Halaman

Senin, 29 Desember 2025

KEBENARAN SEBAGAI HABITAT: ONTOLOGI HIDUP ORANG BENAR

“Hiduplah sebagaimana adanya orang benar, sebab habitat sejati kita bukan dosa,
melainkan kebenaran.”

    Kalimat tersebut tidak dapat direduksi sebagai imperatif etis belaka, melainkan harus dipahami sebagai proposisi ontologis—sebuah pernyataan tentang modus keberadaan manusia yang seharusnya. Di dalam kerangka biblis, kehidupan yang benar tidak berangkat dari ranah praksis atau moralitas eksternal, tetapi dari ranah ontologi: dari apa manusia itu sebelum apa yang ia lakukan. Dengan demikian, kebenaran hidup bukanlah hasil konstruksi usaha manusia, melainkan aktualisasi dari keberadaan yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Yang Ilahi.

Sejak narasi awal Kitab Suci, eksistensi manusia dipahami sebagai eksistensi yang selalu-terletak (situated existence). Adam tidak dihadirkan ke dalam kekosongan ontologis, melainkan ditempatkan di sebuah tatanan tertentu—taman (Kejadian 2:8). Tindakan “menempatkan” di sini tidak sekadar menunjuk pada lokasi spasial, tetapi mengandung makna metafisis dan teologis: manusia dipanggil untuk berdiam di dalam hadirat Tuhan, hidup dalam keteraturan ilahi, dan berpartisipasi dalam kebenaran sebagai ruang hidupnya.

Dalam horizon ini, dosa tidak dapat dipahami sebagai kodrat atau habitat asli manusia. Dosa justru merupakan distorsi ontologis: penyimpangan dari keberadaan yang sejati, pengasingan dari tatanan asal, dan keterlemparan eksistensial dari ruang hidup yang seharusnya. Dengan kata lain, dosa bukanlah cara manusia ada, melainkan kondisi di mana manusia kehilangan tempatnya.

        Paulus menulis, “Sebab sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Roma 5:19). Perhatikan: Alkitab tidak berkata “akan menjadi”, tetapi “telah menjadi”. Ini bukan bahasa etika, melainkan bahasa status. Kebenaran bukan target moral, tetapi realitas yang dinyatakan oleh tindakan Tuhan di dalam sejarah. Karena itu, ketika seseorang hidup di dalam dosa, ia tidak sedang “menikmati kebebasan”, melainkan sedang hidup di luar habitatnya sendiri. Seperti ikan yang berusaha hidup di darat, dosa bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi ketidaksesuaian eksistensial. Inilah mengapa dosa selalu melahirkan kegelisahan batin, kehampaan, dan keterpecahan diri. “Tidak ada damai sejahtera bagi orang fasik,” kata Tuhan (Yesaya 48:22). Bukan karena Tuhan kejam, tetapi karena fasik hidup di ruang yang bukan miliknya.

        Yesus sendiri berbicara tentang kebenaran bukan sebagai konsep, melainkan sebagai tempat tinggal batin. “Jika kamu tinggal di dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31–32). Kata “tinggal” di sini (μένω / menō) menunjuk pada keberlanjutan, kelekatan, dan habitat rohani. Kebenaran bukan sesuatu yang dikunjungi sesekali, tetapi ruang hidup yang permanen. Alkitab konsisten menyebut orang percaya sebagai manusia baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17). Yang “lama” bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi seluruh sistem hidup yang berakar pada dosa. Yang “baru” bukan tambahan moral, melainkan perubahan dimensi hidup. Manusia baru tidak dipanggil untuk berjuang menjadi benar, tetapi untuk berjalan sebagai orang benar.

        Mazmur berkata, “Sebab Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan” (Mazmur 1:6). Kata “jalan” di sini bukan sekadar tindakan, melainkan arah hidup, orientasi eksistensi. Orang benar dan orang fasik tidak hanya melakukan hal yang berbeda, tetapi berjalan di realitas yang berbeda. Yang satu hidup di dalam terang, yang lain di dalam keterasingan dari terang. Menariknya, dalam tradisi pemikiran klasik—yang juga dicatat secara historis dalam ensiklopedia seperti Britannica—filsafat Yunani memahami ethos (etika) sebagai kebiasaan yang lahir dari topos (tempat tinggal). Artinya, cara hidup seseorang ditentukan oleh ruang eksistensialnya. Alkitab telah menyatakan kebenaran ini jauh sebelumnya: siapa yang tinggal dalam kebenaran akan hidup benar; siapa yang tinggal dalam dosa akan menghasilkan buah dosa. “Pohon dikenal dari buahnya” (Matius 12:33).

        Karena itu, seruan “hiduplah sebagaimana adanya orang benar” bukan tekanan, melainkan undangan untuk kembali ke rumah. Paulus menegaskan, “Sebab dosa tidak akan berkuasa lagi atas kamu, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Roma 6:14). Dosa kehilangan kuasanya bukan karena manusia menjadi kuat, tetapi karena manusia berpindah habitat. Kuasa dosa hanya bekerja di wilayahnya sendiri. Lebih jauh, Alkitab bahkan menyebut kebenaran sebagai atmosfer hidup. “Kerajaan Tuhan bukan soal makanan dan minuman, tetapi kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus” (Roma 14:17). Ini bukan deskripsi aktivitas, melainkan deskripsi dunia. Kerajaan Tuhan adalah ruang hidup di mana kebenaran menjadi udara yang dihirup, bukan beban yang dipikul.

        Maka hidup benar bukanlah proyek perbaikan diri, melainkan kesetiaan untuk tinggal di tempat yang benar. Ketika seseorang kembali kepada dosa, ia bukan sekadar jatuh, tetapi sedang meninggalkan habitatnya sendiri. Dan ketika seseorang hidup dalam kebenaran, ia sedang hidup selaras dengan siapa dirinya yang sejati di hadapan Tuhan. Alkitab tidak memanggil manusia untuk berpura-pura suci, tetapi untuk hidup sesuai dengan identitas yang telah dinyatakan. “Kamu dahulu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang” (Efesus 5:8). Perintah di sini lahir dari pernyataan. Jadilah, karena memang sudah demikian adanya.

        Pada akhirnya, kebenaran bukan beban moral, tetapi rumah. Dan orang benar tidak sedang menuju kebenaran; ia sedang tinggal di dalamnya. Dosa bukan lagi alamatnya. Habitat sejatinya adalah terang, kehidupan, dan kebenaran yang berasal dari Tuhan sendiri.

Haleluyah, Bapa Yesus memberkati kita semua,
—Ps. Christian Moses

0 comments:

Posting Komentar