Halaman

Rabu, 19 November 2025

EPISTEMOLOGI KEBENARAN

 


BISAKAH KEBENARAN DIKETAHUI ?

Diantara orang-orang Kristen ada berbagai macam kepercayaan tentang bagaimana dan seberapa banyak kita bisa mengenal kebenaran terutama kebenaran tentang Allah. Namun jika apa yang kita bahas sejak ini benar, hanya satu dari posisi ini yang sungguh-sungguh masuk akal.


AGNOSTIKISME/SKEPTISISME

Ada perbedaan besar antara agnostikisme dengan skeptisisme tetapi jawaban untuk keduanya hampir sama. Agnostikisme mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang bisa diketahui, tetapi skeptisisme hanya mengatakan bahwa kita harus meragukan apakah sesuatu bisa diketahui.

Skeptisisme muncul lebih dahulu, tetapi ketika Immanuel Kant membaca keraguan David Hume tentang pengetahuan absolut, ia memutuskan untuk membawanya satu langkah lebih maju, dan menyangkal semua pengetahuan tentang realitas. Sesungguhnya kedua pandangan ini menyangkal dirinya sendiri. Jika Anda tahu bahwa Anda tidak tahu apa pun, paling tidak Anda tahu sebanyak itu. Tetapi itu berarti bahwa Anda memiliki pengetahuan positif tentang sesuatu dan Anda tidak perlu lagi menjadi seorang agnostik. Sama halnya, Anda mungkin mengatakan bahwa Anda harus meragukan segala sesuatu, tetapi Anda tidak meragukan itu. Maksudnya, Anda tidak meragukan bahwa Anda seharusnya ragu-ragu. Nah, jika ada sesuatu yang bisa Anda yakini [bagi orang skeptis] atau sesuatu yang bisa Anda ketahui [bagi orang agnostik], mungkin ada hal-hal lainnya juga, dan posisi Anda terbukti salah.


RASIONALISME

Rasionalisme bukan sekadar pandangan yang mengatakan bahwa kita menggunakan alasan untuk menguji kebenaran. Rasionalisme mengatakan bahwa kita bisa menentukan semua kebenaran melalui logika. Ia mengatakan bahwa kita bisa secara rasional membuktikan eksistensi dan sifat Allah. Bagi rasionalis, tidak ada permintaan bukti yang bisa menggulingkan demonstrasi logika. Itulah sebabnya mengapa Spinoza, setelah membuktikan bahwa semua realitas bisa disatukan dalam makhluk absolut untuk kepuasannya sendiri, menyangkal bahwa apa pun dalarn dunia memiliki eksistensi terlepas dari Allah, atau bahwa ada kehendak bebas. Itulah sebabnya mengapa Leibniz berpendapat bahwa dunia ini merupakan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin ada, tidak masalah seberapa buruk keadaannya. Ia diyakinkan melalui rasionalisme bahwa hanya kebaikan terbesar yang bisa ada. Semua kebenaran secara logis perlu bagi rasionalis. 

Problem besar dengan rasionalisme adalah bahwa ini merupakan puri yang dibangun di udara yang tidak mempunyai kaitan dengan realitas. Ia menyimpulkan - tetapi tidak membuktikan - bahwa hal yang tidak dapat dihindari secara rasional adalah nyata. Sesungguhnya, dalam semua rasionalisasi logisnya?, ia tidak pernah membuktikan bahwa apa pun yang nyata ada. Satu-satunya jalan bahwa rasionalisme bisa mengatasi kelemahan ini adalah dengan berhenti menjadi rasionalisme dan mulai menerima beberapa bukti empiris. Selain itu, eksistensi saya sendiri sesungguhnya tidak bisa disangkal, tetapi ia tidak harus perlu secara logis.

Tidak ada sesuatu dalam eksistensi saya yang bahkan menyiratkan bahwa saya, atau apa pun hal lainnya, harus ada, namun rasionalisme mengatakan, sekali lagi tanpa bukti yang kuat, bahwa hal ini secara logis perlu.

Akhirnya, ketika rasionalisme berusaha membuktikan prinsipnya sendiri untuk memberikan pembuktian untuk dirinya sendiri, ia gagal dengan meragukan. Usaha ifu sendiri sia-sia karena setiap orang sejak Aristoteles sampai saat ini setuju bahwa prinsip-prinsip pertama tidak bisa dibuktikan; mereka harus benar melalui pembuktian sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Jika tidak Anda harus terus menjelaskan untuk selamanya. Tetapi rasionalis gagal lagi dalam hal mereka tidak setuju dengan prinsip-prinsip pertama. Beberapa berakhir dengan panteisme, beberapa dengan teisme, beberapa dengan allahisme terbatas, tetapi tidak ada yang dengan alasan yang perlu secara rasional, yang mereka klaim akan membuktikan keyakinan mereka.


FIDEISME

Fideisme berpendapat bahwa satu-safunya jalan kita bisa mengenal sesuatu tentang Allah adalah iman. Kebenaran bersifat subjektif dan personal, jadi kita bisa mempercayainya tetapi tidak bisa membuktikannya. Tidak ada bukti rasional atau bukti empiris yang bisa menuntun kita pada pengetahuan tentang Allah. Kita harus percaya bahwa apa yang Ia katakan dalam firman-Nya dan dikerjakan dalam hidup kita benar. Akhirnya, seperti kata-kata himne kuno, “Anda bertanya bagaimana saya tahu Ia hidup; Ia hidup dalam hatiku." Soren Kierkegaard adalah juru bicara pandangan ini.

Soren Kiekegaard. bapak eksistensialisme, menulis esai dengan judul Truth is Subjectivity. Ia prihatin bahwa, jika kekristenan hanya diterima sebagai sekumpulan dalil, hal itu tidak akan menuntun seseorang ke dalam hubungan dengan Allah. Sebab itu, ia tidak berfokus pada kebenaran objektif tentang iman, tetapi ia menekankan bahwa itu benar bagi seseorang atau tidak benar sama sekali. Iman "bahwa" sesuatu benar dilampaui oleh iman "terhadap" sesuatu.

“Tetapi definisi di atas untuk iman merupakan ungkapan yang sama untuk iman. Tanpa risiko tidak akan ada iman. Iman tepatnya adalah kontradiksi antara keinginan dalam diri seseorang yang tanpa batas dengan ketidakpastian obyektif. Jika saya bisa memahami Allah secara obyektif , saya tidak akan percaya, tetapi karena saya tidak bisa melakukan ini saya harus percaya. Jika saya ingin mempertahankan diri saya tetap beriman, saya harus terus-menerus bersungguh-sungguh berpegang erat pada ketidakpastian obyektif, seperti halnya tetap berada di luar lautan dalam, di atas tujuh puluh depa air, dan tetap mempertahankan iman saya." [Kiekegaard's Concluding  Unscientific Postscript, terj. oleh David E Swenson [Princeton: Princeton University Press, 1963], hlm, 182.]

 

Sekarang kita tentu saja tidak ingin merendahkan pentingnya iman. Sesungguhnya, kita sering kali mengutip frasa Agustinus, "Saya percaya supaya saya bisa mengerti." Selain itu, argumen logisnya tentu saja bukan dasar dari komitmen keagamaan. Namun, fideisme telah memberikan jawaban yang benar untuk alasan yang salah. Kita tidak bisa mulai dengan asumsi bahwa Allah ada dan telah menyatakan diri-Nya dalam Alkitab dan berkarya dalam hidup umat-Nya. Itu adalah hal-hal yang dipertanyakan oleh orang-orang yang tidak percaya.

Problem utamanya adalah bahwa fideisme tidak mengetahui perbedaan antara keyakinan terhadap dan keyakinan bahwa. Fakta dan bukti logis bisa membantu kita percaya bahwa Allah ada, Alkitab adalah firman-Nya, dan sebagainya, tetapi hal itu tidak bisa membuat kita menyerahkan hidup kita kepada kebenaran itu. Komitmen adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan. Penganut fideisme hanya melihat yang belakang dan mengabaikan perlunya yang di depan. Sebab itu, mereka tidak membuat perbedaan antara dasar keyakinan kepada Allah [kebenaran firman-Nya] dan dukungan atau jaminan untuk keyakinan itu. Mereka menuntut orang untuk percaya kepada Allah tanpa membiarkan mereka terlebih dahulu memahami bahwa ada Allah yang bisa dipercayai [lihat Ibr. 11:6].

Di samping itu, jika hanya iman satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran, mengapa kita tidak percaya kepada Al-Quran atau Kitab Mormon? Fideisme tidak sungguh-sungguh berusaha untuk membenarkan kepercayaan tertentu, jadi kita bisa memercayai apa pun yang kita inginkan. Hasil bersihnya adalah fideisme sungguh-sungguh tidak membuat klaim kebenaran. Ia harus menawarkan cara untuk menguji kebenaran sebelum ia bisa membuat klaim kebenaran. Karena ia tidak memiliki penguji untuk kebenaran, ia tidak bisa sungguh-sungguh membuat klaim apa pun bahwa ia benar. Bahkan ia juga tidak berada di pasar untuk menekankan bahwa klaimnya benar. Nah, jika seseorang tidak mulai menawarkan penjelasan atau pembelaan mengapa ia menjadi penganut fideisme, ia akan berhenti menjadi penganut. Pada saat ia menawarkan sesuatu selain "Percayalah," sebagai pendukung untuk posisinya, ia berhenti menjadi penganut fideisme dan mulai menggunakan keyakinan yang bisa dibenarkan. Fideisme tidak membuat klaim kebenaran atau ia menyangkal dirinya sendiri. Yang manapun pilihannya, itu tidak akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana kita bisa mengenal tentang Allah.


REALISME

Pandangan terakhir mengatakan bahwa kita bisa mengenal sesuatu tentang Allah. Pandangan yang lain tidak konsisten atau menyangkal dirinya sendiri. Pandangan ini bisa bertahan. Kita tidak bisa mengetahui segala sesuatu [rasionalisme], sebab tidak ada cara bagi pikiran yang terbatas untuk memahami semua tentang makhluk yang tidak terbatas.

Tetapi kita tahu sesuatu karena agnostikisme menyangkal dirinya sendiri. Ini adalah pandangan yang masuk akal dan realistis. Tetapi pertanyaannya masih, Bagaimana kita bisa mengetahui apa yang kita ketahui tentang Allah. Dan itu adalah pertanyaan yang akan kita bicarakan.


💥Sola Scriptura💥

0 comments:

Posting Komentar