Halaman

Selasa, 25 November 2025

CURAHAN KASIH KARUNIA 👉(Seri-1️⃣4️⃣)

 


HILANGNYA PENGHARAPAN


Fase terakhir dari gejolak problematika iman adalah hilangnya pengharapan atau menjadi tidak berharap lagi. Klimaks dari segala persoalan yang melilit perjalanan kehidupan seorang manusia adalah keputusasaan. Dua hal ini identik, tak terpisahkan. Geliat kekecewaan kronis pasti akan bermuara pada lenyapnya pengharapan akan kesembuhan ataupun pemulihan keadaan spiritual seseorang bahkan perputaran roda kehidupan telah berhenti sebelum waktunya. Bila demikian, maka iman hanya slogan tak berdaya, yang tak sedap di telinga yang sedang sekarat.

Bagaikan virus HIV, ia secara pasti menggerogoti dan mematikan semangat hidup yang pada akhirnya adalah kematian yang mengenaskan. Keputusasaan untuk berharap, sangatlah langka ditemukan obat penawarnya, sekalipun harus berhadapan dengan psikolog dan psikiater pada saat yang bersamaan. Dapat dikatakan sebagai “pembunuh rohani” kelas satu dengan kadar “racun” paling mematikan.

Sebuah kisah nyata dari negeri Paman Sam yang diterbitkan oleh Los Angelos Times bertajuk “Manusia Tersial di New York City”. Orang malang ini bernama Lawrence Hanratty. Ia hampir saja mati tersetrum listrik dalam suatu kecelakaan di sebuah tempat pembangunan pada tahun 1984. Selama berminggu-minggu ia terbaring dalam keadaan koma, sementara para pengacaranya berjuang untuk mendapatkan klaim asuransi kecelakaan – sampai salah seorang dari mereka dilarang melanjutkan praktik hukum dan dua lainnya meninggal dunia. Sang istri berselingkuh dengan pengacaranya dan pergi meninggalkannya.

Belum lama keluar dari rumah sakit, Hanratty kehilangan mobilnya dalam sebuah tabrakan yang mengerikan. Beberapa saat setelah polisi meninggalkan tempat kejadian kecelakaan, para penjahat kambuhan pun datang merampoknya. Kemudian, sebuah perusahaan asuransi memotong tunjangan kompensansi pekerjaanya dan si “malang” pun terpaksa angkat kaki karena diusir oleh pemilik tempat tinggalnya. Ia menderita depresi dan agorafobia. Ia memerlukan tabung oksigen untuk bernapas serta empat puluh dua pil setiap hari untuk mengobati penyakit jantung dan hatinya. Sungguh malang dan menyedihkan keadaannya.

Bisakah Anda berbicara tentang harapan setelah mengalami serangkaian malapetaka? Mampukah Anda menekankan hal positif dan menyingkirkan hal negatif selama masa-masa terburuk dalam kehidupan Anda? Walau para konselor sering berkata, “selalu ada pengharapan” tetapi sangat sukar dipercaya oleh mereka yang ada dalam kubangan lumpur permasalahan yang sedang mengantarnya pada keputusasaan. Patah semangat adalah suatu istilah lain dari hilangnya pengharapan seseorang ketika kegagalan dan kekecewaan sering menemaninya dalam menyusuri perjalanan hidup ini. Tawar hati merupakan sepupu dekat dari tumpukkan kekecewaan.

Sebuah kisah yang perlu diberi nilai merah kepada iman yang telah “tiada”, dapat Anda ikuti berikut ini.

Seorang wanita hampir paruh baya, mengirim “sms” ke HP saya ketika jalur interaktif pada salah satu radio swasta yang ada di kota Manado dibuka untuk pendengar setianya. Bunyi sms tersebut adalah, “pak, saya seorang pengusaha yang sudah empat tahun hidup bersama dengan seorang laki-laki bernama Randy – disamarkan – tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dia telah membuat surat perjanjian yang bermaterai bahwa akan menikahi saya. Dan sekarang saya minta supaya kami harus segera menikah karena saya menyadari bahwa apa yang kami lakukan selama ini adalah dosa. Tapi setelah dua minggu (dari pembuatan surat tersebut) ia melarikan diri. Saya mencari ke keluarganya tapi mereka melarang saya untuk bertemu dengannya dan berkata bahwa “Randy sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan kamu”. Apa yang harus saya perbuat? Saya sangat mencintai dia dan sudah banyak berkorban untuknya.”

Karena terbatasnya waktu siar dan juga kurang etis bila masalahnya ditangani lewat radio, maka saya minta waktu untuk langsung bertemu dengan pengirim sms tersebut. Esoknya, setelah kembali dari pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di kotamadya Bitung, saya bersama tim mampir ke rumahnya. Kami pun bertanya pada pelayan salon dan dia mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu sambil menunggu tuan rumah yang lagi dipanggil. Memang kami tidak salah masuk, tetapi saya ingat smsnya kemarin bahwa ia adalah seorang wanita pengusaha. Kesan pertama ketika melihat salon tersebut, timbul pemikiran bahwa usaha ini telah bangkrut atau paling tidak memiliki masalah keuangan yang sangat serius. Salon tempat usahanya digabung dengan rumah tinggalnya yang tepat berada dibelakangnya. Rumahnya cukup besar, berlantai dua, gabungan antara rumah adat Minahasa dan rumah modern. Tapi nampaknya tidak terawat – karena tentunya yang harus mendapat perawatan intensif sekarang adalah pemiliknya.

Dugaan saya tidaklah jauh berbeda dari kenyaatannya saat ia – sebut saja Keke – datang menemui kami dan mulai berkeluh kesah tentang keadaan rumah tangganya yang berantakan, kehidupan pribadi yang kacau dan usahanya yang tinggal tunggu waktu untuk pailit. 

Sebenarnya, Keke sudah pernah menikah dengan seorang suami keturunan India selama kurang lebih tiga belas tahun dan telah dikaruniai dua orang putra – saudara bisa bayangkan bagaimana gantengnya campuran Minahasa-India – tetapi saat kami bertemu, suaminya telah kurang lebih empat tahun meninggalkannya dan berdomisili di Jakarta.

  Sebagaimana lazimnya sebuah rumah tangga baru, awalnya rumah tangga mereka baik-baik saja. Tetapi setelah anak kedua mereka lahir, peringai suaminya berubah drastis. Ia mulai berlaku kasar, suka keluar malam dan pulang pagi, mulai punya wanita simpanan, tidak lagi peduli dengan keluarga, tidak mau lagi ke gereja. Pukulan dan bantingan sudah menjadi “makanan” yang tidak bisa dihindari Keke kalau suaminya lagi marah. Berulang kali masuk-keluar rumah sakit karena siksaan fisik. Pernah dibanting dari atas anak-tangga yang menuju lantai dua rumah mereka sehingga menyebabkan tulang belakangnya retak. Tetapi bukan cuma siksaan fisik yang dialaminya, siksaan batin pun tidak kalah sadis dan menjijikkannya. Maaf, saya harus terus terang menyampaikannya bahwa beberapa kali Keke memergoki suaminya sedang bercinta dengan wanita lain. Ia mengerahkan seluruh kemampuan hatinya untuk menerima pengkhiatan tak bernurani itu dan berusaha mengatasi dengan caranya sendiri. Sejauh itu, tidak ada seorang konselor pun atau pembimbing rohani yang dapat membantunya selain alkohol, rokok, narkoba, pub dan beberapa preman kampung yang menemaninya “melewati” saat-saat paling brutal dalam hidupnya.

Akhirnya, perceraianlah yang menjadi “pilihan tepat” untuk persoalan ini. Tetapi alangkah terkejutnya, seperti kilat yang menyambar di tengah teriknya matahari, ketika mengurus berkas perceraiannya di kantor Pencatatan Sipil, Keke mendapati bahwa namanya tidak pernah tercatat sebagai istri sah dari seorang suami asal India tersebut. Apa-apaan ini …? Sebuah sandiwara perkawinan berdurasi tiga belas tahun …? Setelah anak-anaknya bertumbuh dewasa …? Setelah “membayar harga” yang begitu amat sangat mahal? Setelah semuanya ….? Mengapa ini harus terjadi ? Dimanakah keadilan ? Dimanakah TUHAN ? Apakah Ia tidak melihat semua yang sepahit empedu ini?

Ternyata Keke baru saja menjalani dan melewati sebuah pernikahan maya hasil rekayasa suaminya – orang yang paling dikasihi seumur hidupnya –  yang bahkan hampir saja membunuhnya setelah menghancurkan harapan-harapan indah masa depan keluarga yang telah dibina dan dibangunnya selama ini. Sebuah bahtera rumah tangga yang telah berlayar mengarungi samudera kehidupan yang seakan tak bertepi selama tiga belas tahun telah karam dan hancur karena hantaman badai yang tak bernurani. Keke … telah tertipu oleh permainan cinta palsu. Tapi …, apa yang dapat dilakukan oleh seorang Keke menghadapi semua malapetaka ini? Tidak ada yang peduli; seorang pun tidak. Tidak tahu kemana ia harus pergi mencari keadilan dan memohon belas kasihan di negeri yang telah dengan sengaja meninggalkan supremasi hukum dan sepertinya telah pula mencoret kata “adil” dan “belas kasihan” dari kamus nuraninya. Bahkan, TUHAN pun mungkin telah tidak peduli lagi dengan keadaannya. Inilah yang disebut kepahitan ! Benar-benar pahit, tak terkatakan.

Bila sedemikian tragisnya kisah tersebut, mungkinkah kita dapat berpikir positif? Masih adakah iman yang tersisa walaupun itu hanya berupa serpihan biji sesawi? Keke sudah tidak peduli lagi dengan kehidupannya. Imannya sudah selesai. Titik. Gereja ….? Apa masih harus disebutkan juga bahwa telah datang dan pergi begitu banyak pendeta tanpa hasil? Bahkan beberapa diantara mereka yang setelah menerima “kolekte”, tidak pernah muncul lagi disaat yang paling dibutuhkan.

Ironisnya, ketika saya tanyakan merk gereja, Keke mengatakan bahwa ia adalah jemaat dari salah satu gereja Pentakosta yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahnya. Kemudian saya tanyakan siapa nama Gembala yang melayani di gerejanya, Keke menjawab tidak pernah tahu karena sudah sangat lama tidak pernah ke gereja. Apakah masyarakat sekitar tahu bahwa ibu adalah anggota jemaat dari gereja tersebut? Ia tidak langsung menjawab, tetapi ia mengatakan bahwa anaknya sering beribadah di gereja tersebut.

Ough … hampir saja saya melewatinya untuk Anda. Keke berasal dari keluarga hamba TUHAN – ibunya adalah seorang Gembala Jemaat, salah satu gereja Pantekosta di Surabaya. Ia sangat memahami apa artinya hidup kudus, taat dan setia selaku orang beriman. Ia dididik dalam lingkungan gerejawi yang penuh kasih dan kedamaian. Ibunya telah memberikan teladan untuk hidup selalu dekat dan bergantung pada TUHAN Yesus. Ada begitu banyak mukjizat dan penyataan TUHAN yang pernah dilihat dan dialaminya. Keke telah belajar percaya dan memiliki iman yang baik sebagai pengikut Kristus sejak masa sekolah minggu. Ia melakukan doa dan puasa secara teratur bahkan terlibat dalam beberapa pelayanan gereja. Ia mengalami pertumbuhan iman menuju kedewasaan rohani yang sesungguhnya – tentunya telah pula mengatasi dan melewati berbagai masalah yang menghadang. Yah, semuanya berjalan sebagaimana seharusnya sebelum prahara itu datang membantainya tanpa belas kasihan dan meluluh-lantakkan imannya.

Setelah “perceraian”, – dari pernikahan semu – Keke mengambil alih hak asuh atas kedua buah hatinya. Sebagai orang tua tunggal, dirasakan sangat berat. Ia harus menjalankan salonnya dengan tertatih-tatih – sebagai satu-satunya usaha yang bisa menopangnya – untuk membiayai pendidikan anak-anak.

Dalam keadaan yang terombang-ambing – setelah empat tahun perpisahan – datanglah seseorang memperkenalkan diri yang kemudian hari menjadi langganan tetap di salonnya. Waktu pun berpacu meninggalkan masa lalu yang tragis. Serpihan-serpihan hati yang berantakan mulai mengkristal dan membentuk harapan baru untuk hidup bersama dengan si “pelanggan salon” tetap, Randy, yang penuh perhatian dan lemah lembut. Sangat berbeda dengan suami pertama yang beringas. Selain baik, Randy juga punya pekerjaan tetap yang menjanjikan masa depan. Memang ada sedikit hambatan – tapi tidak terlalu mengusik – karena Randy bukanlah “perjaka tinting” yang sedang mencari jodoh. Randy adalah “jomblo cerai” menurut pengakuannya.

Bukan harta kekayaan dan warisan yang dikejar Keke tapi kehangatan kasih sayang yang tulus – hampir tidak pernah ia rasakan selama ini – yang didambakannya. Mungkin inilah orang yang tepat bagi Keke untuk membina lagi rumah tangganya. Namun, badai belum berlalu. Topan itu masih bertiup dengan kencangnya dan terus menghancurkan apa saja yang menghadangnya. Walaupun dihadapi dengan penuh cinta kasih.

Saya melanjutkan konseling dengan Keke di salah satu ruangan dari studio fitness, milik teman sepelayanan, selama hampir tiga jam, setelah kami mengikuti ibadah Sabtu pagi di restoran “DD”. Keke menunjukkan salinan surat perjanjian sepihak dari Randy dan bertanya, apakah bukti ini bisa dipakai untuk mendesak Randy menepatinya? Ia menambahkan bahwa usaha melarikan diri dari tanggungjawab ini telah dilakukan Randy sebanyak enam kali sebelumnya. Dan ini haruslah menjadi yang terakhir. Rupanya Keke sudah tidak mau ambil resiko yang terlalu berat baginya bila akhirnya ia ditinggalkan untuk selamanya.

Saya hanya bisa menjadi pendengar yang baik sambil sesekali memberi pendapat dan sedikit nasihat rohani. Saya mengatakan bahwa sebaiknya Keke mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan Randy apalagi mau memaksanya bertanggungjawab.

 “Ingat, ini sudah kali ke tujuh. Segeralah akhiri hubungan yang tidak dikehendaki TUHAN. Bertobatlah sungguh-sungguh dan serahkan masa depan anak-anak dan Keke sendiri ke dalam tangan TUHAN Yesus”, kata saya, berusaha meyakinkan dan menolongnya keluar dari kerangkeng masalah ini.

Keke sepertinya tidak terlalu serius menanggapi nasihat saya dan tetap melanjutkan ceritanya bahwa dua hari sebelumnya, ketika ia mendengar bahwa “pelarian” Randy berakhir di atas tempat tidur sebuah rumah sakit di Manado, Keke tergerak untuk membesuknya. Sekali lagi, badai itu masih cukup kuat untuk menghempaskannya. Hasilnya, Keke dipukuli oleh salah seorang anggota keluarga, disaksikan Randy yang sedang terbaring tak berdaya dalam keadaan diinfus. Saya katakan, sebenarnya Keke tidak perlu membayar harga yang terlalu mahal bila saja ia mau menuruti saran saya. “Sampai kapan petualang beresiko fatal ini akan dihentikan Ke’ ?”. Saya menasihati dia untuk memberi diri seutuhnya kepada Kristus dan mengajaknya bergabung bersama Yayasan kami, melayani TUHAN Yesus dan pekerjaan-Nya.

Terus terang, saya tidak bisa berharap banyak untuk suatu perubahan yang cepat pada pribadi Keke. Ia terus menghindar dan sepertinya takut untuk beribadah, mendekatkan diri pada TUHAN Yesus. Yang bisa saya dan tim pelayanan kami lakukan hanyalah terus-menerus mendoakannya. Hanya TUHAN Yesus yang sanggup menangani kasus seperti ini.

Keke mungkin berpikir bahwa dia sudah tidak layak atau pun sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk hidup yang lebih baik, dipenuhi cinta-kasih dan damai sejahtera. Imannya sudah patah, runtuh, tidak bisa diandalkan lagi.

 Bila ternyata, Anda pun memiliki kisah yang menyayat ini, bagaimana Anda menanggapi dan menemukan jalan keluarnya? Mungkin Anda akan mengunjungi sederetan tempat praktek para Psikolog dan Psikiater berpengalaman dan ternama atau bertanya pada Paranormal. Stop sebentar dan dengarkan saya, “Jangan putus asa; masih ada jawaban yang pasti kalau Anda masih mau melanjutkan ziarah ini”.

[lanjut... Part-1️⃣5️⃣




✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus

0 comments:

Posting Komentar