Pada postingan saya kali ini, saya ingin mengajak Anda sebagai pembaca untuk masuk ke dalam ruang pikir filsafat, untuk melihat betapa hebat dan dahsyatnya Tuhan ketika kita bertolak dari satu premis mendasar: bahwa Dia adalah keberadaan yang tidak disebabkan, eksistensi yang berdiri dari diri-Nya sendiri, dan fondasi terakhir dari segala realitas.
Kalau segala sesuatu membutuhkan penyebab, lalu:
Apa penyebab pertama dari semua yang ada?
Apakah mungkin rantai sebab-akibat mundur tanpa ujung?
Kalau rantainya tak berujung, bagaimana mungkin kita bisa ada sekarang?
Bayangkan Anda menarik tali yang ujungnya tidak pernah ada—apakah mungkin Anda menarik apa pun?
Begitu juga dengan keberadaan:
Jika tidak ada titik awal yang mandiri, seluruh realitas tidak mungkin muncul.
Maka muncullah satu pertanyaan yang lebih radikal:
Haruskah ada satu keberadaan yang tidak disebabkan?
Sesuatu yang ada bukan karena sesuatu lain?
Jika semua yang ada adalah akibat, siapa sebab pertama dari segala akibat?
1. Apakah Semesta Bisa Menjelaskan Dirinya Sendiri?
Tanyakan pada akal:
- Semesta berubah.
- Semesta terbatas.
- Semesta pernah “mulai”.
Kalau begitu, apa yang mendahuluinya?
Jika semesta bergantung pada sesuatu, maka:
Pada apa ia bergantung?
Mengapa yang bergantung bisa tiba-tiba ada tanpa penopang?
Jika fondasi rapuh, bangunannya tidak akan berdiri.
Begitu juga eksistensi:
Kalau segalanya bergantung, maka harus ada satu yang tidak bergantung.
2. Apakah Segala Sesuatu Bisa Terjadi Tanpa Alasannya?
Coba renungkan:
Batu ada. Pohon ada. Anda ada.
Apakah semuanya muncul begitu saja?
Tanpa alasan?
Tanpa sebab?
Jika iya, maka dunia seharusnya kacau:
Mengapa benda tidak muncul dan lenyap tanpa pola?
Mengapa realitas begitu teratur?
Akal manusia secara naluriah menolak ketidakteraturan tersebut.
Karena itu akal bertanya lebih jauh:
Kalau segala sesuatu membutuhkan penjelasan, apa penjelasan terakhir dari semua penjelasan?
3. Haruskah Ada Eksistensi yang Tidak Bisa Tidak Ada?
Filsafat membuat kita menanyakan:
- Apakah semua benda bisa tidak ada?
- Jika semuanya bisa tidak ada, mengapa ada yang ada?
- Jika keberadaan dunia bersifat mungkin, apa yang membuatnya nyata?
Di sini kita menemukan konsep eksistensi niscaya:
Ada sesuatu yang keberadaannya wajib.
Yang tidak mungkin tidak ada.
Yang tidak lahir, tidak dimulai, dan tidak dijelaskan oleh apa pun di luar diri-Nya.
Dan muncul pertanyaan tak terhindarkan:
Jika bukan Dia yang menjadi dasar keberadaan, lalu siapa?
4. Haruskah Kita Bertanya: “Siapa yang Menciptakan Tuhan?”
Pertanyaan ini hanya muncul jika kita menganggap Tuhan seperti benda-benda dunia: bergantung, terbatas, dimulai.
Tapi filsafat balik bertanya:
Jika Tuhan diciptakan, Ia bukan Tuhan—lalu apa yang menciptakan-Nya?
Jika pencipta itu diciptakan lagi, siapa yang menciptakan penciptanya?
Akal terjebak dalam lingkaran tak berujung.
Maka akal dipaksa menyimpulkan:
Harus ada satu realitas yang tidak memulai dari luar, tetapi dari diri-Nya sendiri.
Yang tidak mungkin ditanya “siapa penyebabnya,”
karena ketidaktergantungan adalah hakikat-Nya.
5. Jika Tidak Ada Keberadaan yang Tidak Disebabkan, Apakah Apa Pun Bisa Ada?
Coba balik logika:
- Jika tidak ada realitas mandiri,
- dan semua hal bergantung,
- maka tidak ada sesuatu yang akan pernah mulai.
Dunia tidak akan pernah ada.
Kita tidak akan pernah berpikir.
Pertanyaan ini tidak akan pernah muncul.
Faktanya kita ada.
Maka fondasi realitas itu harus ada.
Kesimpulan yang Dipaksa oleh Akal
Setelah semua pertanyaan ditelusuri sampai ke akar:
Harus ada keberadaan yang tidak disebabkan.
Realitas niscaya.
Fondasi segala ada.
Yang dari-Nya segala kemungkinan menjadi kenyataan.
Dan keberadaan itulah yang disebut manusia di sepanjang sejarah sebagai:
Tuhan.
Haleluya! Kiranya bacaan ini menolong kita merefleksikan kembali iman kita kepada Tuhan, dan membawa kita kembali pada pemikiran yang benar tentang betapa luar biasa-Nya Dia. Haleluya, Tuhan Yesus memberkati kita semua!

0 comments:
Posting Komentar