B. YANG BERHAK MENERIMA PERSEPULUHAN
Bila sudah menyinggung atau berbicara hak maka bisa dipastikan lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat
privasi dan biasanya sangat sensitif responsif bila dilanggar. Setiap orang –
tanpa melihat latar belakang pendidikan dan strata sosial – akan lebih cepat
menuntut hak-haknya daripada kewajibannya atau dengan lain pengkalimatan, –
sesuai fakta lapangan – hak yang lebih diutamakan daripada kewajiban. Pada
umumnya, kita lebih gigih memperjuangkan atau mempertahankan hak-hak kita
daripada tekun melaksanakan kewajiban kita.
Nah, Alkitab mencatat dua sisi bersinggungan ini menjadi
pembelajaran bagi kita; bagaimana seharusnya mendahulukan kewajiban sebelum
mengejar hak-hak kita.
Dalam Perjanjian Lama, penetapan
mengenai persembahan persepuluhan di kalangan orang-orang Israel baru dilakukan
pada zaman Musa (Bilangan 18:21-24) dan diberikan khusus kepada orang-orang
Lewi (yaitu mereka yang melayani Kemah Pertemuan sebagai imam, pemusik,
pengangkat tabut perjanjian, bahkan yang merawat Kemah Pertemuan).
Sebagai
konsekuensinya, orang-orang Lewi tidak mendapat bagian dalam tanah perjanjian.
Mereka hidup dari dukungan suku-suku Israel lainnya. Prinsip inilah yang
kemudian ditegaskan oleh Paulus (1 Korintus 9:13), berangkat dari pengajaran
Yesus dalam injil Matius 23:32 (band. Lukas 11:42).
Dalam kitab Imamat 27:30-34
dijelaskan mengenai apa saja yang dapat
dikenakan persepuluhan. Persepuluhan berasal dari hasil pertanian. Sepersepuluh
dari hasil bumi haruslah menjadi milik TUHAN, dan jika hendak digantikan dengan
uang, maka haruslah ditambahkan seperlima (Imamat 27:30). Sementara,
persepuluhan berupa ternak adalah hitungan kesepuluh dari setiap ternak yang
ada. Sederhananya, seorang peternak cukup menghitung ternaknya, dan setiap
kelipatan sepuluh, maka ternak tersebut menjadi milik TUHAN (Imamat 27:32).
Ternak kesepuluh itu tidak boleh digantikan, apapun keadaan ternak itu, haruslah
menjadi milik TUHAN.
Banyak orang seringkali tidak
bisa membedakan antara persepuluhan dengan persembahan sulung (Keluaran 22:29,
30). Persembahan sulung diambil dari hasil pertanian pertama, sedangkan
persepuluhan dikenakan setiap tahun kepada suku-suku Israel (Ulangan 14:22).
Dalam Perjanjian Lama setidaknya
ditemukan empat bentuk persepuluhan:
1).
persepuluhan untuk kaum Lewi (Imamat
14:27; Bilangan 18)
2).
persepuluhan setiap tahun ketiga, yaitu persepuluhan untuk kaum Lewi, orang
asing, anak yatim dan janda (Ulangan. 14:28, 29; 26:12),
3).
persepuluhan dari kaum Lewi, yang diserahkan kepada imam Harun (Imamat
18:26-28), dan
4).
persepuluhan untuk perjamuan bersama di Yerusalem (Ulangan 14:23-27).
Perjanjian Lama membagi kaum Lewi ke
dalam tiga kelompok: yaitu kohanim (para imam), keturunan Harun dan Lewiim
(sisa keturunan Lewi). Keturunan Harun ditahbiskan sebagai imam, sedangkan
sisa keturunan Lewi menjadi pelayan para imam (Bilangan 18:1-7).
Persepuluhan diberikan kepada kaum
Lewi, yaitu mereka yang membantu pelayanan para imam, sedangkan para imam
menerima persepuluhan dari kaum Lewi (Bilangan 18:26).
Selain
menerima persepuluhan dari kaum Lewi, para imam juga berhak menerima
"persembahan sulung" [bīkkūrīm] (Bilangan 18:11-24) dan "persembahan khusus" [tĕrūmāʰ]
(Keluaran 25:1-27).
Tradisi persepuluhan pada masa
inter-testamental (periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru)
dijelaskan dalam kitab Tobit. Dalam pasal 1:7, 8 disebutkan peruntukkan
persepuluhan sebagai berikut:
- Persepuluhan pertama diberikan
kepada keturunan Lewi (huiois Leui), yang melayani di Yerusalem.
- Persepuluhan kedua dijual dan
diberikan (dibelanjakan makanan) setiap tahun di Yerusalem. Beberapa ahli
menafsirkan bahwa persepuluhan kedua ini digunakan untuk pembangunan kota
Yerusalem.
- Persepuluhan ketiga diberikan
kepada orang-orang yang membutuhkan (ois kathēkei).
Selanjutnya, tradisi persepuluhan di
kalangan Yudaisme disebutkan dalam Hilkhot Ma‘aser Shenī, karya
Maimonides:
1.
Persepuluhan pertama untuk keturunan
Lewi (para pelayan Bait Suci)
2.
Persepuluhan kedua diberikan untuk
Yerusalem (Ulangan 14:22-27)
3.
Persepuluhan ketiga diberikan kepada
orang-orang miskin (Ulangan 26:12).
Alkitab memberitahukan pada kita bahwa kewajiban suku Lewi –
sudah termasuk para Imam dan Imam Besar – adalah menyelenggarakan ibadah,
membimbing dan memberkati umat Israel. Sedangkan kewajiban umat – sebelas suku
yang lainnya – adalah mencukupi kebutuhan-kebutuhan jasmani mereka melalui
berbagai bentuk persembahan – termasuk persepuluhan.
Pertama-tama, perpuluhan diberikan kepada bani Lewi sebagai
hak mereka tapi kemudian bani Lewi sendiri pun diwajibkan untuk menyerahkan perpuluhan dari persepuluhan yang
telah diterimanya kepada imam-imam. Kesebelas suku
Ulangan 14:28-29 Pada akhir tiga tahun engkau harus
mengeluarkan segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu
dan menaruhnya di dalam kotamu; maka orang Lewi, karena ia tidak mendapat
bagian milik pusaka bersama-sama engkau, dan orang asing, anak yatim dan janda
yang di dalam tempatmu, akan datang makan dan menjadi kenyang, supaya TUHAN,
Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan
tanganmu."
Ulangan 26:12-13 "Apabila
dalam tahun yang ketiga, tahun persembahan persepuluhan, engkau sudah selesai
mengambil segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu, maka haruslah
engkau memberikannya kepada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan kepada
janda, supaya mereka dapat makan di dalam tempatmu dan menjadi kenyang. Dan
haruslah engkau berkata di hadapan TUHAN, Allahmu: Telah kupindahkan
persembahan kudus itu dari rumahku, juga telah kuberikan kepada orang Lewi, dan
kepada orang asing, anak yatim dan kepada janda, tepat seperti perintah yang
telah Kauberikan kepadaku. Tidak kulangkahi atau kulupakan sesuatu dari
perintah-Mu itu.
Bagaimana dengan kondisi gereja pada saat ini? Apabila gereja
tetap mempertahankan konsep tentang persepuluhan menurut Perjanjian Lama, maka
ketentuan yang sama masih tetap berlaku bagi gereja juga. Persepuluhan adalah
milik orang Lewi (Ma’aser Rishon), seluruh anggota keluarga (Ma’aser Sheni),
serta janda-janda, anak yatim dan orang asing (Ma’aser Ani).
Berdasarkan referensi atau sokongan ayat-ayat Firman Allah
tersebut di atas, sebagai anggota jemaat atau para praktisi, seharusnya lebih
kritis dan dewasa memahami arti persembahan persepuluhan dilihat dari sasaran
pemberiannya atau objek penerimanya. Sekali lagi, ada beberapa golongan atau
kelompok orang seperti yang direkomendasikan Alkitab, haruslah mendapat bagian
atau setidak-tidaknya turut menikmati persembahan “properti” ini. Adalah tidak
adil dan melanggar aturan Firman Allah jika gereja – maaf, yang saya maksudkan
adalah mereka yang secara organisasi memenuhi “syarat” dipanggil dan ditunjuk
menduduki posisi elit eksekutif gereja – tidak mematuhinya.
Survei membuktikan bahwa para pelayan gereja yang seharusnya
berbeda secara hirarkis dan prinsip pelayanan dengan para Lewi dalam Tabernakel
telah mengklaim diri sebagai “Lewi-lewi rohani” dan mengadopsi secara sepihak
praktek persembahan persepuluhan serta memodifikasinya – tentunya setelah
melewati proses penafsiran dengan menggunakan metode hermeneutika pribadi –
sesuai kepentingan jawatan tertentu dan sengaja mengesampingkan hak-hak mereka
yang dianugerahi jawatan-jawatan lainnya (Efesus 4:11-12, I Korintus 12:28a, 29a).
Dan Ialah
yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita
Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi
orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.
Dan Allah
telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua
sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar.... Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau
pengajar?
Bila para pelayan gereja – jika dieksplisitkan
penyebutannya, mereka yang “menempatkan diri” sebagai Gembala Sidang atau yang
setara dengan itu – ingin disejajarkan atau dikonotasikan dengan para Lewi yang
berhak menerima persepuluhan, maka marilah kita semua sepakat bahwa Gereja
identik dengan Tabernakel/Kemah Pertemuan
dalam pengertiannya yang paling sempit. Pertanyaannya, apakah demikian
seharusnya? Mana yang benar, bila ditinjau dari de facto dan de yure, Yesus
Kristus adalah Kepala Gereja atau Kepala Tabernakel? Apakah Yesus juga
mengangkat dan melantik Imam dan Lewi untuk pembangunan dan penatalayanan
tubuh-Nya (gereja)? Apakah hak-hak dari para Imam dan Lewi dalam pelayanan di
Tabernakel harus disamakan atau diterapkan dalam Gereja – walaupun
terdapat
Kita semua tahu bahwa dalam dunia sekuler sedang
gencar-gencarnya memperjuangkan apa yang sangat populer dengan istilah HAM –
Hak Asasi Manusia – baik dengan cara damai melalui perundingan maupun dengan
melakukan demonstrasi dan orasi politik bahkan lebih cenderung dengan
menggunakan kekerasan fisik (tindakan anarkis).
Hak adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan dan
dipertahankan dengan cara dan taruhan apa pun. Orang akan menjadi nekat
melakukan tindakan ofensif (menyerang) bila hak-haknya tidak diberikan atau
dirampas. Hak seseorang sangat berhubungan atau dapat dikatakan menyatu dengan
harga dirinya. Jadi, kalau haknya dirampok atau dialihkan tanpa sepengetahuan
atau persetujuannya maka itu sama artinya harga dirinya diinjak, dilecehkan dan
dihina. Jika hal ini terjadi terus-menerus bisa memicu tindakan kriminal.
Tuntutan atas perolehan hak seseorang tidaklah selamanya
disebabkan oleh telah terpenuhi kewajiban-kewajibannya.
Bayangkan saja, sedangkan orang yang tidak pernah menunaikan
kewajiban-kewajibannya pun dapat menuntut hak-haknya apalagi mereka yang telah
penuh rasa tanggung-jawab menjalankan segala kewajiban yang disodorkan.
Dilematis memang masalahnya. Bila Anda kurang bijak dalam memutuskan perkara
ini maka bisa dituduh semena-mena, tidak adil dan bisa terjadi bencana
kemanusiaan.
Konflik antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban sering
menjadi polemik berkepanjangan hingga memicu tindakan anarkis (kriminal).
Pemerintah dengan aparat keamanannya pun dibuat bingung dan kewalahan
mengatasinya. Terdapat cukup banyak produk undang-undang dan atau
peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur hak dan kewajiban warga negaranya.
Ironisnya justru ketimpangan menyolok hampir tak teratasi –
antara pemenuhan kewajiban dan perolehan hak – terjadi dalam lingkungan
organisasi gereja yang rohaniah. Pembenaran diri menjadi warna dominan
disekitar meja perundingan para abdi Allah. Alasan-alasan yang nampak logis subyektif pun dikumandangkan hanya untuk
menjaga eksistensi pelayanan di zona ekonomi eksklusif guna
mengantisipasi terjangan “gelombang panas” tuntutan pemenuhan ekonomi pribadi
dan keluarga yang kian meningkat di era globalisasi saat ini. Bila demikian
keadaannya maka “hukum rimba” adalah pilihan jitu bagi mereka dengan pola hidup
kapitalis materialis.
Mengapa begini dan mengapa begitu? Kemanakah hak-hak atas
segala kewajiban yang telah dengan taat dan setia dilaksanakan? Apakah Tuhan
yang harus dipersalahkan karena pilih kasih dan memihak ataukah semata-mata
dikarenakan ketamakan manusia yang tidak rela berbagi hasil dengan mereka yang
memang berhak atasnya? Gereja akan pusing lebih dari tujuh keliling
menjawabnya. Tapi, ooopss…. Jangan keburu pusing dulu. Mari lanjutkan ….
bacaannya.
0 comments:
Posting Komentar