Suatu keadaan dimana Anda tidak berhasil atau gagal memperoleh, mencapai, menjangkau, meraih sesuatu yang merupakan tujuan Anda yang sudah dirancangkan dengan matang dalam suatu kurun waktu tertentu dan atau pribadi yang diharapkan dapat membantu, menolong Anda, yang dapat memuaskan keinginan, kerinduan atau pengharapan Anda, – kiranya Anda sepakat – dinamakan kecewa. Kekecewaan – dalam bentuk kata benda – bukanlah menunjuk pada apa yang sementara terjadi, melainkan mengekspresikan bagaimana reaksi kita terhadap yang telah terjadi.
Dalam keseharian, kita dapat melihat, mereka yang melaksanakan transaksi bisnis atau mengimani sesuatu hal, tetapi ternyata pada minggu berikutnya semua yang mereka harapkan tidak terjadi persis sebagaimana yang diharapkan. Kita juga dapat melihat orang-orang yang kecewa di lingkungan terdekat seperti dalam keluarga, tetangga, atau bahkan antar hamba-hamba TUHAN dan jemaat. Seorang suami menjadi kecewa dengan istrinya karena tidak becus mengurus rumah tangga atau sebaliknya istri bisa kecewa karena suami yang hanya bisa memberi nafkah pas-pasan tetapi punya kebiasaan main judi, mabuk-mabukan dan lebih menyakitkan punya “WIL” (wanita idaman lain). Anak-anak bisa sangat kecewa terhadap orang tua karena memperlakukan mereka seperti “binatang piaraan kesayangan” dalam “kandang emas” bergelimang harta dan kemewahan tanpa kasih sayang dan keteladanan moral yang seharusnya mereka terima.
Kekecewaan yang mendalam dapat membuat orang menjadi murtad. Saya sudah melihat lebih banyak orang murtad karena kecewa daripada karena alasan lainnya. Beberapa dari mereka yang kecewa berkata, “wah, kalau itu yang namanya pendeta, aku rasa segala sesuatu yang menyangkut agama itu hanyalah sampah belaka.” Saya sudah bertemu orang-orang yang sangat kecewa terhadap para pendeta dan orang Kristen lain sehingga mereka berbalik dan tidak mau ikut TUHAN Yesus Kristus lagi. Saya pun sudah sering berjumpa dengan orang-orang yang karena dosa-dosanya sendiri menjadi kecewa terhadap segala sesuatu dalam kehidupan ini. Beberapa orang lain berkata, “andaikata saja pada waktu itu aku tidak berzina …. Perbuatanku itu telah menghancurkan pernikahanku, merusak keluargaku dan menyakiti hati anak-anakku.” Dosa akan menghancurkan Anda. Untuk sesaat mungkin itu menyenangkan, tetapi setelah itu Anda akan dihancurkan dan dibunuhnya.
Zaman ini pantaslah disebut zaman “abu-abu” atau “bunglon”, dimana sulit dan memang sangat sukar untuk membedakan pencuri dan “pencuri” (dalam tanda petik adalah yang berdasi, berpendidikan, berpangkat dan berada di tempat-tempat strategis sebagai pemegang jabatan); hamba TUHAN dan “pendeta” (yang sekarang suka berpolitik praktis dan bermain-main dengan mamon – Lukas 16:13); kristen (yang tertera di KTP) dan mereka yang hidup dalam hawa nafsu duniawi, selanjutnya sebut saja beberapa contoh lain yang sempat Anda lihat ataupun mungkin pernah dialami. Banyak orang beriman yang baru mulai bertumbuh, menjadi tergoncang dan sangat kecewa ketika mendengar atau pun menyaksikan anutannya yang sering berdiri di mimbar kudus menyampaikan khotbah-khotbah profetik ikut berkubang dalam perilaku amoral yang menjijikkan.
Saya pernah merasakan kekecewaan yang sengaja (karena saya tahu bahwa mereka yang melakukannya tahu persis kebenaran Firman YESUS) di sodorkan oleh gereja (mungkin lebih tepatnya, mereka yang notabene adalah pelayan TUHAN yang selalu mengatas-namakan pelayanan gereja) ketika saya masih duduk di bangku SMP di kota Ba’a, pulau Rote, propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada awal tahun 1980-an, terjadi kudeta pelayanan terhadap “opa” (orang tua dari ibu), Pdt. Samuel J. Messach yang pada waktu itu adalah Gembala Sidang Jemaat GPdI-Ba’a, – beliau juga adalah pionir GPdI di Nusa Tenggara Timur. Peristiwa ini menyebabkan terpecah-belahnya keluarga besar kami dan menoreh luka batin yang dalam – juga penyebab utama luka spiritual bagi saya. Waktu itu, saya, yang masih remaja, sedang giat-giatnya membantu tante Temmy (adik dari ibu), yang menjadi Gembala GPdI di desa Ndudale dengan jumlah jemaat yang tidak seberapa. Kami harus berjalan kaki lewat tepian pantai laut kemudian sedikit mendaki, kurang lebih 1 jam setiap minggu untuk menjangkau desa tersebut.
Masalah ini akhirnya dibawa ke tingkat Majelis Pusat karena Majelis Daerah gagal mengatasinya. Namun ternyata, induk organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia berpusat di Jakarta yang menjadi tumpuan akhir penyelesaian masalah ini, malah “melegalkan” aksi pengkhianatan pelayanan tersebut dengan meresmikannya sebagai sidang jemaat GPdI yang baru. Sejak saat itu, saya anggap semua pelayanan di GPdI adalah sampah, akal-akalan, munafik dan mengandung tipuan rohani. Walau masih ke gereja, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa kami bukanlah keluarga kafir atau murtad. Ayah saya, tenggelam dalam kekecewaan lebih dari satu dasawarsa.
Pertengahan tahun 1983, saya hijrah ke Kupang, ibukota propinsi untuk melanjutkan sekolah. Di kota inilah, saya bebas melakukan keinginan daging dan bahkan ketika orang sementara beribadah saya dan teman-teman ke pastori (yang hanya bersebelahan dengan gedung gereja) untuk mencuri persediaan makanan. Gereja adalah tempat janjian untuk ketemu pacar atau mencari “korban” lainnya.
Bagi saya, gereja adalah kumpulan orang munafik yang tidak jauh berbeda dengan saya. Para pendeta, biangnya. Mimbar dijadikan masker yang sering meloloskan kejahatan mereka yang berdiri di atasnya.
Manado, kota terakhir tujuan studi saya, lebih memperburuk kondisi iman saya. Untuk pertamakalinya datang di kota ini, saya langsung dimasukkan ke asrama GPdI El-Shaddai, Sario, berbekal sebuah surat pengantar dari Gembala GPdI Kalvary, Kupang, pada bulan Juli tahun 1986. Asrama yang ketat aturan itu, tidak mampu merubah karakter saya, bahkan ironisnya hanya setahun saya bisa bertahan di sana. Saya dikeluarkan oleh bapak Gembala, almarhum, tahun 1987 karena berbagai pelanggaran terhadap peraturan asrama. Peristiwa ini menambah perbendaharaan kekecewaan terhadap gereja. Ternyata, gereja tempat saya sering mendengar khotbah pengampunan tidak bisa memberi pengampunan kepada saya. Maka, – sudah bisa dipastikan – bahwa hidup bebas tanpa batas di luar asrama gereja dan jauh dari teriakan khotbah pertobatan, memantapkan ambruknya iman saya – mungkin lebih tepat, telah terjadi kehilangan iman. Hal ini diperkuat dengan kegagalan akademis yang menyakitkan dan – sekali lagi – mengecewakan. Saya gagal memenuhi harapan orang tua untuk bisa menjadi seorang sarjana dengan latar belakang disiplin Ilmu Politik dan Pemerintahan yang dapat membanggakan mereka karena ulah dua orang dosen (parahnya keduanya sepayung organisasi gereja dengan saya, bahkan seorang di antaranya diaken) yang secara sangat subyektif, tidak meluluskan salah satu mata-kuliah penentu sebelum KKN, tahun 1990. Akibatnya, saya beberapa kali menjadi pasien rawat jalan pada dokter ahli syaraf yang ada di Manado karena sangat kecewa.
Kekecewaan yang mendalam merupakan pemicu utama dari penolakan, keputusasaan, dan berbagai kegagalan hidup lainnya. Tapi, mengapa saya dikecewakan – Anda juga mungkin bertanya demikian – oleh orang-orang baik dalam gereja? Orang-orang yang seharusnya kita contohi dan teladani dalam keseharian berbalik menjadi bumerang yang merobek keutuhan iman yang selama ini dibangun dan dijaga. Tidak bisakah mereka yang jauh lebih berohani dan beriman dari saya menjaga pengajaran dan perbuatan mereka supaya seimbang (baca I Tim. 4:16) sehingga tidak merusak pertumbuhan iman saya yang baru sebesar biji sesawi? Pertanyaan selanjutnya yang lebih beresiko adalah mengapa TUHAN membiarkan mereka melakukan hal-hal tersebut? Ataukah saya memang sedang dalam posisi kekecewaan ganda – kekecewaan terhadap manusia dan YESUS, sang Pencipta yang Mahakuasa?. Anda pun tidak boleh berdusta tentang yang terakhir ini; kekecewaan terhadap TUHAN.
Kekecewaan terhadap YESUS merupakan resiko tertinggi dan yang terakhir dari semua bentuk penyebab kekecewaan kita. Penulis buku terlaris, “Kekecewaan Terhadap YESUS” (Disappointment With God), Philip Yancey, mempergunakan semacam hak interpelasi – hak bertanya dalam sidang parlemen/dewan mengenai kebijakan pemerintah – dengan mengajukan beberapa pertanyaan, yang jika memungkinkan, TUHAN-lah yang harus menjawabnya :
👉1). Apakah YESUS tidak adil ❓
👉2). Mengapa YESUS tidak menjelaskan ❓
👉3). Apakah YESUS membisu ❓
👉4). Mengapa YESUS tidak turut campur tangan ❓
👉5). Mengapa YESUS tersembunyi ❓
👉6). Dimanakah YESUS saat kita menderita secara emosional ❓
👉7). Mengapa Ia begitu sering mengecewakan kita ❓
Rasa kecewa terhadap YESUS bukan hanya terjadi didalam keadaan yang dramatis saja. Hal ini bisa juga muncul dalam keseharian kehidupan kita. Saya teringat, saat kami bertiga (saya, istri dan Kheren, anak semata wayang kami) akan ke Amurang untuk menghadiri pesta pernikahan keluarga yang acaranya pada jam 13.00 WITA. Hari itu memang sedang hujan lebat; kami singgah di SPBU Tateli yang jaraknya beberapa kilometer dari kota Manado. Selesai mengisi BBM, mobil kami tiba-tiba mogok. Saya kebingungan. Tidak ada yang datang membantu. Saya berusaha sebisanya karena kurang paham seluk beluk mesin mobil, tapi hasilnya nihil. Jam-jam pesta pun semakin mendekat dan terus lewat meninggalkan kami sekeluarga di lokasi SPBU, dan saya hanya bisa mengharapkan mukjizat kecil untuk membuat mesin hidup lagi supaya kami bisa pulang rumah. Ternyata, kami hanya bisa pasrah melewati kegelisahan jam makan siang, mengisi perut dengan manisan buah kedondong yang dijual disekitar SPBU tersebut. Namun sejauh itu, mereka yang nampak mondar-mandir sekitar kami tidak ada yang tergerak untuk menolong bahkan YESUS sendiri tidak terusik dengan rintihan kecemasan dalam hati kami.
Ini kenyataan. Kekecewaan kecil cenderung menumpuk sementara jarum jam terus berputar searah dan menenggelamkan iman kita dengan banjir lahar kebimbangan. Kita mulai mengajukan pertanyaan yang seharusnya tidak etis untuk dikemukakan, apakah YESUS peduli akan kejadian sehari-hari; peduli terhadap kita? Kita – Anda, saya dan teman-teman yang lain – tergoda untuk lebih jarang berdoa karena sebelumnya telah mengambil kesimpulan bahwa hal ini tidak akan menjadi masalah. Bila demikian maka emosi dan iman kita mulai goyah. Kita akan semakin tidak siap menghadapi krisis-krisis yang lebih berat jika sekali saja keragu-raguan seperti itu mulai meresap.
Pergumulan-pergumulan hidup sehari-hari yang tidak teratasi dapat menjadi penyebab menimbunnya rasa kecewa dan melelehkan bukit-bukit iman. Slogan-slogan penuh kemenangan tentang kasih YESUS yang sering kita dengar di gereja dilecehkan, saat tumpukkan kekecewaan telah melebihi daya tahan iman kita.
[lanjut... Part-1️⃣1️⃣]

0 comments:
Posting Komentar