Halaman

Selasa, 25 November 2025

CURAHAN KASIH KARUNIA 👉(Seri-1️⃣3️⃣)


GELIAT RASA KURANG PERCAYA DAN KETIDAKPERCAYAAN


Dua elemen yang seperti “kembar siam identik” atau sisi-sisi uang logam  ini telah menimbulkan permasalahan iman yang paling serius. Keadaan iman yang bermasalah biasanya dimulai dengan ragu atau keragu-raguan kemudian menjadi berkurangnya rasa percaya seseorang kepada YESUS dan dalam beberapa kasus dapat mencapai klimaksnya yakni tidak percaya lagi; – sebutan ekstrimnya, hilangnya iman – yang dipicu oleh berbagai faktor eksternal, seperti tekanan ekonomi yang berkepanjangan, pengaruh sosial, budaya dan politik masyarakat, buruknya pergaulan sekitar lingkungan tempat tinggal, kecewa terhadap orang-orang yang seharusnya menjadi anutan rohani, godaan sex bebas, narkoba, hedonisme, dan lain-lain. 


Kurang percayanya seseorang secara langsung mempengaruhi besar-kecil ataupun kualitas imannya. Orang Yunani mengatakan oligopistos, dan mereka yang menggunakan bahasa Inggris menyebutnya little faith atau lacking confidence.


Seseorang yang beriman dapat menjadi kurang percaya bila melihat sakit penyakit yang dialami salah satu anggota keluarganya atau mungkin penyakit yang dideritanya sendiri yang tak kunjung sembuh. Ia akan merasa kecewa dengan keadaannya sendiri bahkan mungkin terhadap TUHAN yang belum atau tidak menjawab doa-doanya sehingga bila ada orang lain yang bersaksi atau menceritakan pertolongan dan jamahan tangan TUHAN yang menyembuhkan dan memulihkan, ia tidak bisa mempercayainya dengan sepenuh hati. “Ah…, mana mungkin ?”, demikianlah tanggapan dan pertanyaan yang memenuhii benaknya. Atau bila ia berhadapan dengan sesuatu masalah yang nampak besar dan tidak mungkin menurut rasio, misalnya ingin menyekolahkan anak ke tingkat perguruan tinggi, padahal ia hanyalah seorang buruh bangunan atau petani penggarap. Atau pun seorang jemaat biasa yang mengukur besar-kecilnya iman yang dimilikinya dengan Gembalanya atau pemimpin rohaninya.


Kurang percaya menyebabkan berkurangnya – dalam banyak contoh menjadi hilang – efektifitas kerja iman yang seharusnya. Bila kita menjadi kurang percaya terhadap YESUS, maka secara otomatis membatasi kuasa dan berkat-berkat-Nya yang seharusnya kita terima melalui iman. Kurang percaya juga menunjukkan berkurangnya daya sandar rohani seseorang kepada YESUS. Kurang percaya menyebabkan kebimbangan. Dan orang yang bimbang tidak akan mendapatkan apa yang diharapkannya.


“….sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari TUHAN“ (Yakobus 1:6b-7).


Yesus berulang kali menegur murid-murid karena kurang percaya. Akibat kurang percaya, mereka takut dan tidak berdaya menghadapi terjangan badai di tengah-tengah danau, tidak bisa menyembuhkan orang sakit yang dirasuk setan (bacalah Matius 9:23-26; 17:17:14-20a).


Bila perilaku kurang percaya ini dibiarkan, maka suatu saat akan secara signifikan memuncak menjadi ketidakpercayaan. Dan tidak percaya ini merupakan tahap paling kritis dari keberadaan iman.


Tidaklah perlu kita terkejut bila menemukan masalah-masalah yang terkait dengan ketidakpercayaan sudah muncul di halaman-halaman pertama dalam narasi Alkitab. Manusia telah diciptakan dengan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, nyaris secara alamiah membuatnya kesulitan untuk percaya kepada TUHAN. Kenyataan itu tidak kemudian berarti bahwa Adam dan Hawa merupakan orang-orang yang ateis dan agnostik dalam pengertian modern. Mereka tidak seperti itu. Tetapi, mereka – seperti Kain, anak mereka – adalah orang-orang, yang dalam pengertian praktis, ateis. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa mereka bertindak seolah-olah tidak percaya kepada TUHAN atau setidak-tidaknya pada sifat YESUS Yang Mahatahu dan hadir di mana-mana. Mereka bercakap-cakap dengan ular dan berpikir bahwa DIA tidak tahu dan tidak sedang hadir disitu. Mereka melanggar hukum YESUS dan masih tetap mengira bahwa DIA tidak mungkin akan tahu dan tidak bisa menemukan tempat persembunyian mereka. Mereka telah menunjukkan sikap dan perilaku ateis dalam hal ini.


Adam dan Hawa merasa kesulitan untuk sepenuhnya mempercayai YESUS sama dengan berbagai kesulitan yang umum dihadapi umat manusia sejak saat itu. Bahkan di antara orang-orang yang merasa yakin dengan kuatnya kepercayaan mereka kepada YESUS pun tetap ada kecenderungan kepada hal yang disebut sebagai ateisme praktis – keseharian perilaku hidup yang tidak konsisten menunjukkan kepercayaan kepada YESUS yang personal, Mahakuasa, Mahatahu dan hadir di mana-mana.


Perjanjian Lama menulis sejarah tentang Israel yang dalam prakteknya sering menyembah dewa-dewa lain; YESUS menghukum mereka; dan mereka bertobat kemudian mereka kembali melakukannya lagi, dan lagi. Walau agak aneh memang, Alkitab tidak menggaris bawahinya sebagai ketidakpercayaan, hanya disebutkan sebagai ketidaksetiaan mereka yang keras tengkuk. Perjanjian Lama tidak secara eksplisit memasukkan kisah orang-orang yang menyangkal keberadaan Yahweh, meski terdapat berbagai kisah tentang pembunuhan, kejahatan, tindakan amoral dan tipu daya.


Dalam narasi Perjanjian Baru ditemukan secara gamblang orang-orang yang meragukan dan bahkan tidak percaya kepada kisah Yesus. Di sini, permasalahannya bukanlah terdapat pada pertanyaan apakah YESUS ada, tetapi siapakah Yesus itu – yang disebut-sebut sebagai Mesias, Anak YESUS bahkan YESUS sendiri atau hanyalah seorang manusia biasa (anak buruh bangunan) yang hanya bergelar rabi. Banyak orang yang meragukan klaim-Nya, termasuk ibu dan saudara-saudara-Nya; tetapi para peragu yang paling menyolok adalah Yohanes Pembaptis, Yakobus dan beberapa murid lainnya.


Marilah kita mulai melihatnya lagi dalam diri Yohanes Pembaptis – “pimpinan proyek pembuatan dan pelurusan sarana jalan” bagi kedatangan Yesus, sang Mesias. Saat manapun bila iman saya – dan suatu saat Anda juga – menjadi lemah dan meragukan kebenaran pesan-pesan Injil, saya tidak perlu berlarut dalam kesedihan karena saya tidaklah sendirian. Saya memiliki teman, bahkan di antara tokoh-tokoh iman dalam Alkitab, termasuk Yohanes Pembaptis.


Ketika Yohanes mendapat kabar tentang segala peristiwa itu dari murid-muridnya, ia memanggil dua orang dari antaranya dan menyuruh mereka bertanya kepada TUHAN: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?" (Lukas 7:18-19) 

Gary Habermas menanggapinya dengan gamblang, 


“setidak-tidaknya di permukaannya, tidakkah ini tampak seperti sebuah pertanyaan menakutkan yang diajukan kepada Anak YESUS? Bukan semata-mata pertanyaan itu sendiri yang demikian mengejutkan. Seandainya muncul dari salah seorang di antara kerumunan, pertanyaan itu mungkin dianggap oleh banyak pembaca berasal dari orang kurang imannya. Yang menjadikannya semacam bom yang mengejutkan adalah karena pertanyaan itu datang dari Yohanes Pembaptis, orang yang dipilih YESUS untuk mendahului Yesus”. 


Walaupun benar bahwa YESUS mengutus Yohanes mendahului dan bahkan yang membaptis sang Mesias, kebingungannya seputar keilahian Yesus dapat dipahami bila dilihat dari kondisi kejiwaannya yang tertekan selama di penjara dan hendak dihadapkan pada hukuman mati.


Tokoh berikut yang akan kita telusuri perjalanan imannya adalah rasul Tomas. Dalam cerita Alkitab dan hampir pada setiap khotbah, Tomas paling sering dikaitkan dengan keraguan. Tomas menyaksikan langsung baik mukjizat terhebat maupun olok-olokan terbesar yang pernah terjadi di dunia, dan masa depannya sedang dipertaruhkan. Baginya, seperti setiap kaum perempuan dan laki-laki sejak awal mula, percaya pada kebangkitan adalah masalah hidup-mati.


“Tomas memainkan sebuah peran penting. Ia mewakili saya dan semua pengikut Yesus dari sepanjang sejarah yang memiliki kecenderungan untuk ragu-ragu. Ia mengajukan banyak pertanyaan dan menuntut bukti yang sering kali diminta oleh iman saya. Dalam hal ini, ia tidak layak dipuji, tetapi saya akan selalu berterima kasih kepadanya karena penolakannya untuk menerima begitu saja kesaksian para murid yang lain. Ia adalah seorang peragu dan ia memerlukan bukti bagi dirinya sendiri, dan bukti itu telah sering meyakinkan saya”. 


Demikianlah dengan nada membela, Ruth A. Tucker menanggapi “tuduhan” terhadap sang rasul dalam bukunya yang berujudul “Batas-Batas Iman”.


Bila menyimak perjalanan kehidupan para tokoh iman Perjanjian Baru – yang dikutip di sini hanya beberapa – maka kita dapat menyaksikan suatu perwujudan iman yang tidak selalu teguh dan rapi. Di sana terdapat ketegangan, ketidakpastian dan ketidakaturan. Yang baik bercampur dengan yang buruk, kerendahan hati bercampur dengan keangkuhan dan yang benar bercampur dengan yang salah. Petrus, si pelaut yang kemudian menjadi penjala manusia, menyangkal dan mengutuk. Yohanes Pembaptis menjadi bimbang ketika tembok penjara mengurung – bukan saja raganya – imannya. Tomas menuntut bukti. Dan, seperti sebuah skenario yang harus dilakonkan, semua yang dapat dikatakan “orang dalam” pun pernah berada dalam posisi anti-klimaks iman.

 

Tapi, asal Anda tahu, bahwa keadaan kurang atau tidak percaya tidaklah  harus berarti bahwa seseorang yang tadinya memiliki iman sejati, berubah menjadi tidak mempunyainya sama sekali seumur hidupnya (ketiadaan iman permanen). Mungkin untuk sementara ini Anda merasa agak bingung terhadap pernyataan tersebut. Saya sarankan agar jangan dulu berhenti membaca karena penjelasannya ada pada topik pamungkas. Silahkan lanjutkan.


Anda yang dikasihi Kristus. Bila kita bergerak keluar dari era Alkitab untuk menuju pada apa yang dikenal sebagai sejarah gereja, konteks keraguan, kurang percaya dan ketidak percayaan belum berubah secara mendasar. Kepercayaan pada hal yang bersifat adikodrati diterima. Meskipun karakter spesifik dari kepercayaan adikodrati mungkin untuk diperdebatkan dan kebisuan YESUS mungkin terasakan, dunia adikodrati hampir secara universal diterima begitu saja dalam sejarah gereja.


Keteguhan iman yang dimiliki oleh orang Kristen pada masa gereja mula-mula ketika menghadapi penganiayaan sudah banyak ditulis. Mungkin, martir dari era pasca-apostolik yang paling terkenal adalah Uskup Polikarpus, yang sudah berusia lanjut. Ia bersembunyi di sebuah loteng, tempat jerami agar tidak tertangkap. Tetapi, ia tertangkap juga dan dibawa ke pengadilan. Ketika Gubernur Propinsi Romawi menuntut supaya ia bersumpah demi keilahian kaisar dan mengutuki Kristus, Polikarpus menyampaikan pernyataan yang terkenal hingga kini:  


“Selama delapan puluh enam tahun aku telah melayani Dia, dan Dia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku sekarang dapat menghujat Rajaku yang telah menyelamatkan aku?” 

Pernyataan iman yang luar biasa ini telah membawa Polikarpus ke tiang pancang untuk dibakar hidup-hidup.


Meskipun demikian, tidaklah semua orang yang mengaku diri Kristen bertindak gagah seperti Polikarpus. Banyak juga di antara mereka menyangkali iman ketika menghadapi siksaan dan penganiayaan. Eusebius menulis tentang siksaan luar biasa yang dialami oleh kaum perempuan dan laki-laki – Quinta, Apollonia, Metra, Serapion dan yang lain – yang bertahan sampai mati. Tetapi, terdapat pula sebuah kisah yang lain. Kekejaman sang kaisar menjadi suatu ujian yang sangat berat bagi para pengikut Kristus. Begitu mengerikannya siksaan itu, hingga seandainya “mungkin, orang pilihan pun akan tersandung”.


Berikut, kutipan cerita dari tulisan Eusebius, tentang teror di Alexandria pada abad ke-3  yang terambil dari bukunya Ruth A. Tucker :


“Maklumat telah dikeluarkan, sangat mirip dengan yang telah disampaikan oleh TUHAN kita, memperlihatkan aspek yang paling mengerikan sedemikian rupa sehingga, seandainya mungkin, orang pilihan pun akan tersandung. Sungguh, kita semua merasa sangat takut… Namun, beberapa orang dengan sukarela maju ke altar, dan dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak pernah menjadi orang Kristen… Sebagian juga, setelah mengalami siksaan selama sesaat, akhirnya menyangkal. Meskipun demikian, sebagian orang berteguh dalam iman dan diberkati sebagai pilar-pilar TUHAN… menjadi saksi-saksi kerajaan-Nya yang mengagumkan”.


Para tokoh gereja Reformasi yang paling terkenal menemukan bahwa iman mereka dicobai secara luar biasa pada masa ini. Salah seorang di antaranya adalah Martin Luther. Ia dilumpuhkan oleh depresi dan keraguan pada tahun 1527, setelah lewat satu dasawarsa dimana ia memancangkan Sembilan Puluh Lima Tesisnya yang terkenal di pintu gereja di Wittenberg. Luther berkisah, “selama lebih dari satu minggu saya berada di dekat gerbang maut dan neraka. Seluruh tubuh saya gemetar. Kristus benar-benar hilang. Saya diguncang oleh keputusasaan dan hujatan akan YESUS”. Pada kesempatan lain, Luther berbicara tentang YESUS yang tidak tampak, namun ia selalu ditarik untuk kembali pada Kitab Suci – firman YESUS yang telah mentransformasikan hidupnya menjadi ciptaan baru. Tetapi Kitab Suci itu sendiri sering menjadi gangguan bagi Luther. Hal ini digambarkannya dengan komentar-komentarnya atas perikop Injil tentang seorang perempuan Kanaan, yang tempatnya, demkian kata Yesus, bukanlah di atas meja makan melainkan di antara kawanan anjing (Matius 15). Dan untuk kegelisahan batinnya, Luther hanya memiliki satu penjelasan : 


“Semua ini ditulis untuk penghiburan kita. Kita seharusnya melihat betapa dalamnya YESUS menyembunyikan wajah-Nya dan betapa kita tidak seharusnya berjalan menurut perasaan kita tetapi hanya menuruti firman-Nya”.


Pergumulan yang sama juga dialami oleh John Calvin, yang populer dengan istilah “TULIP” pada prinsip pemahaman Teologi Predestinasi yang berhubungan erat dengan lingkup keselamatan (Soteorologi). Calvin memandang “keraguan” sebagai suatu penderitaan yang serius. William Bouwsma meresume pandangan Calvin, “keberdosaan, sepanjang orang Kristen melawannya tidaklah fatal karena keselamatan datangnya hanya dengan iman”. Namun, yang potensial fatal adalah musuh yang jauh lebih buruk – “bukan dosa melainkan keraguan, yang konsekuensi langsungnya bernama kecemasan”. John Calvin mengungkapkan, “keraguan dan kecemasan merupakan musuh yang paling buruk bagi setiap orang Kristen, – bukan orang Kristen yang paling setia”. Ketika membahas masalah ini, ia nampaknya menempatkan dirinya sendiri di dalamnya :


“Dari pengalaman kita sendiri, masing-masing dari kita mengetahui dengan sangat baik kesulitan kita untuk percaya”, Calvin menegaskannya. “Kelemahan setiap orang tentunya membuat banyak orang mengetahui keragu-raguan yang melumpuhkan kita. Orang-orang kudus seringkali mengejutkan dalam ketidakpercayaannya. Iman tidak pernah lepas dari senjatanya, karena si jahat selalu menyodorkan banyak kesempatan kepada ketidakpercayaan”. 


Bila kita mau menapak lebih jauh pada lorong sejarah, kita akan jumpai kaum Puritan – salah satu aliran/mazhab dalam Protestan yang berpendapat bahwa kesenangan dan kemewahan sebagai dosa – yang melebihi kelompok agama manapun, sangat sadar pada hubungan mereka dengan YESUS. Kaum Puritan ini berkembang di Inggris pada abad ke-16 dan 17. YESUS diterima begitu saja dalam setiap aspek kehidupan. Jika demikian maka, adalah sesuatu yang nampaknya tidak masuk akal bila keberadaan YESUS dipertanyakan. Namun akhirnya rongrongan keraguan dan ketidak percayaan menjangkau kelompok ini. Ironisnya, salah satu pengakuan yang paling mendalam seputar ketidakpercayaan diungkapkan oleh seorang perempuan, Anne Bradstreet, yang adalah penyair perempuan yang paling terkenal dari koloni New England. Baik ayah maupun suaminya adalah gubernur koloni Massachusetts Bay yang terkemuka. Anne adalah ibu dari delapan orang anak. Dalam suratnya yang ditujukan kepada anak-anaknya di bawah ini merupakan suatu pengakuan tentang pergumulannya yang berat terhadap keraguan dan ketidakpercayaan :


“Berulang kali setan telah menggangguku sehubungan dengan kebenaran Kitab Suci; berkali-kali ateisme mempertanyakan bagaimana aku bisa tahu bahwa YESUS ada; aku tidak pernah melihat mukjizat untuk meneguhkan imanku, dan bagaiman aku tahu bahwa mukjizat yang kubaca itu tidak dibuat-buat. Bahwa YESUS ada, pikiranku segera memberitahuku melalui karya-karya menakjubkan yang kusaksikan…

Tetapi, bagaimana aku tahu Dia adalah YESUS yang kusembah dan Juruselamat yang kupercaya?”


Selanjutnya, abad ke-19 ditetapkan sebagai “Abad Besar” misi oleh sejarawan Kenneth Scott Latourette dimana kekristenan telah tersebar ke seluruh penjuru dunia berkat pengorbanan para misonaris Barat yang dengan sangat bersemangat mengabarkan Injil. Terdapat suatu dorongan kemanusiaan yang kuat yang meresapi setiap misi dari negara lain ataupun misi di dalam negeri. Pada era ini, kelompok-kelompok sukarelawan bermunculan di Inggris Victorian dan Amerika Utara. Mereka bersatu padu melayani para narapidana, yatim piatu, kaum wanita yang “jatuh ke dalam dosa” dan orang-orang lain yang tak terhitung banyaknya yang jatuh terhimpit di antara masyarakat industrial.


Tokoh-tokoh rohani kharismatik seperti Charles G., Finney dan Dwight L. Moody, para pengkhotbah ternama seperti Charles Spurgeon dan Henry Ward Beecher tampil untuk melakukan kampanye kebangunan rohani secara besar-besaran di mana-mana. Tetapi, tepat pada saat kekristenan tampaknya sedang bangkit, muncullah ancaman-ancaman yang tidak menyenangkan terhadap iman historis. Secara mendalam, revolusi Darwinian telah mempengaruhi pemikiran Victorian dan mengakibatkan hilangnya iman secara kolektif. Salah seorang penyair zaman Victorian yang paling provokatif, Matthew Arnold, menampilkan suasana ini dalam puisinya “Dover Beach:The Eternal Note Of Sadness”, yang merangkum merosotnya iman dan meningkatnya skeptisisme dalam generasinya :


Samudera Iman

Suatu kali pernah penuh sampai ke tepian pesisir bumi

Terhampar seperti gulungan kain yang terang

Tetapi kini hanya kudengar

Rintihan dan air matanya yang tertumpah

Napas yang melemah.

Di atas angin malam, sudut-sudut yang luas muram

Dan kerikil-kerikil kasar dari dunia.


Pada abad ke-20, ancaman terbesar terhadap iman bersumber dari perkembangan teknologi modern dan ketidaksadaran – bercampur sedikit kesadaran – bahwa dunia entah akan menyelesaikan semua persoalannya atau menghancurkan dirinya sendiri tanpa bantuan apa pun dari YESUS.

Ya, dunia informasi global dan teknologi digital telah menempatkan dirinya sebagai ilah zaman modern yang mengikat dan memperbudak manusia. Bila dibandingkan dengan tiga-puluh tahun silam saja, nampaknya kemajuan teknologi modern saat ini telah membentuk suatu opini publik, “tidak ada yang tidak mungkin” untuk dikerjakan, dicapai ataupun dihasilkan dengan bantuan teknologi – tidak mengharapkan bantuan mukjizat TUHAN lagi.


Sedikit kisah di tahun tujuh puluhan, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar milik pemerintah yang ada di kota Ba’a, sebuah kota “udik” di pulau Rote – pulau terselatan dari Indonesia yang berbatasan dengan benua Australia. Ba’a adalah kota mini yang minus teknologi, memiliki sarana jalan – lebih cocok disebut lorong – dengan lebar badan jalan di pusat kotanya tidak lebih dari tiga meter hingga kini. Pada waktu itu transportasi antar pulau yang handal hanya dua atau tiga perahu layar bermotor – lebih banyak tanpa motor. Untuk ke Kupang (Ibu kota propinsi Nusa Tenggara Timur) dibutuhkan waktu satu sampai dua hari – tergantung keadaan ombak di selat Puku Afu – atau bisa sampai tiga hari bila dengan perahu layar. Tetapi saat ini, ketika teknologi modern menyentuhnya, apa yang tidak mungkin telah menjadi sangat mungkin. Jarak Rote-Kupang hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan menggunakan kapal cepat berteknologi modern. Saya teringat, saat-saat masih menggunakan transportasi laut tradisional, para penumpang harus berdoa minta perlindungan TUHAN mengingat waktu tempuh yang lama – itu pun hanya sedikit yang berani karena urusan mendesak. Tapi sekarang, ketika wajah Rote telah berubah, orang-orang telah mengacuhkan bahkan cenderung untuk tidak membutuhkan-Nya lagi pada setiap keberangkatan. Teknologi telah menantang TUHAN untuk merebut perhatian dan membuat manusia bergantung padanya.


Namun, hal yang paling besar sumbangsihnya dalam keterpurukan iman seseorang adalah munculnya pelbagai pengajaran dan sistem-sistem kepercayaan yang memiliki pusat orientasi pada etika-moral, hedonis, humanis, sosio-kultural dan berbagai bentuk meditasi pikiran.


Salah satu kisah nyata yang dapat dikemukakan untuk masalah ini adalah Sergei Bulgakov (1871-1944). Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga pendeta Ortodoks Rusia. Ketika masih muda, ia dikirim ke seminari untuk dididik menjadi pendeta. Di seminari, ia mengalami krisis iman yang mendalam sehingga, menurut pengakuannya, “berakhir dalam keadaan kehilangan iman selama bertahun-tahun”. Keluarganya bukan saja sangat sedih karena imannya yang hilang, tetapi juga karena kredo (dari bahasa Latin = kepercayaan) barunya, “dengan hilangnya imanku, secara alamiah dan otomatis aku menerima semangat revolusioner dan kemudian muncul sebagai kaum intelektual”.


Eugene Rofle, seorang psikolog asal Inggris, memberi komentar setelah mengamati budaya ketidakpercayaan di zaman modern ini : 


“Dewasa ini, hampir semua orang hidup dengan segala tujuan praktis dengan mengabaikan keberadaan TUHAN”. 


Ini adalah suatu bentuk ateisme yang umum dan tidak disadari. Berpuluh-puluh tahun lalu, kehidupan keseharian memang sulit dan peran YESUS sangat penting, seperti dalam pengalaman perjalanan, sakit, melahirkan anak, atau bertani, umat Kristen selalu mendahulukan YESUS. Saat ini, kita, orang-orang Kristen – termasuk saya dan mungkin Anda juga – hanya berbasa-basi tentang kebergantungan kita kepada YESUS karena dalam kenyataannya, kita lebih “beriman” pada pesawat terbang, dokter,  para-normal, psikolog dan lain-lain. TUHAN hanya akan dipikirkan dan menjadi pilihan alternatif bila semua yang di “imani” tidak lagi dapat menolong.

[lanjut... Part-1️⃣4️⃣]




✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:

Posting Komentar