Halaman

Selasa, 25 November 2025

💰PERSEPULUHAN 👉 ALKITABIAH TAPI TIDAK INJILI [PREAMBUL]📕

    Kata persepuluhan atau perpuluhan atau sepersepuluh dalam aplikasinya telah diajarkan gereja kepada jemaat. Walau tidak ada kata sepakat dari para Teolog, Gembala, Ketua Jemaat, Pastor, Bishop dan atau mereka yang berkompeten di dalamnya tentang standarisasi perhitungan baku, – rumus perhitungan persepuluhan yang berlaku universal – jemaat atau perorangan telah dengan taat dan setia melakukannya.
    Implementasi perhitungannya sangat bervariasi tergantung pada apa yang sering diajarkan gereja dan pemahaman pribadi. Ada orang yang menyisihkan perpuluhan dari seluruh pemasukan bruto atau apa saja yang diperolehnya, baik dengan berjerih payah maupun yang diterima sebagai suatu hadiah atau pemberian gratis – dalam bentuk materil seperti uang, sandang, pangan, papan. Ada yang agak berlebihan pemahamannya, menghitung perpuluhan dari waktu – (1/10 x 24 jam) – dalam sehari. Masih ada lagi yang spektakuler, luar biasa, telah lebih dahulu menyetor perpuluhannya sebelum mendapat upah kerjanya atau hasil atas usahanya. Mereka yang lain menghitung perpuluhan dari Kredit Berjangka yang baru saja diluluskan proposalnya oleh bank “Anu”. Sementara itu ada sekelompok orang malah kebingungan dengan berkat-berkat jasmaniah material yang tidak sempat tercatat karena melimpahnya sehingga wajib atau harus menyisihkan “lebih” – dengan dasar hitungan kira-kira – berlabelkan tindakan iman untuk persepuluhannya. Perhitungan perpuluhan “kira-kira” ini ada untung-buntungnya. Jika “kira-kiranya” lebih besar dari total pemasukan maka pihak penerima “diuntungkan” sedangkan pemberinya jadi tekor saldo. Sebaliknya, jika perkiraannya lebih kecil dari seluruh pendapatan maka giliran pihak penerima yang kebingungan, mengira dan merasa – biasanya mulai curiga – kalau si pemberi salah hitung (lebih lunak dari “tidak jujur”), ada masalah keuangan atau ada apa ya…? Sedangkan pihak pemberinya tetap merasa bahwa itu adalah suatu kewajiban sebagai anggota jemaat yang taat. Paling radikal, ada satu-dua jemaat Tuhan yang melakukan kebalikkannya – 90% untuk “perpuluhan” dan 10% untuk dirinya. Wow …. Mencengangkan dan sekaligus membingungkan.
    Buku praktis, edisi revisi ini tidaklah diterbitkan untuk mencari popularitas sesaat ataupun sensasi teologis komersil. Setelah edisi perdana yang menghabiskan waktu lebih dari lima tahun mempersiapkan materi penulisan dengan mengadakan penyelidikan pustaka, melakukan observasi di tempat-tempat pelayanan, menerima beberapa informasi lisan dari para praktisi, untuk edisi revisi ini pun menyita waktu hampir 3 tahun. Dan pada awal tahun 2013 , saya benar-benar terdorong untuk memulai lagi karya tulis rohani ini setelah terlibat aktif berdiskusi di dunia maya dan juga di dunia nyata sejak tahun 2009. Inti diskusinya seputar, “apakah masih relevan memberi persepuluhan di masa Perjanjian Baru atau zaman gereja mula-mula hingga sekarang? Bukankah persepuluhan hanya diberlakukan untuk keduabelas suku bangsa Israel dalam Perjanjian Lama atau Taurat Musa ketika mengadakan ibadah berjemaah dalam Bait ALLAH? Mengapa 4 jawatan (Rasul, Nabi, Penginjil, Guru) tidak berhak atas persepuluhan? Mengapa jawatan Gembala mengklaim diri sebagai yang berhak atas persembahan persepuluhan dari jemaat? Dan beberapa pertanyaan lainnya. Ada satu pertanyaan klasik yang belum bisa dijawab seragam hingga saat ini adalah pertanyaan yang pernah disodorkan kepada para responden (Gembala Sidang Jemaat) dalam sebuah kuesioner penelitian dari Samuel Zakka,SE,MM (ketika beliau masih mahasiswa pasca sarjana) dengan judul “PARADIGMA JEMAAT MASA KINI TENTANG PERSEPULUHAN”. Isi kuesioner antara lain mempertanyakan :
    Mohon pendapat Bapak/Ibu tentang cara menghitung “persepuluhan” yang sebenarnya menurut logika, sesuai beberapa alternatif berikut :
a. 10% dari gaji/pendapatan (sebelum dikurangi pajak).
b. 10% dari gaji/pendapatan (sebelum dikurangi pajak tetapi setelah dikurangi angsuran pinjaman dan potongan lainnya).
c. 10% dari gaji/pendapatan (sebelum dikurangi pajak dan angsuran hutang/ lainnya).
d. 10% dari pendapatan (setelah dikurangi pajak).
e. 10% dari pendapatan (setelah dikurangi pajak tetapi sebelum dikurangi angsuran pinjaman dan potongan lainnya.
f. 10% dari gaji/pendapatan (setelah dikurangi pajak dan angsuran hutang/ lainnya).
    Saya menyadari bahwa isi buku ini akan berekses pada perjalanan kehidupan rohani Anda yang sedang membacanya – terutama pada mereka yang “memperoleh” kelimpahan berkat dari persepuluhan sesuai Maleakhi 3:10 dan mereka yang kesulitan untuk “membayarnya” karena berbagai alasan logis dan psikologis.
Ini adalah buku kontroversi yang bisa membuat Anda tersinggung, marah, cemas, gelisah dan menggeliat di zona aman demi mempertahankan status quo dan paradigma primordial. Tapi jujur saja, saya tidak pernah bermaksud “membingungkan” dan atau “menyesatkan” Anda dalam hal ini. Saya hanya ingin agar kita semua secara cermat menyelidiki kebenaran Firman Allah seperti apa adanya dan bukan “ada apa-apanya”.
    Buku ini ditulis atas dasar telaah konstruktif terhadap teologi biblika sebagai “cabang ilmu teologi yang secara sistematis mempelajari perkembangan penyataan Allah dalam sejarah sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab.” Teologi biblika menyelidiki periode sejarah dimana Allah telah menyatakan diri-Nya atau penekanan doktrinal dari penulis-penulis Alkitab yang berbeda dan kemudian disusun secara sistematis.
    Teologi biblika menaruh perhatian pada peristiwa penting dalam sejarah yang menyatakan doktrin-doktrin Alkitab. Jadi natur dari teologi biblika adalah eksegetikal, yaitu mempelajari doktrin-doktrin dari berbagai periode sejarah atau mempelajari kata-kata dan pernyataan-pernyataan dari penulis-penulis tertentu.
Meskipun bukan tujuan dari teologi biblika untuk memberikan pembahasan yang rinci tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang penulisan, namun beberapa pembahasan sangat penting karena kesimpulan dari suatu penafsiran kadang-kadang berkatian secara langsung dengan studi tentang latar belakang penulisan.
    Teologi biblika penting dalam pencegahan mempelajari doktrin terlepas dari konteks sejarahnya. Dalam studi teologi sistematik, sangat mungkin untuk mengabaikan sama sekali konteks sejarah dari kebenaran doktrin; teologi biblika berusaha untuk menghindari hal itu dengan cara memberikan perhatian kepada konteks sejarah pada waktu doktrin itu diberikan.
Untuk itu, saya sangat menganjurkan, – lebih baiknya, menegaskan dan mendesak demi kebaikan dan kelengkapan pemahaman teologis Anda – “jangan pernah melewati satu kutipan pun dari referensi ayat-ayat Firman Allah yang terdapat dalam buku ini dan periksalah kembali dalam Alkitab kebenaran referensi ayat-ayat tersebut.” Sehingga pada akhir bacaan ini Anda akan dapat menarik kesimpulan obyektif yang konstruktif karena mengalami perubahan paradigma dari primodial menjadi pragmatis dinamis sesuai kehendak Firman Allah dan mengaplikasikannya sebagai suatu bentuk tindakan iman yang progresif dalam perjalanan hidup kerohanian Anda.
    Melalui tulisan ini, marilah kita secara dewasa rohani merenungkan kembali, menalar, menelaah dan mengadakan evaluasi ataupun penilaian obyektif terhadap masa berlaku sebuah hukum, peraturan dan ketetapan yang tertulis dalam Alkitab kita.
Kristus mau supaya kita semua – orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya – bertumbuh kearah kesempurnaan-Nya. Kita harus naik kelas kehidupan rohani. Apa-apa yang tercatat dalam Perjanjian Lama merupakan blue print atau pilot project yang melatih dan mengarahkan kita menjadi “a new creation in Christ” (ciptaan baru dalam Kristus) pada Perjanjian Baru, seperti yang tertulis dalam kitab Galatia 3:24-25,
“Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun.”
Perlu Anda tahu saya sungguh tidak bermaksud memicu polemik teologis apalagi debat kusir emosional tanpa sasaran dengan mengajukan alasan-alasan yang sengaja dicari-cari dan tidak rasionil yang terdapat dalam buku ini. Sungguh, saya hanya ingin memaparkan kebenaran Injil Yesus Kristus yang selama ini sengaja ditutupi di bawah gantang pemahaman teologi tradisionil tentang persembahan persepuluhan.
    Mengacu dari penegasan referensi ayat yang terkutip di atas berikut ini saya sampaikan beberapa alasan logis-teologis menurut Injil, perlu tidaknya penerapan aturan persepuluhan di masa-masa akhir pelayanan gereja menjelang kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya.
    Semoga Anda tertarik untuk terus bertambah dan bertumbuh kearah kedewasaan penuh dalam kebenaran Firman Tuhan.

bersambung ... PARTISI SATU ....✍

0 comments:

Posting Komentar