, tata
birokrasi dan hirarki agama. Uskup sebagai kepala agama berdampingan dengan
Kaisar sebagai kepala pemerintahan. Agama diintervensi politik. Kekakuan ibadah
mulai terjadi. Rakyat mengikuti pola ibadah “ketakutan”. Semua gerak dan lagu
dikontrol penguasa gereja dan politik. Jadilah liturgi ibadah yang kaku. Nuansa
Injil sebagai kabar sukacita dan kehadiran Roh Allah yang menimbulkan gairah
dan mujizat tidak ada lagi. Pola ibadah Gereja Mula-mula lenyap, digantikan
oleh ibadah yang kaku dan mati. Sekarang Gereja menggunakan pola ibadah agamawi.
Ibadah Kristen yang menitikberatkan keanggunan dan kekudusan Allah secara
lahiriah menjadi syariat agama. Ibadah
yang disertai rasa gembira dan ekspresif berubah menjadi ibadah yang disertai
rasa hormat, takut, dan kaku, tidak lagi ekspresif. Segala gerak-gerik ibadah ditulis didalam
liturgi.
Celakanya, hal yang seperti ini
justru diperkuat tokoh-tokoh Gereja dan Injil ditelaah berdasarkan keilmuan umum [sekularistis] sehingga muncul
berbagai doktrin agama Kristen, bermacam teologi, bahkan sekte dan bidat. Pola
ibadah semakin carut-marut dan menegangkan. Gereja memasuki zaman kelam.
Dalam keadaan seperti ini, agama
Kristen menguat di Eropa. Dari sinilah muncul Misi dan Zending di seluruh dunia
termasuk di Indonesia melalui Belanda dan VOC, yang didahului Portugis. Gereja
menjadi ikon agama Kristen. Tentu yang mereka ajarkan adalah tatacara ibadah
Gereja Barat. Di Indonesia, Kristen terkenal sebagai agama Barat bahkan agama
penjajah [Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun]. Pola ibadahnya adalah
pola ibadah bernuansa Barat, bahkan hampir semua nyanyian adalah terjemahan
lagu-lagu Barat. Injil yang menyukacitakan berubah menjadi ajaran agama dengan
tatacara protokoler yang menegangkan dan menakutkan. Nyanyian Gereja yang
berasal dari komposisi Barat di masa lalu dianggap sebagai nyanyian yang anggun
dan sakral. Nyanyian yang menyentuh hati dan hasil luapan hati masa kini,
dianggap kurang sakral apalagi jika diiringi alat musik “populer” [baca, band].
Jika menyanyi dengan perasaan, dikatakan emosional, jika dengan tarian dan
gerakan-gerakan tubuh, dianggap meniru penyembah berhala. Yang kudus hanyalah
suara orgel dan piano. Gitar dan drum itu duniawi.
Pada waktu jemaat Kristen
mula-mula beribadah bersama, mereka membentuk pola-pola ibadah yang agak
berbeda dengan ibadah di rumah sembahyang. Kita tidak memiliki gambaran yang
jelas mengenai ibadah dalam jemaat Kristen mula-mula sampai tahun 150 Masehi,
ketika Yustinus Martir menjelaskan pola yang khas mengenai pelayanan ibadah
yang khas dalam tulisan-tulisannya. Orang-orang Kristen yang mula-mula itu bertemu
setiap hari Sabat [Sabtu] di Bait Allah di Yerusalem, di sinagoge atau rumah
sembahyang, atau di rumah-rumah pribadi [KPR.
2:46; 13:14-16; 20:7-8]. Beberapa pakar beranggapan bahwa Paulus mengajar
di ruang kuliah "Tiranus" [KPR.
19:9]. Hal ini menunjukkan bahwa jemaat Kristen mula-mula itu kadang-kadang
menyewa gedung-gedung sekolah atau sarana-sarana lainnya.98
Kita tidak mempunyai bukti bahwa orang-orang Kristen membangun sarana-sarana
khusus untuk ibadah mereka untuk lebih dari satu abad setelah Kristus. Ketika
terjadi penganiayaan terhadap orang Kristen, mereka harus beribadah di
tempat-tempat rahasia seperti katakomba-katakomba (kuburan-kuburan bawah
tanah) di Roma.
Para pakar percaya bahwa
jemaat Kristen pertama melakukan ibadah pada setiap hari Minggu sore, dan bahwa
ibadah mereka berpusat pada Perjamuan Tuhan. Tetapi pada suatu saat, mereka
mulai melakukan ibadah dua kali pada hari Minggu seperti yang diungkapkan oleh
Yustinus Martir - sekali pada waktu subuh dan sekali pada waktu sore hari.
Jam-jam kebaktian dipilih demi kerahasiaan dan disesuaikan dengan orang-orang
yang bekerja, yang tidak bisa mengikuti kebaktian pada siang hari.
Yustinus Martir dalam bukunya, First
Apology, ditulis sekitar tahun 155 Masehi, [merupakan karya kesarjanaan besar
pertama] yang ditujukan kepada penguasa Antoninus Pius dan putera-puteranya, menggambarkan
struktur dasar dari liturgi ibadah Kristen. Yustinus menggambarkan, orang
Kristen berkumpul untuk ibadah bersama pada hari Minggu, yaitu hari Yesus
bangkit dari kubur. Pembacaan Firman Tuhan diambil dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, tapi terutama dari Injil. Pada akhir dari liturgi ibadah,
diadakan Perjamuan Kudus, untuk memperingati pengorbanan Yesus.
Namun gereja pada saat ini, juga ada
yang mengadakan ibadah selain hari Minggu. Gereja Advent Hari Ketujuh berkumpul
pada hari Sabtu. Gereja Pentakosta atau Karismatik mengikuti "tuntunan Roh
Kudus" dan tidak memiliki liturgi yang tertulis, walaupun ada tata cara
urutan umum kebiasaan ibadah yang biasanya dari minggu ke minggu mirip. Gereja
Evangelical menggabungkan Pop dan Rock ke dalam ibadahnya, sementara beberapa
Gereja yang lain melarang sama sekali penggunaan alat musik dalam ibadah,
seperti Gereja Ortodoks.
Ibadah dapat divariasikan untuk
acara-acara khusus, seperti baptisan, pernikahan, atau hari raya Kristen
seperti Natal dan Paskah. Ada pula ibadah untuk anak-anak, yang biasanya
disebut Sekolah Minggu atau Ibadah Anak.
Liturgi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, leitourgia,
yang berarti kerja bersama. Kerja bersama ini mengandung makna peribadatan
kepada Allah dan
pelaksanaan kasih, dan pada umumnya istilah liturgi lebih banyak digunakan dalam tradisi Kristen, antara
lain umat Katolik. Kurang lebih
dapat dibandingkan dengan rukun salat secara berjamaah baik pada hari-hari raya maupun hari
Jumat dan salat
lima-waktu setiap hari pada umat Islam [lihat: Oxford
Dictionary of World Religions, hal.582-3].
Liturgi adalah kegiatan
dari Kristus Paripurna, dalam bahasa Latin Christus totus, atau
Kristus seluruhnya, yaitu Kristus di sorga sebagai kepala dan seluruh jemaatNya
yang masih ada di dunia, yaitu gereja yang merupakan Tubuh Kristus, dalam
korban pujian dan syukur kepada Allah.
Liturgi dirayakan dengan
menggunakan pelbagai tanda dan lambang, baik yang berasal dari
pengalaman manusia, tanda-tanda "perjanjian" antara Allah dan
umatNya, tanda-tanda yang diangkat oleh Kristus, dan tanda-tanda sakramental,
yang semuanya merujuk pada keselamatan yang berasal dari Kristus, menggambarkan
dan mencicipi di masa sekarang kemuliaan surga. Juga dengan menggunakan perkataan
[terutama dalam Liturgi Sabda di mana Kitab Suci
dibacakan dan direnungkan] dan tindakan
[terkait dengan masing-masing sakramen: misalnya pembaptisan, pengurapan
minyak, liturgi ekaristi,
penumpangan tangan]. Dengan nyanyian dan musik, dan gambar-gambar
kudus, sebagai ikon.
Hari Minggu adalah hari
dimana umat berkumpul merayakan liturgi, "untuk mendengarkan Sabda Allah
dan ikut serta dalam perayaan ekaristi, mengenangkan sengsara, kebangkitan dan
kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah.
Ibadah harian
[horarium] merupakan doa seluruh Gereja. Setiap orang ambil bagian di dalamnya
sesuai dengan tempatnya di Gereja dan menurut status hidupnya: para imam,
biarawan dan biarawati, dan awam menurut kemungkinan yang ada pada mereka.
Ibadat Harian dapat dilakukan bersama atau secara perorangan. Ibadat Harian
seakan-akan merupakan kelanjutan dari perayaan Ekaristi.
Tata upacara atau ritus dalam perayaan
liturgi yang berbeda-beda menunjukkan kekayaan misteri Kristus yang khas
ditampilkan dalam tradisi liturgi yang beraneka ragam menurut wilayah geografis
dan kebudayaan. Namun pada dasarnya ritus-ritus menunjukkan misteri
keselamatann Kristus yang satu dan sama. Dengan demikian misteri Kristus
disampaikan kepada semua bangsa dengan budaya dan bahasa mereka masing-masing.
Ritus atau tradisi liturgi
yang sekarang digunakan adalah ritus Latin [terutama ritus Roma, ritus
Ambrosius dan ritus ordo tertentu], ritus Bizantin, ritus Aleksandria atau
Koptis, ritus Siria, ritus Armenia, ritus Maronit dan ritus Kaldea.
Sakramen adalah ritus agama Kristen yang
menjadi perantara [menyalurkan] rahmat ilahi. Kata 'sakramen' berasal dari bahasa Latin sacramentum
yang secara harfiah berarti "menjadikan suci". Salah satu contoh
penggunaan kata sacramentum adalah sebagai sebutan untuk sumpah bakti yang diikrarkan para
prajurit Romawi;
istilah ini kemudian digunakan oleh Gereja dalam
pengertian harfiahnya dan bukan dalam pengertian sumpah tadi.
Bagi Gereja Protestan,
kata "menjadi perantara" atau "menyalurkan" digunakan hanya
dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu simbol atau peringatan yang
terlihat dari rahmat yang tak terlihat. Gereja-gereja Pentakosta
klasik, kaum Injili,
Nazarin dan Fundamentalis, menganut
suatu bentuk imamat yang unik. Karena alasan ini, kebanyakan dari mereka lebih
suka menggunakan istilah “fungsi imamat” atau “ordinansi.” Keyakinan ini
menjadikan ordinansi efektif dalam hal ketaatan dan partisipasi orang-orang
percaya serta kesaksian pimpinan dan anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber
dari pengembangan konsep "imamat setiap orang percaya." Kegiatan
ordinansi lebih ditekankan peran imamat dari pada peran sakramentalnya sehingga
ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang
dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, dari
pada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.
Dalam tradisi kekristenan
Barat, sakramen kerap diartikan sebagai tanda yang terlihat, yakni kulit luar yang
membungkus isinya, yaitu rahmat rohaniah [walaupun tidak semua sakramen
diterima semua gereja]. Ketujuh sakramen adalah Pembaptisan,
Krisma [atau Penguatan], Ekaristi [Komuni],
Imamat [Pentahbisan],
Rekonsiliasi
[atau Pengakuan Dosa], Pengurapan orang sakit [Minyak Suci], dan Pernikahan.
Kebanyakan dari sakramen-sakramen ini digunakan sejak masa apostolik dalam
Gereja, tetapi perkawinan, misalnya, baru diakui sebagai suatu sakramen pada abad
pertengahan. Beberapa gereja tidak menganggap beberapa dari sakramen di
atas sebagai sakramen. Beberapa gereja yang lain, misalnya gereja Anglikan dan kaum
Katolik-Lama [bukan Gereja Katolik], menganggap dua sakramen ketuhanan dalam Injil, yaitu
Pembaptisan dan Ekaristi, sebagai "sakramen-sakramen yang diperintahkan,
yang mendasar, dan yang utama, yang dianugerahkan bagi keselamatan kita,"
serta menganggap kelima ritus sakramental lainnya sebagai "sakramen
rendah" yang merupakan turunan dari kedua sakramen utama tadi.
Sudah jelas bahwa gereja-gereja,
denominasi-denominasi, dan sekte-sekte Kristen tidak sepaham dalam hal jumlah
dan pelaksanaan sakramen, namun umumnya sakramen-sakramen diyakini telah
dilembagakan oleh Yesus.
Pihak yang tidak percaya pada teologi sakramental
menyebut ritus-ritus tersebut — atau setidak-tidaknya ritus-ritus yang mereka
gunakan — terutama pembaptisan dan komuni, sebagai
"ordinansi.
Beberapa gereja Protestan menganggap misteri-misteri
“injili,” atau “dominikal,” yakni pembaptisan dan ekaristi sajalah yang
merupakan sakramen, karena hanya keduanya yang langsung dilembagakan oleh Yesus
sendiri, seperti tertulis dalam Injil. Kelima ritus lainnya dianggap bukan
sakramen berdasarkan kitab Perjanjian Baru. Jadi, meskipun hampir semua gereja
Protestan menyelenggarakan upacara akad nikah, dan banyak pula yang menahbiskan
pejabat-pejabat gerejanya dalam upacara Pentahbisan, gereja-gereja Kristen ini
menganggap ritus-ritus tersebut sebagai ordinansi [upacara/ibadah khusus] atau sarana-sarana
rahmat, bukannya sakramen.
Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktekkan
sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya
keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik
simbol-simbol; meskipun demikian, gereja ini tidak melarang warganya untuk
menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain.
Umat Kristiani umumnya
percaya bahwa sakramen secara langsung mempengaruhi keadaan jiwa di alam baka.
Sinode Missouri
dari Gereja Lutheran menitikberatkan sakramen
Pembaptisan. Mereka kerap sependapat dengan Santo Agustinus dari Hippo bahwa
semua orang yang tidak dibaptis akan masuk ke neraka bila meninggal dunia,
bahkan juga bayi. Di lain pihak, umat Katolik diizinkan percaya bahwa bayi-bayi
yang meninggal tanpa dibaptis masuk ke limbo. Jika Gereja
Protestan menitikberatkan Pembaptisan, umat Katolik justru percaya bahwa
sakramen-sakramen lainnya juga diperlukan untuk mencegah agar umat beriman
jangan sampai masuk ke neraka. Rekonsilisasi, misalnya, diperlukan bila
seseorang telah berbuat dosa yang membawa maut [zina, membunuh, cabul,
tidak menghadiri Misa pada hari minggu karena keinginan sendiri, memberikan
kesaksian palsu, tidak beriman, penggunaan alat kontrasepsi] seperti melewatkan
Ekaristi tanpa alasan yang benar. Dalam Gereja Katolik, sakramen-sakramen dapat
pula mengurangi penderitaan seseorang di purgatorium [api penyucian].
🕍GEREJA
DIREFORMASI
“Reformasi” adalah suatu gerakan untuk mengadakan
pembaharuan dalam kekristenan Barat yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17.
Sebenarnya, reformasi
merupakan gerakan yang hendak mengembalikan kekristenan
kepada otoritas
Alkitab dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip
wahyu Allah.
Reformasi meletus di abad ke-16
dan
letusannya terjadi
di beberapa tempat yang berbeda. Gerakan
ini berawal di Jerman
dengan Martin Luther
sebagai pelopornya lalu diikuti oleh Zwingli, yang memimpin reformasi di Swiss,
kemudian Johanes Calvin mempelopori
reformasi di Perancis, serta di Jenewa, Swiss hingga menjakau Inggris .
Gerakan
ini boleh dikatakan dimulai
oleh munculnya golongan Lollard,
Waldens,
dan Hussit pada masa sebelum abad ke-16.
Pada awal
abad ke-16 tampak jelas bahwa gereja
di Eropa Barat berada dalam
keadaan yang sangat memerlukan
pembaharuan secara
menyeluruh.
Darah kehidupan
gereja telah berhenti
mengalir melalui pembuluh-
pembuluhnya.
Tata gereja yang resmi benar-benar membutuhkan pembongkaran yang
menyeluruh.
Birokrasi gereja menjadi
tidak
efisien dan penuh korupsi.
Moral
para rohaniwan sering tampak lemah
dan menjadi sumber skandal bagi
jemaat. Sedangkan
jabatan gereja yang tinggi
di peroleh melalui cara-cara yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Umumnya jabatan itu diperoleh dengan
dasar
hubungan keluarga,
status politik, atau status keuangan, bukannya atas kualitas
kerohanian mereka.
Bagi
banyak orang,
jeritan pembaharuan itu
merupakan
permohonan untuk melakukan reformasi gereja
dalam bidang administratif, moral dan hukum. Penyalahgunaan
dan imoralitas harus
disingkirkan, Paus
harus mengurangi perhatiannya terhadap masalah- masalah
duniawi, administrasi
gereja disederhanakan
dan
dibersihkan dari korupsi.
Selain
itu, ada beberapa orang yang menambahkan tuntutan
lain, yakni tuntutan
akan perlunya
reformasi atas
ajaran, teologi, dan paham-paham
keagamaan Kristen. Bagi Martin Luther
dan Johanes Calvin,
gereja telah
kehilangan visi. Sebuah
penyelewengan dari paham-
paham
utama
dan khas dalam
iman
Kristen, serta kegagalan dalam menangkap
makna sebenarnya dari
kekristenan. Sudah saatnya bagi
gereja untuk “memutar haluan”, meninggalkan karya abad pertengahan
dan kembali kepada kekristenan yang murni dan segar. Kekristenan
tidak dapat diperbarui tanpa suatu pemahaman akan
arti sebenarnya
dari kekristenan itu.
Reformasi menekankan untuk kembali kepada gereja mula-mula.
Dalam perjuangannya, Martin Luther mengecam
keburukan-keburukan yang ada di dalam
gereja,
terutama penyelewengan surat penghapusan
siksa dan sistem kepausan. Luther menyerang ajaran substansiasi (pemahaman tentang hakekat
Perjamuan Kudus yang dianut oleh Gereja Katolik Roma), kehidupan selibat para klerus (klerus adalah
istilah bagi para pejabat
gereja),
dan menuntut penghapusan kuasa Paus atas Jerman.
Raja-raja Jerman banyak berpihak kepada Luther, seperti
Raja
Saxony, Hessen,
Brandenburg, Brunswick,
serta raja-raja
diluar Jerman, seperti Raja Denmark
dan Swedia. Daerah-daerah tersebut menjadi daerah Lutheran (istilah yang diberikan kepada
para pengikut Luther) dan Luther
menyerahkan wewenang untuk mengatur gereja dalam wilayah
tersebut kepada rajanya masing-masing.
Reformasi juga terjadi
di luar Jerman.
Di kota Zurich,
Ulrich Zwingli juga mengadakan reformasi gereja
pada tahun
1523 dengan dukungan
dari dewan kota. Pembaruan yang dilakukan
Zwingli lebih radikal
bila
dibandingkan dengan pembaharuan Luther.
Pembaruan
di Zurich menyebabkan
kota tersebut menjadi
anti Paus, anti monastik dan
anti hierarki. Ajaran Zwingli segera menyebar di kota-kota
lainnya seperti Swiss dan Jerman
Selatan. Sedangkan di Jenewa, pembaruan
pertama-tama dilakukan
oleh William Farel dan kemudian
dilanjutkan
oleh Johanes Calvin. Calvin berhasil mengadakan pembaharuan
di kota ini, bahkan pada tahun 1536 Calvin berhasil menerbitkan
buku Institutio
(Institutes of Christian
Religion). Calvinisme segera berkembang ke seluruh Eropa dan
menimbulkan pergolakan politik, seperti
perang agama
di Perancis,
revolusi
Belanda
yang membebaskan penjajahan Spanyol, kemerdekaan Skotlandia
dari pengawasan
Perancis,
dll.
🛕AKAR DAN PENDAHULU ABAD KE-14 DAN ABAD KE-15
Gerakan
Anti-hirarki: Katharisme, Waldensianisme,
dan lainnya. Kepausan Avignon ("Pembuangan
Gereja
di Babel"),
Avignon, Skisma Besar Jan Hus, John Wycliffe, William Tyndale, Renaisans Utara
Kemelut di Gereja Barat dan Kekaisaran Romawi Suci memuncak dengan Kepausan Avignon (1308 - 1378), dan skisma kepausan (1378-1416), membangkitkan peperangan antara para pangeran, pemberontakan di antara petani, dan keprihatinan yang meluas terhadap rusaknya sistem kebiaraan. Suatu nasionalisme baru juga menantang dunia abad pertengahan yang relatif internasionalis.
Salah satu perspektif yang paling menghancurkan dan radikal pertama-tama muncul dari John Wyclif di Universitas Oxford, kemudian dari Jan Hus di Universitas Praha. Gereja Katolik Roma secara resmi menyimpulkan perdebatan ini di Konsili Konstanz (1414-1418). Konklaf mengutuk Jan Hus yang dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan. Sementara Wyclif secara anumerta dihukum bakar sebagai seorang penyesat.
Konstans
mengukuhkan dan
memperkuat konsepsi
abad pertengahan yang tradisional
tentang gereja dan kekaisaran. Konsili ini tidak membahas
ketegangan nasional,
ataupun ketegangan teologis yang
muncul pada abad sebelumnya. Konsili tidak
dapat mencegah
skisma dan Perang Hus di Bohemia.
Gejolak historis biasanya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya Reformasi Protestan.
Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan skolastisisme di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh Pembuangan ke Babel dari Kepausan Avignon, Skisma Besar, dan kegagalan pembaruan oleh Gerakan Konsiliar, pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para ahli sejarah pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi (terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi pembarua), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi, karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan Gerakan Konsiliar melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan reformis yang frustrasi ini merentang dari nominalisme, ibadah modern, hingga humanisme yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap kekayaan dan kekuasaan kaum agamawan elit, membuat masyarakat semakin peka terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja Renaisans yang sekular.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh wabah pes mendorong penataan ulang secara radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.
📚REFERENSI BACAAN :
Belloc,
Hilaire (1928), How
the
Reformation Happened, Tan Books & Publishing.
ISBN 0-89555-465-8 (a Roman Catholic
Perspective)
Braaten,
Carl E. and Robert W.
Jenson. The Catholicity of
the
Reformation. Grand
Rapids: Eerdmans,
1996. ISBN 0-8028-4220-8
Estep, William
R. Renaissance & Reformaton. Grand Rapids: Eerdmans, 1986.
Gonzales,
Justo. The Story of Christianity,
Vol. 2: The Reformation to the Present
Day.
San
Francisco: Harper, 1985.
ISBN 0-06-063316-6
Kolb, Robert. Confessing
the
Faith: Reformers Define the
Church, 1530-1580. St.
Louis: Concordia Publishing House, 1991. ISBN 0-570-04556-8
Spitz,
Lewis
W. The Protestant
Reformation: Major Documents. St. Louis: Concordia Publishing House,
1997. ISBN 0-570-04993-8
Spitz,
Lewis
W. The Renaissance and Reformation
Movements: Volume I, The
Renaissance. Revised
Edition.
St. Louis: Concordia Publishing House, 1987.
ISBN 0-570-03818-9
Spitz,
Lewis
W. The Renaissance and Reformation
Movements: Volume II, The
Reformation. Revised Edition. St.
Louis: Concordia Publishing House, 1987.
ISBN 0-570-03819-7
💁♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏♂️
✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:
Posting Komentar