KEMARAHAN YANG BERACUN
Orang yang dirundung permasalahan hidup yang menggelora dapat mempengaruhi kestabilan emosinya. Ia bisa saja terdorong masuk dalam perangkap masalah yang baru baginya yakni marah-marah. Ketika berada dalam himpitan kekecewaan atau pun gulungan ketakutan, seseorang bisa saja melakukan “self-defence” demi menghilangkan hal-hal tersebut. Ibarat pepatah klasik, “luput dari mulut harimau, jatuh ke dalam mulut buaya,” demikianlah orang-orang yang tadinya begitu sabar dan sanggup mengontrol amarahnya.
Sahabat, dunia ini adalah gudang besar yang menyimpan kemarahan dengan stok yang melimpah, baik yang beralasan maupun tanpa alasannya. Orang-orang Kristen sendiri merasa begitu sulit mengeluarkan stok kemarahan yang sudah kadaluwarsa – bahkan sebelum ia mengalami regenerasi – dari gudang pribadinya. Apakah Anda bisa memberi penjelasan logis mengapa kemarahan (rage) mempunyai cukup banyak indikasi pada kata pemberi sifat, yang menggambarkan karakter orangnya? Saya serahkan penggunaan kata ini dalam kesehariannya kepada para sosiolog dan psikolog, gimana mass media bisa dipenuhi dengan berita manifestasi kemarahan setiap harinya, tanpa seharipun yang lolos dari ekspresi ganas kemarahan. Bila Anda berlangganan surat kabar harian maka mata Anda pasti terbiasa menemukan halaman-halaman yang penuh ekspresi kemarahan seperti : kekacauan jalanan, tempat-tempat parkiran, demonstrasi massal yang anarkis, umpatan, sumpah serapah, kutukan terhadap oknum penguasa dan pelaku teror, luapan kekesalan yang tak terkontrol karena kekecewaan terhadap jurang dalam strata sosial yang semakin menganga, dan bahkan ledakan-ledakan kemarahan dalam antrian panjang pelayanan sosial. Kemarahan dapat mengarah pada penganiayaan fisik hingga tindakan mutilasi yang sangat tidak manusiawi.
Kemarahan begitu sukar dipahami dan sangat berbahaya karena bisa tersulut dengan tiba-tiba, penuh kekuatan dan bodoh. Kemarahan tidak mempertimbangkan masa depan, keselamatan orang lain dan bahkan keselamatan diri sendiri. Jika kita sedang menghadapi sumbu yang panjang, tidak ada masalah sama sekali, bukan? Kita akan berpikir, tunggu – aku mencium bau asap. Aku melihat sumbu menyala. Aku akan mengambil seember air untuk memadamkannya.
Tetapi ini bukan sumbu panjang. Ini adalah sumbu pendek yang Anda dan saya harus hadapi. Bila seseorang dengan sumbu pendek berada di belakang kemudi mobil yang sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, atau mudah meraih senjata tajam, memiliki mulut yang sama tajamnya, maka kemarahan bisa berubah menjadi suatu malapetaka. Kemarahan sama tuanya dengan dosa sendiri, paling tidak setua Kain. Tetapi, saya telah merasakan luapan kemarahan tak terkontrol, bak racun saraf (neurotoksin) King Kobra yang begitu cepat menjalari otak dan melumpuhkan kesadaran. Karena antrian panjang di suatu SPBU-Wanea, Manado, saat sulit-sulitnya menemukan bahan bakar di seluruh Indonesia beberapa tahun lalu, seorang sopir Mikrolet tiba-tiba sudah di samping saya sambil mencaci maki, mengumpat dengan suara yang sangat keras hingga menarik perhatian semua yang sedang antrian. Si sopir yang berbadan besar dan cukup tinggi, menggoyang-goyang mobil saya dan bahkan hendak memukul saya. Isteri saya yang tepat di sebelah saya sangat ketakutan. Saya katakan padanya, “kenapa hanya soal setetes premium, Anda bisa begitu marahnya? Silahkan duluan saja. Saya akan berada di belakang Anda.” Namun pemberian kesempatan itu pun belum bisa redakan amarahnya. Saya belum pernah melihat kemarahan yang menyala-nyala di luar kendali sampai membuat traumatis beberapa waktu lamanya setiap akan ke SPBU, antrian minyak.
Amarah yang di luar kendali akal sehat ini pun telah sukses melebarkan sayapnya hingga ke dalam acara-acara rohani atas nama agama dan iman yang diyakini paling benar sejagad. Ada orang yang menghabiskan seluruh kehidupannya dalam kemarahan. Kita sama-sama tahu bahwa benda-benda peledak bukan saja berbahaya bagi sasarannya melainkan juga bagi mereka yang menyalakannya dan orang-orang lain yang tidak bersalah di sekitar ledakan itu. David Jeremiah menggambarkan, “kemarahan adalah unsur asam yang dapat lebih membahayakan bejana penyimpannya dibanding orang yang ditumpahinya. Jika Anda bergumul dengan kemarahan beracun, Anda dalam keadaan yang lebih berbahaya dibanding orang-orang lain.”
Psikologi populer suka memberikan nasihat ini, khususnya angkatan baru yang dikenal sebagai ahli terapi radio : “jangan tahan-tahan! Pergilah dan lampiaskan! Temuilah orang yang membuat Anda marah dan biarlah mereka mendengar unek-unekmu!” Tidak mengherankan jika dokter-dokter radio ini begitu populer. Mereka menggelitik telinga dengan resep yang menyenangkan. Ingatlah, mereka lebih suka mendapatkan rating tinggi dibanding memberitahukan dan melakukan kebenaran tertinggi. TV, radio dan film bioskop atau film dalam kepingan DVD tahu bahwa kita menikmati kemarahan dann mereka suka mendorong orang untuk memperagakan nafsu kedagingan mereka.
Bagi saya sendiri, kemarahan adalah salah satu yang paling sukar diatasi dan dikendalikan. Iblis hanya perlu memastikan bahwa jika hal-hal berikut terjadi, maka saya akan menjadi marah : anak yang rewel, tidur siang yang terganggu, mencari buku bacaan kesukaan yang terselip entah dimana, nonton film kesenangan yang tiba-tiba diacak, kopi pagi yang terlambat dibuatkan isteri, menerima telepon salah alamat, mobil yang sengaja digores oleh orang iseng dan sederetan hal-hal sepele lainnya.
Kita semua – Anda dan saya – memiliki kelemahan, yaitu “kesenangan kita yang menjengkelkan” yang masuk ke dalam diri kita dan mempermainkan emosi kita sampai kita harus bergumul dengan kemarahan. Kita harus hidup di dalam dunia yang menyakitkan. Ada banyak hal yang dapat membuat kita marah. Kita semua menyadari bahwa terkadang kita mengungkapkan “kemarahan yang benar”, yang tidak membuat kita melakukan dosa, tetapi sering yang kita lakukan adalah jenis kemarahan yang merugikan kita seperti kepahitan karena dendam, kegeraman (murka), pertikaian dan fitnah (lidah beracun).
Seorang rekan hamba Tuhan membimbing seorang wanita yang telah bercerai bertahun-tahun yang lalu. Setelah begitu lama, ia masih menghadiri seminar-seminar pemulihan dari perceraian. Ia masih menyemburkan murka dan kepahitan bila menceritakan kisah pengkhianatan yang dilakukan suaminya yang pergi dengan wanita lain. Sang konselor ini bertanya padanya, “mengapa Anda tidak dapat melanjutkan kehidupan Anda tanpa harus terus menyimpan amarah itu? Mengapa Anda tidak dapat menyudahi kemarahan Anda dan membebaskan dirimu dari kepahitan? Bukankah pengkhianatan dan perceraian itu sudah lama berlalu?
Wanita ini menjawab dengan ekspresi datar, “karena hal itu sangat melukai hati saya yang paling dalam, yang telah menemani perjalanan hidup saya selama ini. Itulah satu-satunya kisah kehidupan yang saya miliki.”
Komentar tersebut menyedihkan. Terkadang kita harus menuliskan “Tamat” pada kisah itu, akhir yang sedih dan semua yang lainnya, kemudian memulai episode yang baru dan bersih. Kemarahan yang dipelihara bukanlah cara hidup yang baik. Kemarahan yang terus disimpan akan berubah menjadi dendam. Dendam adalah semacam kanker jiwa dengan membawa masuk perasaan-perasaan sinis yang kelam. Itulah sebabnya saya katakan bahwa kemarahan beracun, karena akhirnya memang akan menjadi racun yang akan membunuh iman dan kehidupan rohani kita.
Kemarahan beracun ini bukan saja menggerogoti kehidupan jemaat, namun tidak sedikit mereka yang jadi pemimpin umat, diaken, penatua, majelis jemaat pun tidak berdaya menghadapi bisa kemarahan yang sering melumpuhkan syaraf kasih, kesabaran, kelemah-lembutan, penguasaan diri.
[lanjut... Part-1️⃣2️⃣]

0 comments:
Posting Komentar