KEBENARAN
DIBUKTIKAN
Keberatan
lainnya terhadap pandangan koherensi adalah bahwa itu membuat kebenaran
tergantung pada langkah mundur tanpa batas yang tidak akan pernah sampai pada
kebenaran. Jika setiap klaim kebenaran mensyaratkan klaim lainnya, dan demikian
seterusnya sampai tidak terbatas, kita menjalani langkah mundur tak terbatas
yang tidak akan pernah meyakinkan kita bahwa kita telah mencapai kebenaran. Untuk
setiap penjelasan yang kita berikan tentang mengapa keyakinan kita benar, kita
harus menjelaskan pernyataan sebelumnya, dan kemudian menjelaskan pernyataan
tersebut, demikian seterusnya untuk selama-lamanya. Kita tidak pernah bisa
berhenti menjelaskan sesuatu. Jika kita telah menemukan penjelasan yang tidak
membutuhkan penjelasan lebih lanjut, kita akan sampai pada dasamya [kebenaran
yang terbukti sendiri atau
prinsip pertama yang tidak bisa disangkal], dan pandangan koherensi itu salah jika memulai dengan kebenaran
itu. C.S. Lewis mengatakannya demikian :
Tetapi
Anda, selamanya tidak bisa terus-menerus "berdalih": Anda akan menemukan bahwa Anda telah memberi
dalih terus-menerus dengan
penjelasan ifu. Anda tidak bisa terus-menerus "melihat melalui" sesuatu selamanya. Poin
lengkap melihat melalui sesuatu adalah melihat sesuatu melalui hal itu.
Adalah hal yang baik jika jendelanya
transparan,
karena jalan atau taman di baliknya buram. Bagaimana jika Anda melihat melalui
taman juga? Tidak ada gunanya
"melihat melalui" prinsip-prinsip pertama. Jika Anda melihat melalui segala sesuafu, segala
sesuafu itu transparan. Tetapi dunia
yang transparan seutuhnya adalah dunia yang tidak kelihatan. "Melihat melalui" segala
sesuafu sama dengan tidak melihat.
Jika
kita harus melihat ke belakang atau "melihat melalui" setiap penjelasan, kita tidak akan pernah
menemukan sesuatu. Tetapi tidakkah kita mencari kebenaran karena kita
mengharapkan untuk menemukan sesuatu?
Langkah
mundur tidak terbatas ini membuat paham koherensi mustahil. Itu sungguh-sungguh merupakan
mata rantai klaim yang tidak didukung.
Bagaimanapun, mata rantai tidak bisa tergantung di udara pada dirinya sendiri; harus ada pasak di
tempat yang memegang seluruh mata rantai itu. Dan laba-laba tidak
membangun jaring di tempat kosong. Mereka merekatkan jaringnya di tembok. Tidak
ada sistem yang bisa bertahan tanpa kebenaran absolut yang mendukungnya.
Selain itu, hal terbaik yang bisa dilakukan penganut paham koherensi
adalah mengevaluasi sistem keyakinan Iainnya untuk mengatakan bahwa
sistemnya melekat lebih baik. Ia tidak pemah bisa mengatakan bahwa sistem
koherensi lainnya salah. Dengan demikian,
kita tidak akan pernah bisa menyangkal panteisme, karena sekali Anda menyingkirkan logika, segala
sesuatu akan melekat. Kebenaran harus
didasarkan pada fondasi yang kokoh dari kebenaran yang terbukti sendiri atau
prinsip-prinsip pertama yang sesuai dengan realitas. Kita akan membahas
kebenaran yang terbukti sendiri belakangan,
tetapi sekarang mari kita berfokus pada bagian korespondensi dari definisi ini. Ada beberapa alasan
untuk menerima hal itu, baik dari Alkitab maupun dari filsafat.
Alkitab
menggunakan sedikit pandangan korespondensi untuk kebenaran. Perintah kesembilan pasti
mensyaratkan hal ifu. “Jangan
mengucapkan saksi
dusta tentang sesamamu" [Kel. 20:16] menyiratkan bahwa kebenaran atau kesalahan pernyataan
bisa diuji dengan apakah hal itu sesuai dengan fakta. Ketika Iblis
berkata, "Sekali-kali kamu tidak akan mati," ini disebut kebohongan
karena tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Allah sesungguhnya.
Yusuf
juga menggunakan teori korespondensi ketika ia berkata kepada saudara-saudaranya.
"Suruhlah seorang dari padamu untuk menjemput adikmu ifu Dengan demikian
perkataanmu dapat diuji, apakah
benar" [Kej. 42:16]. Musa berkata bahwa seorang nabi harus diuji dengan melihat apakah nubuatnya
sesuai dengan peristiwa sesungguhnya
[Ul. 1B:22]. Ketika Salomo membangun bait suci ia berkata, "Biarlah kiranya menjadi nyata
keteguhan janji yang telah Kau ucapkan kepada hamba-Mu Daud, ayahku" [1
Raj. 8:26]. Segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan Hukum Allah dipandang salah [Mzm. 119:163]. Dan dalam Perjanjian Baru, Yesus berkata
bahwa pernyataan-Nya bisa diuji oleh
Yohanes Pembaptis, dengan mengatakan, "Kamu telah mengirim orang kepada Yohanes dan ia dilahirkan
sebagai saksi kebenaran." Orang- orang Yahudi juga memberitahu gubernur
bahwa ia bisa "mempelajari kebenaran"
[Kis. 24:8, 11] tentang tuduhan yang mereka tuduhkan terhadap Paulus dengan memeriksa
faktanya.
Secara
filosofis, berbohong itu tidak mungkin tanpa ada hubungannya dengan realitas. Jika kata-kata kita
tidak perlu sesuai dengan fakta, kata-kata kita tidak pernah tidak benar
secara faktual. Tanpa pandangan yang
sesuai dengan kebenaran, tidak akan ada benar atau salah. Tidak akan ada perbedaan nyata dalam akurasi
tentang bagaimana sistem itu menjelaskan
fakta tertentu karena kita tidak bisa menggunakan fakta itu sebagai bukti. Pernyataan tidak bisa
dinilai apakah benar atau salah, hanya kohesif. Harus ada perbedaan
nyata antara pikiran kita tentang sesuatu dengan sesuatu itu sendiri agar
kita bisa mengatakan apakah sesuatu
itu benar atau salah. Selain itu, semua komunikasi faktual akan rusak. Pernyataan yang memberitahu Anda
tentang sesuatu harus sesuai dengan
fakta yang mereka klaim sebagai pemberian informasi. Tetapi jika fakta-fakta tersebut tidak
digunakan untuk mengevaluasi pernyataan itu, saya sesungguhnya tidak
memberitahu Anda sesuatu. Saya hanya sekadar menggumamkan sesuatu yang harus
Anda pikirkan dan timbang relevansinya
bagi sistem pemikiran Anda sendiri.
Jack
Rogers, seorang profesor di Seminari Teologi Fuller, telah memberikan definisi tentang kebenaran yang saat
ini digunakan untuk mengatakan bahwa
Alkitab tidak salah dalam maksudnya [tujuan], tetapi tidak inerrant dalam peneguhannya. Ia mengatakan,
"mencampuradukkan 'kesalahan' dalam pengertian akurasi teknis dengan
gagasan Alkitab tentang kesalahan sebagai penipuan secara disengaja
menyimpangkan kita dari maksud Alkitab
sesungguhnya." Ia menolak ide bahwa kebenaran harus sesuai dengan realitas dengan "akurasi
teknis." Sebaliknya, ia menyimpulkan bahwa "gagasan Alkitab tentang
kesalahan" melibatkan mengatakan kebohongan dengan sadar. Kebenaran
tersimpan dalam maksud penulis bukan
pada apa yang sesungguhnya ia katakan. Ini diteguhkan ketika ia mengatakan bahwa inerrancy mengalihkan
perhatian kita, bukan dari pesan
Alkitab, melainkan dari "maksud"nya. Selama nabi-nabi dan murid-murid tidak tahu hal yang lebih baik dari
pada membuat pernyataan yang
tidak ilmiah, itu tidak bisa dipandang kesalahan karena tidak ada penipuan yang disengaja. Meskipun Yesus
mungkin tahu lebih baik, Ia memilih
untuk mengakomodasi pandangan populer saat itu supaya orang-orang tidak teralihkan perhatiannya dari
pesan yang ingin Ia sampaikan, yaitu
Injil. Orang-orang
yang memegang pandangan ini tulus, tetapi mereka melakukan kesalahan secara tulus.
BISAKAH KEBENARAN DIKETAHUI ?
Diantara
orang-orang Kristen ada berbagai macam kepercayaan tentang bagaimana dan seberapa banyak
kita bisa mengenal kebenaran terutama kebenaran tentang Allah. Namun jika apa
yang kita bahas sejak ini
benar, hanya satu dari posisi ini yang sungguh-sungguh masuk akal.
💥AGNOSTIKISME/SKEPTISISME
Ada
perbedaan besar antara agnostikisme dengan skeptisisme tetapi jawaban untuk keduanya hampir sama.
Agnostikisme mengatakan bahwa tidak
ada sesuatu yang bisa diketahui, tetapi skeptisisme hanya mengatakan bahwa kita harus meragukan
apakah sesuatu bisa diketahui.
Skeptisisme
muncul lebih dahulu, tetapi ketika Immanuel Kant membaca keraguan David Hume tentang pengetahuan
absolut, ia memutuskan untuk membawanya
satu langkah lebih maju, dan menyangkal semua pengetahuan tentang realitas.
Sesungguhnya kedua pandangan ini menyangkal dirinya sendiri. Jika Anda
tahu bahwa Anda tidak tahu apa pun,
paling tidak Anda tahu sebanyak itu. Tetapi itu berarti bahwa Anda memiliki pengetahuan positif tentang
sesuatu dan Anda tidak perlu lagi menjadi seorang agnostik. Sama halnya,
Anda mungkin mengatakan bahwa
Anda harus meragukan segala sesuatu, tetapi Anda tidak meragukan itu. Maksudnya, Anda tidak meragukan bahwa Anda seharusnya ragu-ragu. Nah, jika ada
sesuatu yang bisa Anda yakini [bagi orang skeptis] atau sesuatu yang bisa
Anda ketahui [bagi orang agnostik], mungkin ada hal-hal lainnya juga, dan
posisi Anda terbukti salah.
💥RASIONALISME
Rasionalisme
bukan sekadar pandangan yang mengatakan bahwa kita menggunakan alasan untuk menguji
kebenaran. Rasionalisme mengatakan bahwa kita bisa menentukan semua kebenaran melalui logika. Ia mengatakan bahwa kita bisa secara
rasional membuktikan eksistensi dan sifat Allah. Bagi rasionalis, tidak ada
permintaan bukti yang bisa menggulingkan
demonstrasi
logika. Itulah sebabnya mengapa Spinoza, setelah membuktikan bahwa semua
realitas bisa disatukan dalam makhluk absolut untuk kepuasannya sendiri, menyangkal
bahwa apa pun dalarn dunia
memiliki eksistensi terlepas dari Allah, atau bahwa ada kehendak bebas. Itulah sebabnya mengapa Leibniz
berpendapat bahwa dunia ini merupakan
yang terbaik dari semua dunia yang mungkin ada, tidak masalah seberapa buruk keadaannya. Ia
diyakinkan melalui rasionalisme bahwa
hanya kebaikan terbesar yang bisa ada. Semua kebenaran secara logis perlu bagi rasionalis.
Problem
besar dengan rasionalisme adalah bahwa ini merupakan puri yang dibangun di udara yang tidak
mempunyai kaitan dengan realitas. Ia menyimpulkan - tetapi tidak
membuktikan - bahwa hal yang tidak dapat dihindari secara rasional adalah
nyata. Sesungguhnya, dalam semua
rasionalisasi logisnya?,
ia tidak pernah membuktikan bahwa apa pun
yang nyata ada. Satu-satunya jalan bahwa rasionalisme bisa mengatasi kelemahan ini adalah dengan berhenti
menjadi rasionalisme dan mulai
menerima beberapa bukti empiris. Selain itu, eksistensi saya sendiri sesungguhnya tidak bisa disangkal, tetapi ia tidak harus perlu
secara logis.
Tidak
ada sesuatu dalam eksistensi saya yang bahkan menyiratkan bahwa saya, atau apa pun hal lainnya, harus
ada, namun rasionalisme mengatakan, sekali lagi tanpa bukti yang kuat,
bahwa hal ini secara logis perlu.
Akhirnya,
ketika rasionalisme berusaha membuktikan prinsipnya sendiri untuk memberikan pembuktian untuk
dirinya sendiri, ia gagal dengan meragukan. Usaha ifu sendiri sia-sia
karena setiap orang sejak Aristoteles sampai saat ini setuju bahwa
prinsip-prinsip pertama tidak bisa dibuktikan; mereka harus benar melalui pembuktian
sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan
lebih lanjut. Jika tidak Anda harus terus menjelaskan untuk selamanya. Tetapi rasionalis gagal lagi
dalam hal mereka tidak setuju dengan
prinsip-prinsip pertama. Beberapa berakhir dengan panteisme, beberapa dengan teisme, beberapa dengan
allahisme terbatas, tetapi tidak ada yang dengan alasan yang perlu
secara rasional, yang mereka klaim akan membuktikan keyakinan mereka.
💥FIDEISME
Fideisme
berpendapat bahwa satu-safunya jalan kita bisa mengenal sesuatu tentang Allah adalah iman. Kebenaran
bersifat subjektif dan personal, jadi kita bisa mempercayainya tetapi tidak bisa
membuktikannya. Tidak ada bukti
rasional atau bukti empiris yang bisa menuntun kita pada pengetahuan tentang Allah. Kita harus percaya bahwa
apa yang Ia katakan dalam firman-Nya dan dikerjakan dalam hidup kita benar.
Akhirnya, seperti kata-kata himne
kuno, “Anda
bertanya bagaimana saya tahu Ia hidup; Ia hidup dalam hatiku." Soren Kierkegaard adalah juru bicara
pandangan ini.
Soren
Kiekegaard. bapak eksistensialisme, menulis esai dengan judul Truth is Subjectivity. Ia prihatin bahwa, jika kekristenan hanya diterima
sebagai sekumpulan
dalil,
hal itu
tidak akan menuntun seseorang ke dalam hubungan dengan Allah. Sebab itu, ia
tidak berfokus pada kebenaran objektif
tentang iman,
tetapi ia menekankan bahwa itu benar bagi seseorang atau tidak benar sama sekali. Iman "bahwa"
sesuatu benar dilampaui
oleh iman "terhadap" sesuatu.
“Tetapi definisi di atas untuk iman
merupakan ungkapan yang sama
untuk iman. Tanpa risiko tidak akan ada iman. Iman tepatnya adalah kontradiksi antara keinginan dalam diri
seseorang yang tanpa batas dengan
ketidakpastian obyektif. Jika saya bisa memahami Allah secara obyektif , saya tidak akan percaya,
tetapi karena saya tidak bisa melakukan ini saya harus percaya. Jika saya ingin
mempertahankan diri saya
tetap beriman,
saya harus terus-menerus bersungguh-sungguh berpegang erat pada ketidakpastian obyektif, seperti
halnya tetap berada di luar lautan dalam, di atas tujuh puluh depa air,
dan tetap mempertahankan iman saya."
[Kiekegaard's
Concluding Unscientific Postscript, terj. oleh David E Swenson [Princeton: Princeton
University Press, 1963], hlm, 182.]
Sekarang
kita tentu saja tidak ingin merendahkan pentingnya iman. Sesungguhnya, kita sering kali mengutip
frasa Agustinus, "Saya percaya supaya saya bisa mengerti." Selain
itu, argumen logisnya tentu saja bukan dasar dari komitmen keagamaan. Namun, fideisme telah
memberikan jawaban
yang benar untuk alasan yang salah. Kita tidak bisa mulai dengan asumsi bahwa Allah ada dan telah
menyatakan diri-Nya dalam Alkitab dan berkarya dalam hidup umat-Nya. Itu
adalah hal-hal yang dipertanyakan oleh orang-orang yang tidak percaya.
Problem
utamanya adalah bahwa fideisme tidak mengetahui perbedaan antara keyakinan terhadap dan keyakinan bahwa. Fakta dan bukti logis bisa membantu kita percaya
bahwa Allah ada, Alkitab adalah firman-Nya,
dan sebagainya, tetapi hal itu tidak bisa membuat
kita menyerahkan hidup kita
kepada kebenaran itu. Komitmen adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. Penganut fideisme hanya
melihat yang belakang dan mengabaikan
perlunya yang di depan. Sebab itu, mereka tidak membuat perbedaan antara dasar keyakinan kepada
Allah [kebenaran firman-Nya] dan
dukungan atau jaminan untuk keyakinan itu. Mereka menuntut orang untuk percaya kepada Allah tanpa
membiarkan mereka terlebih dahulu memahami bahwa ada Allah yang bisa dipercayai [lihat
Ibr. 11:6].
Di
samping itu, jika hanya iman satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran, mengapa kita tidak percaya
kepada Al-Quran atau Kitab Mormon?
Fideisme tidak sungguh-sungguh berusaha untuk membenarkan kepercayaan tertentu, jadi kita bisa
memercayai apa pun yang kita inginkan.
Hasil bersihnya adalah fideisme sungguh-sungguh tidak membuat klaim kebenaran. Ia harus menawarkan
cara untuk menguji kebenaran
sebelum ia bisa membuat klaim kebenaran. Karena ia tidak memiliki penguji untuk kebenaran, ia
tidak bisa sungguh-sungguh membuat klaim apa pun bahwa ia benar. Bahkan ia
juga tidak berada di pasar
untuk menekankan bahwa klaimnya benar. Nah, jika seseorang tidak mulai menawarkan penjelasan atau
pembelaan mengapa ia menjadi penganut
fideisme, ia akan berhenti menjadi penganut. Pada saat ia menawarkan sesuatu selain
"Percayalah," sebagai pendukung untuk posisinya, ia berhenti menjadi penganut
fideisme dan mulai menggunakan
keyakinan yang bisa dibenarkan. Fideisme tidak membuat klaim kebenaran
atau ia menyangkal dirinya
sendiri. Yang manapun pilihannya, itu
tidak akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana kita bisa mengenal tentang
Allah.
💥REALISME
Pandangan
terakhir mengatakan bahwa kita bisa mengenal sesuatu tentang Allah. Pandangan yang lain
tidak konsisten atau menyangkal dirinya
sendiri. Pandangan ini bisa bertahan. Kita tidak bisa mengetahui segala sesuatu [rasionalisme], sebab
tidak ada cara bagi pikiran yang terbatas untuk memahami semua tentang
makhluk yang tidak terbatas.
Tetapi
kita tahu sesuatu karena agnostikisme menyangkal dirinya sendiri. Ini adalah pandangan yang masuk akal
dan realistis. Tetapi pertanyaannya masih, "Bagaimana kita bisa mengetahui
apa yang kita ketahui tentang Allah.
Dan itu adalah pertanyaan yang akan kita bicarakan".
💁♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏♂️
✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:
Posting Komentar