Halaman

Sabtu, 22 November 2025

CURAHAN KASIH KARUNIA 👉(Seri-4️⃣)


IMAN BIJI SESAWI


Implikasi iman dalam perjalanan hidup orang-orang yang memilikinya tidak hanya teraplikasi pada masalah keselamatan kekal. Iman harus tetap eksis sebagai sarana transportasi penerimaan berkat-berkat Allah lainnya. Iman juga dipergunakan untuk memahami kebenaran perkataan Firman Allah dan mengimplementasikan kebenaran itu dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Iman tidaklah boleh tetap dalam bentuk pistis, yang kebendaan dan bersifat pasif, tetapi haruslah berbentuk pisteύō / chāsah yang aktif progresif sehingga memungkinkan iman itu dapat bertumbuh dan menghasilkan buah.

Seseorang dapat saja mengatakan bahwa dia memiliki iman kristiani yang benar, tetapi jika ia tidak menunjukkan produksi iman yang aktif dalam kesehariannya maka sesungguhnya ia hanya memiliki iman pasif yang tidak bermanfaat.

Yakobus dengan sangat tepat menggambarkan seperti apa posisi iman yang harus dimiliki seseorang. 

Demikian juga halnya dengan iman : Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.

Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku."

Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? – Yakobus 2:17,18,20 –

Untuk membentuk kualitas iman para murid-Nya, Yesus memulainya dengan sebutan sebesar biji sesawi (seperti yang tercatat dalam Lukas 17:6) – maaf dalam pembahasan ini saya menggunakan “sekecil biji sesawi” untuk perbandingan. Pengandaian ini menunjukkan bahwa ketika menjadi orang percaya, kita tidaklah serta merta memiliki iman setinggi gunung atau sebesar buah kelapa tetapi dimulai dari iman sekecil biji sesawi.

Menurut pandangan inderawi, nampaknya kurang spektakuler dan tidak berdaya jika seseorang hanya memiliki iman sekecil ini. Kebanyakan kita – tidak mengapa kalau Anda pun termasuk pada kategori ini – ingin secara instan memiliki dan mempraktekkan iman yang menakjubkan – yang kebanyakan malah membingungkan – seperti, dengan mengatas-namakan iman yang teguh langsung menyembuhkan orang yang sedang sekarat oleh berbagai penyakit, mengatasi berbagai kesulitan ekonomi rumah tangga bahkan lebih membingungkan lagi, iman untuk memiliki rumah mewah dan segala perabotan di dalamnya secara spektakuler – kalau boleh hal itu sudah harus terjadi saat mengatakan “amin” pada penutupan doa.

Pada umumnya, setiap kita, – semoga Anda pengecualiannya – saat mengharapkan, membutuhkan ataupun mengingini sesuatu, – biasanya datang dari keinginan mata yang kuat untuk segera memiliki – suka menggunakan iman untuk menghemat waktu tunggu. Apalagi bila sedang dalam keadaan tertekan dan terjepit karena berbagai masalah ekonomi, kesulitan mencari pekerjaan, jenjang karir yang terhalang oleh ketatnya persaingan dan birokrasi atau oleh beberapa orang yang dengan sengaja merintanginya dan atau penderitaan fisik lainnya, iman sering “dibesar-besarkan” – walau hanya sedikit lebih besar dari biji sesawi – untuk mengatasinya sehingga terlepas dan terbebas dari himpitan yang menyesakkan rongga pernapasan. Penggunaan iman instan ini pernah terjadi dalam perjalanan kehidupan keluarga saya. 

Beberapa tahun yang lalu anak perempuan kami  yang semata-wayang – ketika itu masih di bangku SD kelas IV – mengalami serangan asma kronis. Memang, asma sering menyerangnya tetapi tidak separah ini. Diawali dengan batuk-batuk, suhu badan yang tidak stabil (kadang bisa mencapai 400C) selama beberapa hari membuat kami, suami-istri menjadi was-was. Padahal kami telah melakukan upaya pertolongan pertama sesuai dengan petunjuk dokter bahkan kami pun telah beberapa kali menghubungi dokter ahli anak untuk kasus ini. Biasanya setelah dibawa ke dokter, penyakit kambuhan anak ini langsung teratasi. Ya, kami – tentunya juga telah terus-menerus – berdoa untuk kesembuhannya. Namun mengapa belum ada tanda-tanda anak kami akan segera sembuh? 

Suatu hari, saat jadwal ibadah keluarga yang rutin dilaksanakan tiap minggu berjalan, kami, atas nama iman atau lebih populernya bertindak dengan iman, membawa anak ini ke tempat ibadah. Setelah ibadah, anak kami didoakan secara khusus oleh para hamba TUHAN yang ada. Saya pun menggunakan iman “biji sesawi” – yang saya tahu kalau cuma iman sekecil itu telah saya miliki – untuk menghalau penyakit asma yang sangat mengganggu anak ini. Doa orang-orang benar pun dinaikkan ke hadapan Bapa sorgawi. Amin… Mukjizat tetap belum terjadi.

Sepanjang perjalanan menuju rumah kontrakan, saya, dengan iman, katakan pada istri bahwa setibanya di rumah, pasti anak ini telah disembuhkan TUHAN. Setelah beberapa jam berada di rumah ternyata tidak terjadi perubahan apapun pada anak kami, bahkan keadaannya semakin parah dan memprihatinkan. Kami harus menunggu hingga lewat jam dua belas tengah malam dengan harapa bisa melihat suatu perubahan pada si cantik Kheren. 

Saya sudah tidak kuat lagi menahan rasa kantuk yang terus menekan mata ini untuk segera ditutup dan saya pun menyerah pada keadaan fisik yang sangat melelahkan. Saat akan terlelap, saya dihentakkan panggilan istri tercinta, Eiodia. Wajahnya menunjukkan kekuatiran yang sangat karena keadaan fisik Kheren  semakin menurun. Saluran pernapasannya seakan disumbat. Sulit bernapas. Kheren harus “mencari” napas saat batuk. Panas badannya terus naik. Wajahnya pucat pasi dan seluruh anggota badan nampak begitu lemas, hampir tidak bisa digerakkan. Kheren sudah tidak bisa bicara walau hanya untuk memanggil ‘mama’ atau ‘papa’. Dia hanya bisa menggerak-gerakkan  bola matanya ke kiri atau ke kanan. Saat bernapas, terdengar bunyi seperti gesekan biola pada rongga dadanya.

Eiodia mengatakan bahwa Kheren harus segera dibawa ke rumah sakit saat itu juga. Tetapi saya menolaknya dengan alasan bahwa anak ini telah didoakan oleh para hamba TUHAN. “Pakailah iman mam…”, jawab saya. Jam dinding menunjukkan, lagi lima belas menit, pukul dua dini hari. Istri saya kembali memohon supaya segera bawa anak ini ke rumah sakit bila tidak ingin terjadi sesuatu yang fatal. Saya pindah ke kamar yang lain untuk berdoa dan komplain sama TUHAN. Sejauh ini saya tidak mengerti, mengapa mukjizat belum terjadi atau paling tidak, ada perubahan sehingga mengurangi penderitaan Kheren – juga mengurangi kecemasan dan kegelisahan kami. Saya telah mengerahkan seluruh kekuatan iman dan sudah sungguh-sungguh berdoa. Beberapa menit kemudian Eiodia datang lagi untuk memohon dengan sangat. Saya pun akhirnya mengalah. Saya berpikir bahwa iman saya tidaklah berfungsi dengan baik sehingga tidak dapat diandalkan untuk mengatasi masalah ini.

Kami tiba di ruang gawat darurat (UGD) rumah sakit umum Malalayang – sekarang rumah sakit umum Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado – setengah jam kemudian. Dokter jaga (seorang ibu) yang bertugas malam itu, dibantu oleh beberapa perawat segera memberi pertolongan pertama dengan memberi bantuan pernapasan menggunakan oksigen dan tindakan medis lainnya. Beberapa menit kemudian, dokter mengatakan bahwa anak kami harus di opname (rawat inap) selama dua minggu karena keadaannya memprihatinkan. Saya langsung membantahnya dan mengatakan bahwa saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dengan tegas saya katakan bahwa sebelum jam tujuh pagi, kami sudah harus pulang bersama Kheren, sebab saya percaya anak ini sudah sembuh pada jam itu – yang kemudian ternyata bahwa disanalah saya “berhasil mengumpulkan” sedikit percaya saya untuk di tambahkan pada iman.

Waktu terus bergulir. Medan peperangan rohani semakin berkecamuk. Antara pengalaman medis seorang dokter spesialis anak yang sementara bertugas dan keyakinan saya sepenuhnya pada TUHAN Yesus berbenturan. Antara mungkin dan tidak mungkin bertabrakan. Rasio dan iman – yang saya kira sudah sebesar biji sesawi – berbenturan.

 Saya meninggalkan ruangan UGD, pergi mendoakan teman sepelayanan yang dalam keadaan tidak sadarkan diri hampir seminggu. Sekembalinya dari sana, saya menyaksikan mukjizat itu telah terjadi. Istri saya mengatakan bahwa sekitar jam enam lewat tiga puluh lima menit, saat semprotan terakhir – obat asma yang diracik khusus – dilakukan oleh “suster jaga”, anak kami langsung sembuh. Padahal beberapa menit sebelumnya, dokter masih tetap katakan bahwa anak kami harus segera di opname karena obat yang akan disemprotkan kedalam mulutnya tidak lebih dari tiga kali tindakan lagi. Tapi istri saya tidak menanggapinya dan hanya berserah pada keputusan kehendak Bapa Yesus di sorga. Melihat mukjizat itu, dokter (yang tidak beriman kepada Kristus) katakan bahwa selama ia menangani kasus asma kronik yang menyerang anak-anak di ruang UGD tersebut, belum pernah berhasil dalam tindakan memberi pertolongan pertama. Ini adalah yang pertama dan ironisnya bukan karena obat atau kehebatan pengetahuan medis yang dimilikinya sebagai seorang dokter spesialis anak.

Dari pengalaman ruang UGD tersebut, saya sadar bahwa iman yang saya miliki masih jauh dari “hanya sekecil biji sesawi”. Saya masih harus terus belajar percaya kepada setiap perkataan Kristus yang tercatat dalam Alkitab. 

Kejadian yang serupa kembali menimpa anak kami setelah empat bulan kemudian. Di ruang UGD dari rumah sakit yang sama, pada tengah malam, saya kembali mendapat pelajaran berharga tentang iman. Kali ini, oleh dokter jaga (pria berumur sekitar empat puluhan tahun), anak saya tidak lagi mendapat semprotan obat lewat mulut tapi disuntikan pada bagian lengannya. Saya mendapat anjuran yang sama – seperti peristiwa sebelumnya – untuk segera mencari ruangan rawat inap. Dan saya pun dengan mempergunakan kata-kata yang sama – empat bulan lalu – menolaknya. Dokter tersebut dengan kecewa dan sedikit emosi menyuruh saya menandatangani selembar surat keterangan pernyataan yang segera disodorkan oleh asistennya, bila terjadi sesuatu pada anak ini, rumah sakit tidak ikut bertanggung-jawab atasnya. Dalam hati saya katakan bahwa hidup Kheren tidaklah bergantung pada para medis tapi sepenuhnya bergantung pada Kristus. Memang, mukjizat tidaklah terjadi pada saat itu juga dalam ruang UGD tersebut dan bahkan untuk beberapa hari kemudian. Tetapi saya mau sampaikan bahwa dengan membubuhkan tanda tangan pada formulir yang disodorkan dokter jaga itu tidaklah menunjukkan bahwa mereka menang dan kami menyerah. Formulir yang ditanda-tangani itu sesungguhnya merupakan tindakan iman kami untuk tetap bersandar dan berharap pada TUHAN. Kami menyerah dan menyerahkan pergumulan ini hanya pada-Nya. Dan hingga saat ini, – dengan iman saya katakan pasti dan seterusnya – anak kami tidak akan pernah kembali lagi ke ruang UGD karena serangan asma. Satu lagi bentuk percaya yang di tambahkan pada perbendaharaan iman saya.

Kedua cerita asma tersebut di atas, tentunya bukanlah awal pembelajaran saya dalam hal mengumpulkan percaya pada iman. Proses pembelajaran untuk pembentukan dan pertumbuhan iman, juga pernah terjadi saat anak kami masih berumur dua dan tujuh tahun.

Pada tahun 1995, Kheren hampir berumur dua tahun ketika kami sekeluarga berada di Kupang-NTT. Kami tinggal di daerah PERUMNAS bersama dengan adik-adik saya – juga kedua orang tua kami kalau mereka datang dari Rote. Suatu hari, Kheren kecil diserang demam. Suhu badannya tidak stabil. Dia tidak bisa tidur waktu malamnya dan nampak sangat gelisah bila panas badannya lagi naik. Pada malam kedua, kira-kira jam 20.30 WITA, saya katakan pada istri saya, “besok pagi kita bawa saja anak ini ke rumah sakit untuk diperiksa. Mungkin ada gejala malarianya”. Selesai bicara, saya seperti mendengar suara yang menegur, “mengapa kamu berencana membawa Kheren ke dokter? Apakah TUHAN tidak sanggup menyembuhkannya?”. Ketika saya hendak keluar kamar karena tidak sanggup melihat penderitaan Kheren, suara tersebut datang lagi dengan pertanyaan yang sama. Saya sadar bahwa saya telah langsung di tegur TUHAN di dalam hati saya. Baru saja hendak berlutut minta ampun dan meralat perkataan dan rencana saya, tiba-tiba Kheren mengalami kejang-kejang karena panas badannya memuncak.

“TUHAN ampunilah saya yang kurang percaya ini. Sekarang perbuatlah seperti apa yang Engkau kehendaki. Kheren ada dalam tanganMu, ya TUHAN Yesus”, begitulah beberapa kalimat yang sempat keluar dari mulut ini. Dengan agak keras saya berseru pada mamanya untuk meletakkan saja Kheren di atas tempat tidur dan segera berlutut memohon belas kasihan-Nya. Beberapa kali saya benturkan kepala ini ke pintu kamar tanda penyesalan, mengapa saya begitu bodoh mengeluarkan perkataan dan rencana yang telah menyakiti hati Yesus-ku. Tapi bersyukurlah, ternyata Ia hanya bermaksud untuk memberi pelajaran bagaimana harus percaya pada-Nya dengan sepenuh hati. Kurang dari lima menit kemudian, Kheren telah dibebaskan dari kejang-kejang dan besok harinya ia sembuh total. Sangatlah benar apa yang tercatat dalam Mazmur 55:23, 

”Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah”.

Lima tahun kemudian, pelajaran pembentukan dasar iman, kami ikuti lagi melalui anak tunggal kami ini. Dokter Ny. S. Chandra-W. – teman baik saya – mendiagnosa, Kheren terkena paru-paru basah (tuberkulosis paru) dan diharuskan melakukan pengobatan selama enam bulan tanpa melewati sehari pun meminum obatnya – yang tentunya di bawah pengawasan dokter. Enam bulan kemudian dokter menilai, Kheren dianggap gagal dalam pengobatan dan diharuskan untuk melakukan pengobatan dari awal lagi selama enam bulan berikutnya dengan dosis yang lebih tinggi. Dokter Chandra (panggilan akrabnya), – suaminya juga seorang dokter – kembali memberi rujukan pemeriksaan ke dokter Elvie Loho, SpR (Dokter Spesialis Radiologi) untuk foto Chest X-ray. Surat rujukan itu akhirnya menjadi kenangan bagi kami sekeluarga karena Kheren langsung ditangani oleh “maha-guru” para dokter super spesialis; Dokter Agung Yesus Kristus.

Ceritanya begini, setelah kami menerima surat rujukan rontgen tersebut, saya ambil waktu puasa pada hari Jumat. Pada Kamis malam sebelumnya, saya katakan pada mamanya Kheren, besok sore setelah kantoran, kita bawa Kheren ke dokter Elvie Loho, SpR untuk rontgen. Tapi sekitar jam dua sore Jumat itu, – tinggal tiga jam lagi, ke dokter – saya mendapat teguran di dalam pikiran dan hati saya. TUHAN Yesus mengingatkan kembali perjalanan hidup saya dan pertolongan-Nya yang sungguh nyata dalam keluarga kami. Rupanya kali ini Dia, tidak mengijinkan Kheren di bawa ke dokter. Dia mengingatkan pada saya bahwa Dia sangat bisa diandalkan untuk kasus ini. Semuanya jelas di benak saya. Yesus telah banyak sekali membuktikan kedahsyatan kuasa kasih-Nya pada keluarga kami dan akan terus-menerus melakukannya di sepanjang hidup ini. Dan pada hari Jumat itu, kami, suami-istri sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya penyakit anak ini kepada TUHAN Yesus Kristus. Hasilnya, tidak sampai enam bulan, Kheren telah sembuh total tanpa pengobatan apapun. Sahabat saya, dokter Chandra – setelah beberapa bulan tidak bertemu – terheran-heran melihat Kheren sudah sehat lagi dan gemuk (waktu sakit, berat badan Kheren turun drastis dan menurut dokter sangatlah kurus untuk anak seusianya).

Kesimpulannya, iman yang merupakan dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1), ternyata di bentuk oleh percaya yang terus-menerus dikumpulkan dari pengalaman hidup  bersama dengan Yesus Kristus. Fakta dalam Alkitab menyatakan bahwa para murid Yesus pun harus terus belajar percaya bila ingin memiliki iman sebesar biji sesawi yang dapat memindahkan gunung (bacalah Lukas 17:5-6). Iman dimulai dari satu percaya tambah satu tindakan percaya lainnya dan seterusnya, seumur hidup kita. Hasilnya akan membuktikan apakah iman yang ada pada kita – termasuk Anda yang sedang membacanya – sudah sebesar biji sesawi atau bahkan lebih dari itu. [lanjut... Part-5️⃣]



✋Salam Hyper Grace dalam Bapa Yesus




0 comments:

Posting Komentar