Kitab Suci membuka realitas ini bukan dengan cerita tentang manusia, melainkan dengan kehendak Tuhan yang sudah ada sebelum segala sesuatu dijadikan. “Ia telah memilih kita di dalam Dia sebelum dunia dijadikan” (Efesus 1:4). Kalimat ini tidak memberi ruang bagi logika sebab-akibat manusia. Pemilihan itu tidak lahir dari respons terhadap perbuatan, iman, atau keputusan manusia, sebab dunia—bahkan manusia—belum ada. Yang ada hanyalah kehendak Tuhan yang menetapkan, bukan menanggapi.
Di sinilah filsafat manusia biasanya tersandung. Pikiran manusia selalu bergerak dari peristiwa ke keputusan, dari aksi ke reaksi. Namun Alkitab memutar arah itu secara radikal. Di dalam Kitab Suci, keputusan Tuhan mendahului peristiwa, dan peristiwa hanya menjadi manifestasi dari keputusan tersebut. Apa yang tampak di dalam sejarah bukanlah hasil dialog antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan, melainkan pewujudan dari sesuatu yang telah selesai di dalam kekekalan.
Rasul Paulus menulis bahwa Tuhan “telah menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, tetapi berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (2 Timotius 1:9). Keselamatan tidak ditempatkan pada titik setelah manusia bertindak, melainkan pada titik sebelum zaman dimulai. Dengan demikian, iman manusia bukan penyebab keselamatan, melainkan tanda bahwa keselamatan itu telah bekerja.
Di dalam kerangka ini, sejarah bukan arena negosiasi antara Tuhan dan manusia. Sejarah adalah narasi terbuka dari kehendak kekal yang sedang bergerak menuju penggenapannya. Apa yang disebut “pertobatan”, “iman”, dan “kelahiran baru” bukanlah pemicu reaksi ilahi, melainkan akibat dari karya Tuhan yang lebih dahulu bekerja di dalam batin manusia. “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa” (Yohanes 6:44). Kalimat ini bukan peringatan moral, tetapi pernyataan ontologis tentang ketergantungan total manusia pada prakarsa Tuhan.
Ketika Alkitab berbicara tentang keselamatan, ia tidak pernah memulai dari kemampuan manusia untuk memilih, melainkan dari ketidakmampuan manusia untuk hidup. Manusia digambarkan bukan sebagai makhluk netral yang menunggu respon Tuhan, melainkan sebagai makhluk yang mati. “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu” (Efesus 2:1). Orang mati tidak bereaksi; orang mati dibangkitkan. Maka keselamatan tidak mungkin berupa reaksi Tuhan terhadap iman, sebab iman itu sendiri muncul sebagai akibat dari kebangkitan rohani.
Karena itu Paulus melanjutkan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Tuhan; itu bukan hasil pekerjaanmu” (Efesus 2:8–9). Iman tidak berdiri sebagai kontribusi manusia, melainkan sebagai sarana yang dikerjakan oleh Tuhan untuk menyatakan apa yang telah Ia tetapkan. Bahkan iman pun tidak dilepaskan dari sumbernya yang kekal.
Di dalam Roma pasal 8, Alkitab menyingkapkan urutan yang tidak bergerak dari bumi ke surga, tetapi dari kekekalan ke waktu: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula… dan yang ditentukan-Nya dari semula, mereka juga dipanggil-Nya; dan yang dipanggil-Nya, mereka juga dibenarkan; dan yang dibenarkan-Nya, mereka juga dimuliakan” (Roma 8:29–30). Tidak ada satu tahap pun yang bersumber dari inisiatif manusia. Semua bergerak dari keputusan Tuhan yang satu, utuh, dan final.
Menariknya, Alkitab tidak memisahkan keputusan itu menjadi bagian-bagian waktu seperti cara manusia membaca. Dalam perspektif Tuhan, apa yang Ia tetapkan telah selesai. “Pekerjaan-Nya telah selesai sejak dunia dijadikan” (Ibrani 4:3). Sejarah hanya membuka apa yang telah final di dalam Dia. Maka salib bukanlah improvisasi atas kegagalan manusia, melainkan realisasi dari “Anak Domba yang telah disembelih sejak dunia dijadikan” (Wahyu 13:8). Penyaliban di Yerusalem adalah kejadian historis, tetapi penetapannya bersifat kekal.
Dengan demikian, keselamatan tidak bisa dipahami sebagai sistem moral yang memberi ruang bagi kebanggaan manusia. Alkitab justru menghancurkan setiap kemungkinan itu. “Supaya jangan ada seorang pun yang memegahkan diri” (Efesus 2:9). Jika keselamatan adalah reaksi Tuhan, maka manusia masih memiliki ruang untuk menjadi penyebab. Tetapi jika keselamatan adalah pernyataan dari apa yang telah ditetapkan, maka seluruh kemuliaan kembali kepada Tuhan semata.
Iman bukan syarat agar Tuhan bertindak, melainkan bukti bahwa Tuhan telah bertindak. Pertobatan bukan tawaran kepada surga, melainkan gema dari surga yang telah masuk ke dalam batin manusia. Kelahiran baru bukan keputusan etis, tetapi tindakan penciptaan. “Jika seseorang tidak dilahirkan dari atas, ia tidak dapat melihat Kerajaan Tuhan” (Yohanes 3:3). Melihat pun didahului oleh kelahiran, bukan sebaliknya.
Keselamatan, maka, adalah pewahyuan dalam waktu dari keputusan kekal Tuhan. Ia tidak menunggu manusia, tidak menimbang kemungkinan, dan tidak menyesuaikan diri dengan sejarah. Sejarah justru menyesuaikan diri dengan Dia. “Ia bekerja dalam segala sesuatu menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). Kalimat ini menutup setiap pintu spekulasi manusia dan memaksa pembaca Kitab Suci untuk tunduk, bukan berdebat.
Dalam hal ini, iman sejati bukanlah keberanian manusia untuk memilih Tuhan, melainkan keheranan yang sunyi karena menyadari bahwa Tuhan telah lebih dahulu memilih. Keselamatan tidak lahir dari kehendak manusia yang mencari, tetapi dari kehendak Tuhan yang menyatakan diri. Dan ketika keselamatan itu muncul di dalam sejarah, ia tidak berkata, “Aku datang karena engkau,” melainkan, “Aku datang karena Aku telah menetapkan.”
Di sinilah Injil berdiri: bukan sebagai tawaran kemungkinan, tetapi sebagai pengumuman kepastian. Bukan reaksi terhadap waktu, tetapi pernyataan dari kekekalan yang kini berbicara di dalam sejarah manusia.
Haleluyah, Bapa Yesus memberkati kita semua 🙏
-Ps. Christian Moses
#pschristianmoses

0 comments:
Posting Komentar