Halaman

Jumat, 14 November 2025

“AKU ADALAH AKU”: Tuhan sebagai Sang Keberadaan Murni dan Pencipta yang Tidak Tersusun

Ketika Musa berdiri di hadapan semak menyala di Horeb, suara yang keluar dari nyala api itu tidak memperkenalkan diri dengan nama dalam pengertian manusia. Di Keluaran 3:14, Tuhan menyatakan:
“Aku adalah Aku” (Ibrani: Ehyeh Asher Ehyeh),

yang dapat diartikan: “Aku ada karena Aku ada,” atau “Aku adalah Ia yang terus menjadi.”

Pernyataan ini bukan sekadar nama. Ini adalah deklarasi metafisis tertinggi dalam seluruh Alkitab. Sebab di sini Tuhan tidak menggambarkan diri-Nya sebagai sesuatu, melainkan Keberadaan itu sendiri.\


1. Tuhan sebagai Sang Keberadaan Tidak Tersebabkan

Filsafat klasik selalu menanyakan: Mengapa sesuatu ada, dan tidak tidak-ada?

Alkitab menjawabnya dalam satu titik tunggal: keberadaan segala sesuatu bersumber dari Pribadi yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh apa pun.


Tuhan sebagai “Ada yang Ada”

Pernyataan “Ehyeh Asher Ehyeh” menunjukkan:

  • Eksistensi-Nya tidak bergantung
Tuhan tidak berasal, tidak dibentuk, tidak diciptakan.

Ia “ada” bukan karena faktor eksternal.

  • Keberadaan-Nya merupakan prinsipnya sendiri

Berbeda dengan semua ciptaan yang “memiliki keberadaan,” Tuhan adalah “Keberadaan itu sendiri.”

  • Ia adalah Subjek Murni

Tidak terdefinisikan oleh kategori makhluk.

Inilah yang ditegaskan kitab Yesaya:

  • Yesaya 44:6 — “Akulah yang pertama dan Akulah yang terakhir; tidak ada Allah selain Aku.”
  • Mazmur 90:2 — “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah.”

Dengan demikian, Tuhan tidak “menjadi ada”; Ia adalah keberadaan yang selalu-ada, keberadaan yang tidak mengalami proses.


2. Tuhan sebagai Keberadaan yang Bisa Menjadi

Sisi menarik dari kata Ehyeh (“Aku akan menjadi”) bukan hanya statis tetapi dinamis.

Bukan berarti Tuhan berubah hakikat, tetapi:

Tuhan dapat menyatakan diri-Nya sesuai karya-Nya tanpa kehilangan esensinya.

Contoh:

  • Ia menjadi Pembebas (Kel. 6:6)
  • Ia menjadi Penyembuh (Kel. 15:26)
  • Ia menjadi Gembala (Maz. 23:1)
  • Ia menjadi Pencipta Langit Bumi (Kej. 1:1; Yes. 42:5)

Artinya, hakikat Tuhan tetap sama, tetapi manifestasi-Nya dalam sejarah manusia dapat “menjadi” sesuai kebutuhan penyataan-Nya.
Ini menunjukkan Dia bukan objek yang pasif, tetapi Keberadaan Aktif, Sang Ada yang bertindak.


3. Perbedaan Hakikat: Tuhan Sang Pencipta vs Manusia Sang Ciptaan

Filsafat metafisika memandang “ada” sebagai hirarki. Alkitab sendiri menunjukkan perbedaan tajam antara hakikat Tuhan sebagai Pencipta dan hakikat manusia sebagai ciptaan.


3.a. Tuhan tidak berasal — manusia berasal

  • Kejadian 1:1 — Tuhan menciptakan langit dan bumi.

Ini menetapkan garis pemisah mutlak:

Yang mencipta tidak mungkin bagian dari yang tercipta.

  • Mazmur 100:3 — “Dialah yang menjadikan kita, dan punya Dialah kita.”
Manusia memiliki keberadaan yang diterima, bukan keberadaan yang intrinsik.


3.b. Tuhan tidak tersusun — manusia tersusun

Ciptaan memiliki bagian, materi, dan proses.

Tuhan tidak terdiri dari bagian-bagian, Ia tidak tersusun.

  • Yakobus 1:17 — “… pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Perubahan hanya terjadi pada makhluk tersusun. Tuhan tidak berubah karena Ia tidak memiliki potensi yang belum teraktualisasi.


3.c. Tuhan tidak bergantung — manusia sepenuhnya bergantung

  • Kisah Para Rasul 17:28 — “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.”
  • Manusia tidak menopang dirinya sendiri; keberadaannya kontingen (bergantung pada sesuatu di luar dirinya).

Tuhan adalah ada yang niscaya (necessary being).
Manusia adalah ada yang mungkin (contingent being).


3.d. Tuhan tidak diukur ruang dan waktu — manusia berada dalam ruang waktu

  • Mazmur 90:4 — “Seribu tahun di mata-Mu seperti hari yang kemarin.”
  • Tuhan tidak berada di dalam waktu; waktu berada di bawah kuasa-Nya.

Manusia mengalami hari ini-lalu-kemarin, Tuhan berdiri di luar lintasan waktu.


4. Konsekuensi Filsafati: Pencipta Tidak Mungkin Memiliki Hakikat Ciptaan

Jika Tuhan adalah Keberadaan Murni yang tidak disebabkan, dan manusia adalah keberadaan yang terima,

maka secara logika:

  • Pencipta tidak mungkin menjadi ciptaan, sebab yang tidak-tercipta tidak berubah menjadi tercipta.

  • Yang niscaya tidak mungkin berubah menjadi yang mungkin, sebab perubahan menandakan ketidaksempurnaan.
  • Yang menjadi sumber keberadaan tidak mungkin bergantung pada keberadaan lain, termasuk pada tubuh materi.

Dengan kata lain:

Hakikat Pencipta dan hakikat ciptaan bukan dua tingkat yang bisa saling berubah-ubah.
Mereka berbeda secara esensial, bukan hanya fungsional.


5. Kesimpulan

Dari Keluaran 3:14, Alkitab menghadirkan Tuhan bukan sebagai “makhluk tertinggi” tetapi sebagai Sang Keberadaan, Pribadi yang:

  • Ada karena diri-Nya sendiri

  • Tidak disebabkan

  • Tidak bergantung

  • Tidak berubah

  • Menjadi sumber segala eksistensi

Dan karena Ia adalah Pencipta, maka manusia yang ciptaan tidak mungkin memiliki hakikat yang sama dengan Dia.
Tuhan adalah Keberadaan Niscaya, sementara manusia adalah keberadaan yang mungkin.
Dengan demikian, seluruh Alkitab menuntun kita pada satu pemikiran filosofis yang mendalam:
Tuhan adalah Ia yang Ada, dan segala sesuatu ada karena Dia.
Yang Tidak-Tersusun tidak mungkin mengambil hakikat hal yang tersusun.
Sang Pencipta tetap Pencipta; ciptaan tetap ciptaan.


Haleluyah, Bapa Yesus memberkati kita semua

0 comments:

Posting Komentar