Halaman

Rabu, 26 November 2025

💰PERSEPULUHAN 👉 ALKITABIAH TAPI TIDAK INJILI [PARTISI 1 B]📕

 

B.   YANG BERHAK MENERIMA PERSEPULUHAN

Bila sudah menyinggung atau berbicara hak maka bisa dipastikan lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat privasi dan biasanya sangat sensitif responsif bila dilanggar. Setiap orang – tanpa melihat latar belakang pendidikan dan strata sosial – akan lebih cepat menuntut hak-haknya daripada kewajibannya atau dengan lain pengkalimatan, – sesuai fakta lapangan – hak yang lebih diutamakan daripada kewajiban. Pada umumnya, kita lebih gigih memperjuangkan atau mempertahankan hak-hak kita daripada tekun melaksanakan kewajiban kita.

Nah, Alkitab mencatat dua sisi bersinggungan ini menjadi pembelajaran bagi kita; bagaimana seharusnya mendahulukan kewajiban sebelum mengejar hak-hak kita.

            Dalam Perjanjian Lama, penetapan mengenai persembahan persepuluhan di kalangan orang-orang Israel baru dilakukan pada zaman Musa (Bilangan 18:21-24) dan diberikan khusus kepada orang-orang Lewi (yaitu mereka yang melayani Kemah Pertemuan sebagai imam, pemusik, pengangkat tabut perjanjian, bahkan yang merawat Kemah Pertemuan).

Sebagai konsekuensinya, orang-orang Lewi tidak mendapat bagian dalam tanah perjanjian. Mereka hidup dari dukungan suku-suku Israel lainnya. Prinsip inilah yang kemudian ditegaskan oleh Paulus (1 Korintus 9:13), berangkat dari pengajaran Yesus dalam injil Matius 23:32 (band. Lukas 11:42).

            Dalam kitab Imamat 27:30-34 dijelaskan mengenai apa saja  yang dapat dikenakan persepuluhan. Persepuluhan berasal dari hasil pertanian. Sepersepuluh dari hasil bumi haruslah menjadi milik TUHAN, dan jika hendak digantikan dengan uang, maka haruslah ditambahkan seperlima (Imamat 27:30). Sementara, persepuluhan berupa ternak adalah hitungan kesepuluh dari setiap ternak yang ada. Sederhananya, seorang peternak cukup menghitung ternaknya, dan setiap kelipatan sepuluh, maka ternak tersebut menjadi milik TUHAN (Imamat 27:32). Ternak kesepuluh itu tidak boleh digantikan, apapun keadaan ternak itu, haruslah menjadi milik TUHAN.
            Banyak orang seringkali tidak bisa membedakan antara persepuluhan dengan persembahan sulung (Keluaran 22:29, 30). Persembahan sulung diambil dari hasil pertanian pertama, sedangkan persepuluhan dikenakan setiap tahun kepada suku-suku Israel (Ulangan 14:22).

            Dalam Perjanjian Lama setidaknya ditemukan empat bentuk persepuluhan:

1).  persepuluhan untuk kaum Lewi (Imamat 14:27; Bilangan 18)

2). persepuluhan setiap tahun ketiga, yaitu persepuluhan untuk kaum Lewi, orang asing, anak yatim dan janda (Ulangan. 14:28, 29; 26:12),

3). persepuluhan dari kaum Lewi, yang diserahkan kepada imam Harun (Imamat 18:26-28), dan

4). persepuluhan untuk perjamuan bersama di Yerusalem (Ulangan 14:23-27).

 

            Perjanjian Lama membagi kaum Lewi ke dalam tiga kelompok: yaitu kohanim (para imam), keturunan Harun dan Lewiim (sisa keturunan Lewi). Keturunan Harun ditahbiskan sebagai imam, sedangkan sisa keturunan Lewi menjadi pelayan para imam (Bilangan 18:1-7).

            Persepuluhan diberikan kepada kaum Lewi, yaitu mereka yang membantu pelayanan para imam, sedangkan para imam menerima persepuluhan dari kaum Lewi (Bilangan 18:26).

Selain menerima persepuluhan dari kaum Lewi, para imam juga berhak menerima "persembahan sulung" [bīkkūrīm] (Bilangan 18:11-24) dan "persembahan khusus" [tĕrūmāʰ] (Keluaran 25:1-27).
            Tradisi persepuluhan pada masa inter-testamental (periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dijelaskan dalam kitab Tobit. Dalam pasal 1:7, 8 disebutkan peruntukkan persepuluhan sebagai berikut:

  1. Persepuluhan pertama diberikan kepada keturunan Lewi (huiois Leui), yang melayani di Yerusalem.
  2. Persepuluhan kedua dijual dan diberikan (dibelanjakan makanan) setiap tahun di Yerusalem. Beberapa ahli menafsirkan bahwa persepuluhan kedua ini digunakan untuk pembangunan kota Yerusalem.
  3. Persepuluhan ketiga diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan (ois kathēkei).

 

            Selanjutnya, tradisi persepuluhan di kalangan Yudaisme disebutkan dalam Hilkhot Ma‘aser Shenī, karya Maimonides:

1.      Persepuluhan pertama untuk keturunan Lewi (para pelayan Bait Suci)

2.      Persepuluhan kedua diberikan untuk Yerusalem (Ulangan 14:22-27)

3.      Persepuluhan ketiga diberikan kepada orang-orang miskin (Ulangan 26:12).

 

Alkitab memberitahukan pada kita bahwa kewajiban suku Lewi – sudah termasuk para Imam dan Imam Besar – adalah menyelenggarakan ibadah, membimbing dan memberkati umat Israel. Sedangkan kewajiban umat – sebelas suku yang lainnya – adalah mencukupi kebutuhan-kebutuhan jasmani mereka melalui berbagai bentuk persembahan – termasuk persepuluhan.

Pertama-tama, perpuluhan diberikan kepada bani Lewi sebagai hak mereka tapi kemudian bani Lewi sendiri pun diwajibkan untuk menyerahkan perpuluhan dari persepuluhan yang telah diterimanya kepada imam-imam. Kesebelas suku Israel ini tidak hanya diwajibkan membawa persepuluhan kepada para Lewi namun juga diperintahkan untuk menyerahkannya kepada orang asing, anak yatim dan janda yang ada disekitarnya  karena mereka juga berhak menerimanya. Perhatikan kutipan dari Perjanjian Lama :

 

Ulangan 14:28-29        Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan menaruhnya di dalam kotamu; maka orang Lewi, karena ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau, dan orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu, akan datang makan dan menjadi kenyang, supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan tanganmu."

Ulangan 26:12-13        "Apabila dalam tahun yang ketiga, tahun persembahan persepuluhan, engkau sudah selesai mengambil segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu, maka haruslah engkau memberikannya kepada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan kepada janda, supaya mereka dapat makan di dalam tempatmu dan menjadi kenyang. Dan haruslah engkau berkata di hadapan TUHAN, Allahmu: Telah kupindahkan persembahan kudus itu dari rumahku, juga telah kuberikan kepada orang Lewi, dan kepada orang asing, anak yatim dan kepada janda, tepat seperti perintah yang telah Kauberikan kepadaku. Tidak kulangkahi atau kulupakan sesuatu dari perintah-Mu itu.

 

Bagaimana dengan kondisi gereja pada saat ini? Apabila gereja tetap mempertahankan konsep tentang persepuluhan menurut Perjanjian Lama, maka ketentuan yang sama masih tetap berlaku bagi gereja juga. Persepuluhan adalah milik orang Lewi (Ma’aser Rishon), seluruh anggota keluarga (Ma’aser Sheni), serta janda-janda, anak yatim dan orang asing (Ma’aser Ani).

Berdasarkan referensi atau sokongan ayat-ayat Firman Allah tersebut di atas, sebagai anggota jemaat atau para praktisi, seharusnya lebih kritis dan dewasa memahami arti persembahan persepuluhan dilihat dari sasaran pemberiannya atau objek penerimanya. Sekali lagi, ada beberapa golongan atau kelompok orang seperti yang direkomendasikan Alkitab, haruslah mendapat bagian atau setidak-tidaknya turut menikmati persembahan “properti” ini. Adalah tidak adil dan melanggar aturan Firman Allah jika gereja – maaf, yang saya maksudkan adalah mereka yang secara organisasi memenuhi “syarat” dipanggil dan ditunjuk menduduki posisi elit eksekutif gereja – tidak mematuhinya.

Survei membuktikan bahwa para pelayan gereja yang seharusnya berbeda secara hirarkis dan prinsip pelayanan dengan para Lewi dalam Tabernakel telah mengklaim diri sebagai “Lewi-lewi rohani” dan mengadopsi secara sepihak praktek persembahan persepuluhan serta memodifikasinya – tentunya setelah melewati proses penafsiran dengan menggunakan metode hermeneutika pribadi – sesuai kepentingan jawatan tertentu dan sengaja mengesampingkan hak-hak mereka yang dianugerahi jawatan-jawatan lainnya (Efesus 4:11-12,  I Korintus 12:28a, 29a).

 

Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.

Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar.... Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar?

 

Bila para pelayan gereja – jika dieksplisitkan penyebutannya, mereka yang “menempatkan diri” sebagai Gembala Sidang atau yang setara dengan itu – ingin disejajarkan atau dikonotasikan dengan para Lewi yang berhak menerima persepuluhan, maka marilah kita semua sepakat bahwa Gereja identik dengan Tabernakel/Kemah Pertemuan dalam pengertiannya yang paling sempit. Pertanyaannya, apakah demikian seharusnya? Mana yang benar, bila ditinjau dari de facto dan de yure, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja atau Kepala Tabernakel? Apakah Yesus juga mengangkat dan melantik Imam dan Lewi untuk pembangunan dan penatalayanan tubuh-Nya (gereja)? Apakah hak-hak dari para Imam dan Lewi dalam pelayanan di Tabernakel harus disamakan atau diterapkan dalam Gereja – walaupun terdapat lima jawatan – yang lebih mengkultuskan jawatan Gembala? Bila para Hamba Tuhan dalam gereja mengidentifikasikan diri sebagai para Lewi yang juga memiliki hak istimewa menerima dan menikmati persembahan persepuluhan, maka siapakah yang “pantas” disebut Imam Besar dimana para Lewi harus memberi persepuluhan dari persepuluhan yang diterimanya? Apakah Yesus pernah mengajarkan “mata pelajaran” persepuluhan pada para Rasul (paling tidak kepada duabelas murid-Nya) untuk diteruskan pada gereja? Jika mereka yang mengemban jawatan Rasul, Nabi, Penginjil dan Guru  tidak berhak menerima dan atau tidak diperbolehkan menikmati persepuluhan maka apakah karena mereka memang tidak dapat digolongkan sebagai para Lewi? Lalu, bagaimana dengan hak para janda, anak yatim dan orang asing yang telah diatur dalam Hukum Taurat?

Kita semua tahu bahwa dalam dunia sekuler sedang gencar-gencarnya memperjuangkan apa yang sangat populer dengan istilah HAM – Hak Asasi Manusia – baik dengan cara damai melalui perundingan maupun dengan melakukan demonstrasi dan orasi politik bahkan lebih cenderung dengan menggunakan kekerasan fisik (tindakan anarkis).

Hak adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan dan dipertahankan dengan cara dan taruhan apa pun. Orang akan menjadi nekat melakukan tindakan ofensif (menyerang) bila hak-haknya tidak diberikan atau dirampas. Hak seseorang sangat berhubungan atau dapat dikatakan menyatu dengan harga dirinya. Jadi, kalau haknya dirampok atau dialihkan tanpa sepengetahuan atau persetujuannya maka itu sama artinya harga dirinya diinjak, dilecehkan dan dihina. Jika hal ini terjadi terus-menerus bisa memicu tindakan kriminal.

Tuntutan atas perolehan hak seseorang tidaklah selamanya disebabkan oleh telah terpenuhi kewajiban-kewajibannya. Ada orang yang harus menerima haknya tanpa melakukan kewajiban apa pun karena itu adalah hak warisnya atau bagian dari suatu wasiat yang telah ditetapkan atas namanya. Biasanya ini berlaku dalam lingkup keluarga atau jaminan asuransi.

Bayangkan saja, sedangkan orang yang tidak pernah menunaikan kewajiban-kewajibannya pun dapat menuntut hak-haknya apalagi mereka yang telah penuh rasa tanggung-jawab menjalankan segala kewajiban yang disodorkan. Dilematis memang masalahnya. Bila Anda kurang bijak dalam memutuskan perkara ini maka bisa dituduh semena-mena, tidak adil dan bisa terjadi bencana kemanusiaan.

Konflik antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban sering menjadi polemik berkepanjangan hingga memicu tindakan anarkis (kriminal). Pemerintah dengan aparat keamanannya pun dibuat bingung dan kewalahan mengatasinya. Terdapat cukup banyak produk undang-undang dan atau peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur hak dan kewajiban warga negaranya.

Ironisnya justru ketimpangan menyolok hampir tak teratasi – antara pemenuhan kewajiban dan perolehan hak – terjadi dalam lingkungan organisasi gereja yang rohaniah. Pembenaran diri menjadi warna dominan disekitar meja perundingan para abdi Allah. Alasan-alasan yang nampak logis subyektif pun dikumandangkan hanya untuk menjaga eksistensi pelayanan di zona ekonomi eksklusif guna mengantisipasi terjangan “gelombang panas” tuntutan pemenuhan ekonomi pribadi dan keluarga yang kian meningkat di era globalisasi saat ini. Bila demikian keadaannya maka “hukum rimba” adalah pilihan jitu bagi mereka dengan pola hidup kapitalis materialis. Para pelayan “akar rumput” yang tak berdaya – mungkin juga sering diperdayakan – akan digilas oleh kerasnya roda kehidupan, hampir tanpa perlawanan. 

Mengapa begini dan mengapa begitu? Kemanakah hak-hak atas segala kewajiban yang telah dengan taat dan setia dilaksanakan? Apakah Tuhan yang harus dipersalahkan karena pilih kasih dan memihak ataukah semata-mata dikarenakan ketamakan manusia yang tidak rela berbagi hasil dengan mereka yang memang berhak atasnya? Gereja akan pusing lebih dari tujuh keliling menjawabnya. Tapi, ooopss…. Jangan keburu pusing dulu. Mari lanjutkan …. bacaannya.


berrsambung ... PARTISI 1 👉C.   KELANJUTAN PELAYANAN DALAM TABERNAKEL



0 comments:

Posting Komentar