Halaman

Minggu, 23 November 2025

PERCAYA DAN IMAN

Mengawali pembahasan masalah secara menyeluruh serta implikasinya (keterlibatan) dalam keseharian kehidupan rohani, marilah kita –saya berharap Anda setuju- membentuk dasar pemahaman dan menyamakan persepsi teologis terhadap apa yang disebut sebagai iman secara etimologis (asal usul kata) dan terminologis (definisi) dan juga kata yang sering dipakai secara bergantian atau disinonimkan dengannya yaitu percaya.

“Sikap iman dan percaya sangat jarang disebut iman di dalam Perjanjian Lama, walaupun sikap tersebut terimplikasi disana dan sering di parafrasekan”,  demikian menurut B.B. Warfield, seperti yang dikutip oleh A.A. Hoekema.

Bila kita membuka lembaran Perjanjian Lama berbahasa Ibrani untuk melihat arti kata iman, maka akan ditemukan tiga kata yang paling umum digunakan yakni āman, bāttach dan chāsah

Dalam leksikon Ibrani Brown-Driver-Briggs, arti dasar kata ‘āman adalah “meneguhkan atau mendukung”, atau “menyebabkan untuk mendukung”. Kalau kata ini diterapkan pada seseorang maka dapat berarti “menyebabkan seseorang untuk mendukungmu”. Dengan demikian dapatlah juga diberi arti “mempercayai atau mempercayakan diri kepada seseorang”. Bentuk kata kerja yang unik ini dapat ditemukan dalam kitab Kejadian 15:6, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”. Periksa juga dalam Yesaya 7:9; Habakuk 2:4.

Kedua, kata bāttach mengandung arti “yakin akan, bersandar kepada, mempercayai” dapat ditemukan di Mazmur 25:2, “Elohimku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu”. Silahkan periksa juga di Mazmur 13:6a; 84:13; Amsal 16:20; Yesaya 26:3-4.

Bentuk kata yang ketiga dari iman dalam Perjanjian Lama adalah chāsah, yang berarti “mencari perlindungan”. Hal ini dapatlah Anda baca di Mazmur 57:2, “Kasihanilah aku, ya Elohim, kasihanilah aku, sebab kepada-Mulah jiwaku berlindung; dalam naungan sayap-Mu aku akan berlindung, sampai berlalu penghancuran itu”. Ayat-ayat referensi lain dapat di temukan di Mazmur 2:12; 25:20; 31:2; 91:4.

Adalah sesuatu yang sangat menarik dari kata iman ini bila asal usulnya diselidiki juga dalam bahasa Yunani, Perjanjian Baru. Bentuk kata bendanya adalah pistis dan kata kerja disebut pisteύō. Dalam bentuk kata benda pistis yang sebutan Inggrisnya "faith" mengandung arti secara subjektif, “keyakinan yang kokoh, tetap, tidak berubah; ketulusan hati; yakin dalam kebenaran”. Itu semua menyatakan suatu keyakinan atas kebenaran dari suatu hal. Ungkapan Latin, “fides qua creditur” (iman yang olehnya kita dapat mempercayai) adalah sangat tepat bila ditujukan pada Yesus karena itu berarti kita mengakui eksistensi-Nya sebagai satu-satunya Pencipta dan Penguasa segala sesuatu, dan Pemberi keselamatan melalui Yesus Kristus, anak-Nya yang tunggal.

Bila iman dilihat dari bentuk kata kerja pisteύō (Ing.= believe) mempunyai beberapa pengertian yakni :

👉[1] Berpikir bahwa sesuatu adalah benar (Matius 24:23), 

👉[2] Menerima pesan Allah yang disampaikan oleh para hamba-Nya (Kisah 24:14), 

👉[3] Menerima Yesus seutuhnya sebagai Mesias dan sebagai salah satu pribadi dari TRINITAS Ilahi (Yohanes 3:16), 

👉[4] Menaruh kepercayaan, 

👉[5] Menggantungkan hidup, 

👉[6] Menyerah dan menyerahkan hidup pada Yesus. Disini, iman lebih dari sekedar mempercayai kebenaran suatu pesan; iman berarti melibatkan kepercayaan kepada Kristus, tinggal di dalam-Nya dan secara total bersandar pada-Nya.


Anthony A. Hoekema dengan cermat menarik kesimpulan,

“Boleh kita katakan bahwa iman dalam pengertian Perjanjian Baru melibatkan penerimaan atas suatu rangkaian kebenaran yang didasarkan pada kesaksian para rasul atau orang-orang lainnya yang menyebarkan kesaksian itu dan suatu kepercayaan pribadi kepada Kristus sebagai Juruselamat”.


Pemahaman dasar iman dalam bentuk verbs (kata kerja) inilah yang sering dipakai bergantian dengan kata “percaya”. Kita sebagai orang beriman –sudah tentu termasuk Anda- harus bisa dengan jeli melihat adanya perbedaan antara kedua kata tersebut. Jika tidak, maka akan sulit dan bahkan bisa terjebak bila diperhadapkan pada pertanyaan, “apa bedanya antara orang-orang yang percaya Tuhan dan setan-setan yang juga percaya bahkan mereka gemetar ketika mendengar nama Yesus? (baca Yakobus 2:19). 

Marilah kita mulai membedakannya. Saya bisa katakan bahwa progresifitas percaya dari seseorang dapat membentuk imannya bahkan membuat imannya semakin bertumbuh dan menghasilkan buah. Karena percaya menciptakan ketergantungan seutuhnya pada TUHAN secara terus menerus (Matius 17:21). Alkitab mencatat bahwa para murid Yesus tidak serta merta (otomatisasi) memiliki iman ketika mereka dipanggil Yesus untuk pertama kalinya. Mereka harus terlebih dahulu mendengar dan menyaksikan Yesus mengajar dan melakukan banyak mujizat barulah iman mereka terbentuk (baca Matius 4:4:18-25; Lukas 5:1-26). Setiap hari, para murid belajar percaya terhadap setiap perkataan Yesus dan mujizat yang dilakukan-Nya di depan mata mereka. Itu dikumpulkannya sedikit demi sedikit agar bisa menjadi bukit. Bayangkan saja. Yesus mulai “menantang” ataupun memberi rangsangan awal pembentukan iman para muridnya dengan menggambarkan hanya sebesar biji sesawi. Tidak mudah memang. Yesus sering dengan keras menegur mereka karena iman mereka yang kerdil akibat kurang percaya. Silahkan baca ke empat Injil untuk pastikan kronologisnya.

Mari perhatikan. Alkitab mengatakan, “… barang siapa percaya …” (Yohanes 3:16). Pada ayat ini, “percaya” di tulis dalam bentuk kata kerja pisteύō yang mengindikasikan akan adanya kemajuan atau peningkatan rohani atau pun kualitas hidup setelah seseorang telah –merupakan keputusan awal- mengatakan bahwa dia percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Contoh yang lain dapat ditemukan dalam cerita Lazarus, saudara Marta dan Maria yang sedang sakit keras. Alkitab juga dengan jelas mengatakan bahwa setelah mendengar berita tentang Lazarus, Yesus malah sengaja tinggal dua hari lagi (Yohanes 11:6). Kita tidak boleh negatif berintepretasi terhadap tanggapan Yesus, karena hanya ada satu alasan mengapa Dia sengaja? “…supaya kamu dapat belajar percaya. …” (Yohanes 11:15). Sekali lagi –kalau Anda terus membaca- Alkitab membuktikan bahwa untuk dapat memiliki iman –walau hanya sebesar biji sesawi- harus dimulai dengan percaya dan … tetap percaya. 

Iman (kata benda) timbul karena pendengaran akan firman Kristus (Roma 10:17) yang kemudian menjadi dasar bagi pembangunan tubuh rohani di atasnya (Ibrani 11:1; Yudas 1:20; bdk. I Korintus 3:10-11; 2 Petrus 1:5-7). Tetapi untuk sampai kesana harus dimulai dengan percaya (baca Roma 10:13-14a). Contoh praktisnya, ketika seseorang membangun sebuah rumah ataupun bangunan tentu ia harus memulainya dengan membuat fondasi atau dasar bangunan tersebut. Tetapi harus diingat bahwa fondasi pun terbentuk dari campuran batu, pasir, semen dan lain-lain. Jadi kalau dikorelasikan dengan iman maka pembentukan, pertumbuhan dan perkembangannya berawal dari percaya yang dengan setia (baca Amsal 19:22a) dikumpulkan dari hari ke sehari dalam perjalanan mengikut Tuhan Yesus.

Sedangkan, percayanya para setan seperti yang tercatat dalam surat Yakobus 2:19 adalah suatu bentuk percaya yang hanya di mulut (lips service). Percaya yang tidak di ikuti oleh tindakan merupakan suatu bentuk kepercayaan yang mati. Ini (iman) tidak lebih dari hanya suatu kesadaran intelektual tentang keberadaan Allah. Percaya seperti para setan adalah percaya yang palsu dan bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penyusupan “iman” yang di dalamnya terdapat jebakan yang membinasakan. Percaya para setan tidak akan pernah –karena hal itu sangatlah absurd- disertai dengan tindakan-tindakan dan tidak mungkin menunjukkan hasil dari iman asli kepada Kristus. Kalau dikaitkan dengan manusia maka ibarat ilalang yang nampak tumbuh bersama gandum tetapi tidak menghasilkan buah (baca Matius 13:24-30). Mereka yang mengatakan “percaya” seperti ini, benar-benar tidaklah memiliki integritas iman asli kepada Yesus Kristus.


💁‍♂️FIDES QUAERENS INTELLECTUM🧏‍♂️


Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus.🖐


0 comments:

Posting Komentar